08 Februari 2007

Pencegahan AIDS di Lapas terhadang kurangnya tenaga medis

Pencegahan penularan HIV&AIDS di lembaga pemasyarakatan (lapas) di Indonesia terhadang oleh kurangnya jumlah tenaga medis. Hal itu membuat proses pencegahan penularan HIV di dalam lapas tidak berjalan efektif. Apalagi, hingga kini masih ditemui kasus penyalahgunaan narkoba suntik di penjara, yang sekaligus memperbesar resiko tertular HIV. Sihabuddin, Kepala DIvisi Pembinaan Kasus Narkoba Depkeh dan HAM dalam Pertemuan Nasional HIV&AIDS ke III di Surabaya, Rabu(7/02) ini. 

"Kurangnya tenaga medis di Lapas mempersulit pencehagan penularan HIV&AIDS di Lapas, meski dalam perkembanganya sudah ada laboratorium mini untuk pemeriksaan media di beberapa Lapas, namun jumlah tenaga medis yang mengoperasikan peralatan itu belum ada," kata Sihabuddin. Solusi sementara yang bisa dilakukan adalah menjalin kerjasama dengan rumah sakit atau puskesmas di sekitar Lapas. "Sementara hal itu bisa memperingan," katanya. Penanganan kasus HIV&AIDS di Lapas, hendaknya menjadi salah satu prioritas. Mengingat, tingginya jumlah penularan HIV&AIDS pada narapidana. Terutama, narapidana kasus narkoba. Menurut SIhabuddin, dari 32 ribu orang yang ditangkap dalam kasus penyalahgunaan narkoba, 20-30 persen di antaranya terkena HIV&AIDS. "Masih ada kebiasaan menggunakan narkoba suntik secara ilegal di dalam penjara, suntikan yang digunakan pun bergantian," katanya. Modus yang biasa digunakan biasanya dengan memasukkan narkoba plus peralatannya melalui pengunjung, burung merpati, menyogok petugas dan melempar dari luar dinding penjara. "Macam-macam saja cara menyelundupkan narkoba, bahkan banyak petugas Lapas yang ditangkap karena membisniskan narkoba di dalam penjara," jelasnya. Kate Dolan dari Drug and Alcohol Research Center Australia tidak terkejut besarnya tingkat penularan HIV&AIDS di Lapas. Karena di Lapaslah, interaksi pengidap HIV&AIDS dengan narapidana yang bebas HIV&AIDS bisa berjalan bebas. Belum lagi, masih banyak negara yang tidak memperhatikan persoalan ini. "Dari penelitian di penjara di 20 negara Asia Tenggara, penjara di 12 negara terbukti rentan penularan HIV, 8 negara rentan injection drug user (IDU) dan 5 negara rentan HIV dan IDU," kata Kate Dolan. Di Indonesia, kata Kate, mengalami dua kali peningkatan jumlah narapidana yang terinveksi HIV. Hal itu terjadi di tahun 2000. Besar kemungkinan, hal itu terjadi karena Indonesia tidak memiliki penjara yang khusus diperuntukkan bagi narapidana narkotika. Sejauh ini hanya satu penjara saja yang khusus kasus narkotika, yaitu di Jakarta. "Menurut penelitian kami, pada tahun 2000 di Indonesia terjadi peningkatan jumlah narapidana yang terjangkit HIV," jelasnya. Bersadarkan hal itu , Kate menyarankan perlunya tindakan yang konkret sepagai upaya pencegahan. Nafsia Mboi, Ketua Pelaksana Harian Komite Penanggulangan AIDS (KPA) Nasional mengaku menyadari tingginya resiko penularan HIV&AIDS di Lapas. Termasuk kuranya jumlah tenaga medis yang ditempatkan di penjara. "KPA sadar akan hal itu, pelan-pelan kami coba mencari solusinya dengan mengadakan kerjasama antara KPA dan Depkeh HAM, salah satunya pelatihan bagi petugas Lapas," jelas Mboi pada The Jakarta Post. Meski hasilnya tidak bisa dilihat saat ini, namun upaya itu terus dilakukan. Selain kerjasama dengan Depkeh HAM, KPA juga melakukan kerjasama dengan Departemen Kesehatan. Bentuk kerjasama itu adalah mewajibkan Lapas sebagai salah satu tujuan praktek tidak tetap (PTT) mahasiswa kedokteran. "Menkes sudah menyetujui hal itu, tahun 2007 ini Lapas akan dijadikan tujuan PTT mahasiswa calon dokter," jelasnya. Namun, Mboi mengingatkan perlunya kerjasama dengan pemerintah daerah tempat Lapas itu berada. Termasuk mengalokasikan dana khusus dari Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD). "Secara nasional, dana untuk penanganan HIV&AIDS di Lapas akan terealisasi dalam APBN," jelasnya tanpa menyebut nilai rupiah yang akan disiapkan. Pertemuan Nasional HIV&AIDS ke III di Surabaya ditutup Kamis (8/02) ini. Meski tidak ada rekomendasi resmi dari pertemuan kali ini, namun ada beberapa poin mencuat dari pertemuan empat hari ini. Diantaranya, tuntutan kesinambungan penyebaran ARV, pembentukan masyarakat peduli AIDS serta jaringan orang dengan HIV AIDS nasional dan penanggulangan injection drug user di kalangan remaja.

1 komentar:

  1. Anonim11:10 AM

    pemenjaraan bukan solusi bagi pengguna napza, mereka bukan butuh hukuman melainkan butuh pengobatan.

    east java in action-human right for drugs user

    BalasHapus