Tidak berubahnya nasib Pekerja Rumah Tangga (PRT) di Indonesia mendorong aktivis pejuang PRT dan aktivis perempuan melaunching Hari PRT Nasional, Kamis (15/02) ini, di Surabaya. Dalam kesempatan itu dipaparkan pula kondisi PRT yang semakin hari tidak menunjukkan grafis peningkatan taraf kehidupan. Bahkan cenderung semakin menderita.
"PRT adalah profesi yang secara hukum tidak mendapatkan perlindungan, untuk itu harus dibela," kata Kemala Chandra Kirana, Anggota Komisi Nasional (Komnas) Perempuan Indonesia pada The Jakarta Post.
Dalam catatan International Labour Organitation (ILO) IPEC tahun 2003, jumlah PRT di Indonesia mencapai jumlah 2,5 juta orang. Angka ini akan semakin meningkat tajam dengan kondisi negara yang buruk. Kemiskinan, plus rendahnya pendidikan, putus sekolah dan minimnya informasi serta bekal kerja yang terbatas menjadi pemicu meningkatnya jumlah PRT. "Sayangnya, tidak ada dokumentasi khusus mengenai PRT termasuk jumlah peningkatan maupun penurunan jumlahnya, maka hal itu juga yang membuat posisi PRT semakin tidak jelas dan tidak pasti," katanya.
Dalam dunia ketenaga kerjaan, posisi PRT tidak dilindungi oleh hukum ketenagakerjaan. Karena pekerjaan yang dilakukan PRT tidak termasuk kerja perburuhan dan disebut sebagai jenis pekerjaan informal. "Ini mengenaskan, karena itu PRT seakan-akan sendirian berjuang untuk keluarganya, mereka benar-benar vakum hukum," katanya.
Jaringan Nasional Advokasi PRT (Jala PRT) dan Komnas Perempuan menyebutkan berbagai data yang dihimpun dari berbagai media, dari tahun 2000-2006 terdapat berbagai kasus kekerasan pada PRT. Pada tahun 2000, 2001 dan 2005 terjadi tiga kasus kekerasan. Puncaknya membuat Sunarsih, pembantu asal Pasuruan, meninggal dunia karena disiksa majikannya asal Surabaya. Ironisnya, tiga kasus itu dilakukan oleh pelaku yang sama pula.
"Kasus pertama terjadi pada tahun 2000, ketika itu PRT mengadukan Ny.Ita karena menyiksa. Kasus itu tidak diteruskan oleh polisi, pada tahun 2001, terjadi lagi kasus penyiksaan yang membuat SUnarsih meninggal dunia, pelakunya masih sama, ironisnya, pada tahun 2005, terjadi lagi kasus yang sama, korban tetap PRT dan pelakunya tetap Ny. Ita," kata Nonot Suryono, pengacara dari anggota jaringan advokasi PRT dan Surabaya Children Crisis Center (SCCC).
Nonot menggambarkan, betapa sulitnya posisi PRT bila mendapatkan majikan yang "hobby" menyiksa seperti Ny. Ita. Para PRT yang mayoritas tidak memiliki tingkat pendidikan yang baik, akan menilai tindakan majikannya adalah hal yang biasa. "Yang lebih parah, majikan yang senang menyiksa itu selalu memiliki trik untuk menutupi aksinya dan kebanyakan selamat di hadapan hukum," kata Nonot.
Serikat Pekerja Rumah Tangga (SPRT) Tunas Mulia melaui Ketuanya Susi Aprianti mencatat, di samping kasus kekerasan fisik, kasus kekerasan psikis menempati posisi pertama kasus kekerasan pada PRT. Tidak jarang, PRT menjadi tumpahan kemarahan majikan tanpa ada alasan yang jelas. "Mayoritas PRT mengaku kepada kami, mereka sering tertimpa kekerasan verbal tanpa sebab, ternyata itu hanya pelampiasan saja," katanya.
Tidak jarang, ketika PRT itu berargumentasi, maka sikap itu dinilai sebagai sikap yang menantang dan tidak hormat. Maka kekerasan verbal itu menjadi kekerasan non verbal seperti tamparan. "Kalau sudah seperti itu, PRT memilih untuk diam dan menurut saja," kata Susi. Dan kekerasan pun terus terjadi tanpa terungkap.
Hal tersulit dalam upaya mengentas nasib PRT, menurut Lita Anggraeni Koordinator Jala PRT, adalah menyosialisasikan gerakan advokasi PRT. Karena PRT memiliki wilayah yang sangat sempit. "Biasanya, gerakan sosialisasi bisa dilakukan melalui media massa, tapi jumlah PRT yang mengakses media massa sangat sedikit," kata Lita pada The Jakarta Post.
Belum lagi bila ada upaya dari majikan untuk mengisolasi PRT, agar tidak berhubungan dengan dunia luar. Pagar tinggi menjulang yang dibangun mengepung rumah dan selalu terkunci, adalah salah satu contoh pengisolasian. Diharapkan, PRT tidak terbiasa bersosialisasi. "Dengan bersosialisasi maka akan ada komunikasi, ketika komunikasi itulah banyak persoalan mencuat, itu yang tidak diinginkan," jelasnya.
Kondisi itu membuat aktivis advokasi PRT mencoba melakukan terobosan dengan menggunakan pedagang keliling sebagai agen-agen para legal. Mulai menyebarkan selebaran melalui loper koran, sampai menempelkan stiker yang berisi kampanye perlindungan PRT di rombong pedagang kaki lima. "Meskipun belum maksimal, namun beberapa pelapor PRT mengaku mendapatkan informasi dari loper koran dan pedagang keliling," katanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar