07 Juni 2007

Korban Semburan Lumpur Lapindo Mengadu Ke KPK

Sekitar 200 orang korban semburan lumpur Lapindo Brantas Inc mengadu ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Rabu (6/6) ini di Surabaya. Mereka melaporkan adanya indikasi penyelewengan dana dengan mengatasnamakan penanganan korban lumpur Lapindo. Termasuk adanya pungutan-pungutan liar oleh pemerintah yang dibebankan kepada korban lumpur. Jumlah dana yang tidak jelas penggunaannya itu mencapai Rp.1,3 trilyun.


Pengaduan korban Lumpur Lapindo kepada KPK itu dilakukan dua kelompok, dan diterima Deputi Pengawasan Internal dan Pengaduan Masyarakat KPK Junino Yahya, Deputi Pendidikan dan Pelayanan Masyarakat KPK Eko Soesanto dan Deputi Peyelidikan KPK Iswan Ilmi. Kelompok pertama mewakili warga Renokenongo, POrong yang saat ini menjadi pengungsi di Pasar Baru Porong.

Mereka memperjuangkan hak 2800 jiwa yang sampai detik ini menolak pembayaran ganti rugi 20 persen. Pembayaran itu dianggap tidak adil dan cenderung menyengsarakan masyarakat korban lumpur Lapindo. Kelompok lain mewakili warga Perumahan Tanggulangin Anggun Sejahtera (Perumtas) dan warga empat desa yang hingga kini belum dimasukkan ke dalam wilayah yang akan memperoleh ganti rugi.

Sunarto, 46, warga Renokenongo mengatakan, hingga kini ada 2800 jiwa di lokasi pengungsian Pasar Baru Porong yang menolak ganti rugi 20 persen. Karena ganti rugi senilai 20 persen itu hanya cukup untuk memberli tanah petak, tanpa bisa membangun lagi perekonomian masyarakat yang hilang karena lumpur menerjang. "Banyak warga Renokenongo yang terpaksa menerima ganti rugi 20 persen itu, akhirnya hidupnya terlunta-lunta, bahkan akhirnya menjadi pengemis," kata Sunarto.

Warga pernah menawarkan konsep ganti rugi relokasi mandiri. Yaitu dengan memberikan uang muka 50 persen dari seluruh kerugian, dan memberiarkan masyarakat mencari rumah dan membangun perekonomiannya secara mandiri. Mayoritas masyarakat sepakat untuk merelokasi diri ke Kabupaten Pasuruan. "Ketika hal ini kami ungkapkan ke Pt. Minarak Lapindo Jaya, justru mereka (PT. Minarak Lapindo Jaya-red), menolak ide ini dan bersikukuh untuk merelokasi kami ke kawasan Sidoarjo Baru, padahal harga tanah di sana lebih mahal, kok malah pilih tanah yang mahal?" kata SUnarto.

Juga persoalan pemberian jatah makan yang senilai Rp.5000,-/orang/sekali makan, yang kenyataannya, jenis makanan yang dibagikan hanya seharga Rp.2000,-. Ketika pengungsi mereaksi dengan menuntut jatah makan itu diberikan dalam bentuk uang, justru pihak Pemerintah Kabupaten Sidoarjo menolak. "Ada ada ini, mengapa Pemkab Sidoarjo meminta untuk mengatur keuangan jatah makan pengungsi? Kami minta KPK menyelidiki hal ini," kata Sunarto.

Yunianto Wahyudi mewakili warga Perumtas mengungkapkan adanya berbagai persoalan ketidakjelasan penggunaan dana yang mengatasnamakan penanganan korban lumpur Lapindo. Yunianto mencontohkan tindakan DPRD Jawa Timur yang menggunakan dana APBD Jawa Timur untuk pembentukan Panitia Khusus (Pansus) Lumpur Lapindo tanpa kejelasan hasil. Padahal, Pansus Lumpur DPRD Jawa Timur itu sudah menggunakan uang APBD untuk menggelar sebagai seminar di Jakarta. "Siapa yang akan mengusut penggunaan dana itu kalau bukan KPK," kata Yunianto.

Kecurigaan penyelewengan dana juga terlihat pada penanganan lumpur yang dilakukan aparat Pemerintah Kabupaten Sidoarjo, melalui dana pengamanan. Jumlah dana itu mencapai Rp.225 juta. Hingga kini, tidak pernah ada perincian penggunaan dana yang oleh warga disinyalir dibagi-bagi kepada aparat terkait dari berbagai instansi itu. "Cara pembagiannya dengan cara memmark-up jumlah tanah yang digunakan untuk menanggul," kata Yunianto.

Sementara Nurhadi, yang mewakili empat desa mengungkapkan tidak dibagikannya dana gagal panen dan dana evakuasi yang mencapai Rp.800 juta. Padahal, dana itu seharusnya diterima masyarakat Desa Mindi, Kedungcangkring, Desa Pajarakan dan Desa Besuki yang mengalami gagal panen. "Saya pernah ditelepon orang BPLS dan meminta saya untuk tidak mendorong demonstrasi, sebagai gantinya, warga empat desa akan diberi uang kompensasi gagal panen, sejumlah Rp.100 juta, lalu kemana sisa Rp.700 juta yang seharusnya jga dibagikan?" ungkap Nurhadi.

Deputi Pengawasan Internal dan Pengaduan Masyarakat Junino Yahya mengatakan, KPK tidak akan memberikan harapan muluk-muluk kepada warga korban Lumpur Lapindo. Apalagi KPK melihat masyarakat korban meminta KPK untuk mengusut semua dugaan korupsi yang mungkin terjadi. "KPK hanya akan memeriksa data-data menyangkut dugaan korupsi yang dilakukan aparat negara dan penegak hukum, selebihnya tidak," kata Junino.

Untuk mempercepat dan mempermudah penanganan, KPK meminta masyarakat memberikan semua data dan informasi menyangkut dugaan korupsi kepada KPK. Jika bukti permulaan itu sudah cukup untuk menjerat aparat negara dan penegak hukum yang terlibat korupsi, maka berkas akan segera dilimpihkan ke Kejaksaan. "Semakin lengkap laporang, semakin matang penanganannya," kata Junino.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar