Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) RI mencatat adanya upaya pihak-pihak yang seharusnya bertanggungjawab dalam persoalan semburan lumpur Lapindo menghindar atas kewajibannya. Salah satu upaya itu adalah menolak untuk mengganti rugi semua korban luapan lumpur dengan dalih kejadian ini adalah bencana alam. Hal itu dikatakan Ketua Komnas HAM Abdul Hakim Garuda Nusantara di Surabaya, Jumat (2/03) ini.
"Padahal, peristiwa luapan lumpur panas Lapindo itu memiliki beban hukum nasional, seperti hukum lingkungan, pertambangan dan hukum hak asasi manusia nasional," kata Abdul Hakim Garuda Nusantara. Selain itu, Komnas HAM Juga melihat adanya upaya hukum yang lamban dan berakibat tidak adanya kepastian hukum. Karena kelambanan itu, masyarakat korban lumpur panas pun tidak segera mendapatkan reparasi, restitusi, rehabilitasi dan kompensasi yang memadai.
Karena itulah, Komnas HAM dalam sidang paripurnanya memutuskan untuk membentuk tim pemantauan atas penanganan semburan lumpur panas Lapindo di Porong, Sidoarjo. Tim ini akan mengidentifikasi ruang lingkup tanggungjawab negara dan PT. Lapindo Brantas Inc. Sehingga dapat menghentikan perdebatan antara negara dan korporasi, terkait siapa yang seharusnya bertanggungjawab untuk menghentikan dan memulihkan lingkungan hidup penduduk setempat.
Tim ini juga akan mengevaluasi seluruh langkah yang pernah diambil PT. Lapindo Brantas Inc dan negara, sehingga dapat melihat sejauh mana kedua pihak telah menjalankan tanggungjawabnya. "Termasuk melihat, apakah langkah itu sesuai dengan hukum nasional dan prinsip dan standar hukum HAM nasional dan international," katanya.
Pemantauan Komnas HAM akan dilaksanakan pada Februari hingga Mei 2007, dengan mengirimkan tim pemantau ke Porong, Sidoarjo. Tim ini juga akan mengundang pihak-pihak yang mengetahui dengan pasti peristiwa semburan lumpur panas Lapindo itu. "Kami akan mengungdang pemerintah pusat, propinsi maupun daerah, Timnas hingga direksi PT. Lapindo, Energi Mega Persada (EMP), Santos, hingga ahli geologi independen," jelas Abdul Hakim. Hasil pemantauan itu akan dilaporkan kepada pemerintah dan dipublikasikan secara luas.
Anggota Komnas HAM untuk Hak atas Kesehatan dan Lingkungan Hidup, Anshari Thayib mengatakan, keputusan pembentukan tim pemantauan ini diambil setelah sebelumnya Komnas HAM telah melakukan infestigasi ke Porong dan melakukan dialog secara terbuka dan tertutup dengan berbagai pihak yang berkompeten dalam persoalan lumpur panas Lapindo. "Hasil dari investigasi itu jelas menyebutkan adanya hak masyarakat yang tercerabut seiring semburan lumpur Lapindo," jelas Anshari.
Mulai hak pendidikan, hak anak, hak atas pekerjaan, hingga hak atas kepemilikan. Belum lagi hak untuk mendapatkan keamanan. Pada faktanya, masyarakat yang hidup di sekitar lumpur, selalu cemas atas kemungkinan terburuk yang akan mereka alami. "Orang sangat cemas dengan kondisi ini, sementara negara sangat lamban menangani dan memulihkan kondisi seperti ini," kata anggota Komnas HAM yang tinggal di Sidoarjo ini.
Sementara Muhammad Farid, anggota Komnas HAM untuk anak-anak menilai, seharusnya pihak-pihak yang bertanggungjawab itu punya langkah antisipasi atas kemungkinan terburuk. "Langkah antisipasi itu kita harapkan akan muncul saat tim pemantauan dari Komnas HAM melakukan kerjanya," kata Farid.
Dalam kasus kecelakaan di reaktor nuklir Chernobil, Rusia dan semburan lumpur di Bopal, India, langkah antisipasi itu terungkap. Meskipun sejarah membuktikan, dua kecelakaan teknologi itu tetap memunculkan luka, karena masyarakat tetap menjadi pihak yang terkorbankan. "Setidaknya, hal itu bisa diminimalisir," katanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar