21 Januari 2007

Reyog, seni rakyat penjaga tradisi

Patih Bujang Ganong meliuk-liukkan tubuhnya. Mencoba menghindar dari sergapan Singo Barong dan Dhadhak Merak. Sembari ketakutan, sosok bermuka merah dengan rambut acak-acakan di depan wajahnya itu berlari-lari menuju Raja Kelana Sewandana, yang sedang gundah gulana menanti cinta Putri Songgo Langit, Putri Raja Kerajaan Kediri. 

Mendapat laporan sang patih, Kelana Sewandana pun murka. Senjata pusaka cemeti Pecut Samandiman pun diraih, dan digunakan Kelana Sewandana untuk menghajar Singa Barong dan Dhadhak Merak. Dua binatang yang awalnya ganas dan beringas itu pun tunduk. Dengan satu lecutan, Kelana Sewandana mengutuk mereka menjadi Reyog, binatang berkepala dua. Mitos awal mula bersatunya Singo Barong dan Dhadhak Merak itu diabadikan dalam pagelaran Reyog asal kota Ponorogo, kemudian dikenal sebagai Reyog Ponorogo. Tidak jelas benar, kapan pertama kali kesenian Reyog Ponorogo dimainkan. Yang pasti, kesenian yang awalnya adalah kesenian rakyat itu selalu hadir dalam event-event khusus dan menjadi ikon kota seluas 1.402 m persegi itu. Terutama event pergantian tahun Jawa atau Grebeg Suro, yang sekaligus bersamaan dengan pergantian tahun Islam. Tahun 2007 ini, Grebeg Suro di Jawa Timur dirayakan, 15-20 Januari. Hampir di setiap kota di Jawa Timur yang masih kental nuansa mengusung budaya Jawa, merayakan Grebeg Suro. Seperti di Mojokerto, Malang, dan tentu saja Ponorogo. Dibanding dengan peringatan Grebeg Suro di berbagai kota, peringatan di Ponorogo sedikit berbeda. Di tempat ini ada budaya Pesta Rakyat Reyog Ponorogo yang digelar secara massal, pawai kota, jamasan dan larung sesaji di Danau Ngebel. Semua dilaksanakan dalam satu rangkaian pesta. Festival Reyog Ponorogo tahun ini diikuti oleh 31 kelompok Reyog yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia. Mulai Lampung Propinsi Lampung, Tanjung Pinang Kepulauan Riau, Balikpapan, Kalimantan Timur, Kutai Kertanegara, Jawa Tengah dan Ponorogo. "Respon yang begitu banyak membanggakan kami sebagai pelaksana," kata Bambang Wibisono, Kepala Dinas Kesenian Kabupaten Ponorogo pada The Jakarta Post. Alun-alun Ponorogo bagaikan panggung raksasa pelaksanaan festival itu. Selama empat hari, masing-masing kelompok Reyog beradu keindahan gerak dan alunan musik tradisional Jawa dengan hentakan Ponorogoan. Kempul, Ketipung, Kenong, Angklong, gong dan selompret bertalu-talu. Seakan memacu goyang garang penari Reyog. Masyarakat pun menyemut, menyaksikan aksi Patih Bujang Ganong dan Kelana Sewandana melawan Singo Barong dan Dhadhak Merak. Menjelang pergantian tahun Jawa adalah puncak Grebek Suro. Masyarakat Ponorogo menyambut kedatangan tahun barunya dengan pawai besar-besaran di seluruh pelosok kota. Sekaligus mengenang perpindahan pemerintahan dari Kota Lama di pinggiran Ponorogo, menuju Kota Baru di Kantor Kabupaten. Diawali dengan penyerahan pusaka kota ke makam Bupati pertama Ponorogo, Betoro Katong, ratusan orang bergerak ke pusat kota. Bendi dan kuda hias menjadi tunggangan. Kota yang terkenal dengan tradisi Warok/Pasukan kerajaan ini pun berpesta. Puluhan ribu orang berjajar di jalanan Ponorogo. Mereka menyambut iring-iringan benda pusaka dan pengiringnya, bagai menyambut pasukan perang yang datang ke kota mereka. Tepuk tangan dan sorak sorai membahana ketika tiba rombongan yang menjadi idola. "Saya paling suka dengan rombongan yang menghias diri sebagai Reyog raksasa," unkap Nardi, salah satu penduduk Ponorogo di sela-sela pawai itu. Menjelang tengah malam, ribuan orang menyemut di alun-alun Ponorogo. Menyambut kedatangan tahun baru yang ditunggu-tunggu. Di pusat kota itulah, puncak perayaan pergantian tahun berlangsung. Pangung besar di ujung selatan alun-alun menjadi pusat perayaan. Di sekelilingnya, ratusan pedagang kaki lima menjajakan dagangannya. Berdampingan dengan sajian komedi putar. Semburan ratusan kembang api mewarnai langit, ketika tahun jawa 1939 resmi berganti menjadi 1940. "Semoga Ponorogo menjadi Kota Mukti Mibowo (berwibawa-red)," kata Bupati Ponorogo Muhadi Suyono. Usai sudah pesta pora. Saatnya seluruh berdoa. Di Danau Ngebel, doa terpanjatkan dengan diadakannya larung sesaji dan risalah doa. Di danau berjarak 25 KM dari pusat kota itu, kemeriahan upacara pergantian tahun berganti dengan keheningan doa kepada Sang Kuasa. Tumpeng raksasa setinggi dua meter dan doa-doa, menjadi tanda prosesi larung sesaji. Setelah diarak, tumpeng raksasa dan kotak doa dinaikkan perahu bambu, dan di tenggelamkan di tengah danau. Diiringi hentakan musik Reyog bertalu-talu. MOLOG SANG EMPU REYOG Certificated of Appreciation presented to Haryokemun Al Molog, by the Smithsonian Institution Office of Folklife Program in official of recognition of participation in 25th Annual Festival of American Folklife... Kutipan kalimat itu begitu membanggakan bagi Haryokemun Al Molog, seorang seniman senior pembuat Reyog. Bagaimana tidak, kalimat yang tertuang dalam piagam penghargaan yang diberikan oleh the Smithsonian Institution itu adalah bukti dirinya adalah seniman pembuat Reyog tingkat dunia. "Saya sendiri yang datang ke Washington atas undangan Smithsonian," katanya, Minggu (21/01) ini, mengawali pembicaraan. Haryokemun Al Molog bisa jadi merupakan Empu (pembuat) Reyog terakhir yang ada di Ponorogo Jawa Timur. Sejak dirinya berumur 7 tahun, laki-laki yang kini berumurnya 83 tahun itu sudah menggeluti profesi pembuat Reyog. Ilmu membuat Reyog dipelajarinya dari almarhum kakek dan ayahnya. "Sejak kecil saya dan keempat saudara saya sudah bisa membuat Reyog, tapi hanya saya yang meneruskan profesi kakek dan ayah saya itu," kata Molog. Bergelut dengan Reyog, bagi Molog adalah sebuah aktivitas yang menyenangkan. Terlebih ketika hal itu mampu membuat orang lain senang. Apalagi, kesenangan itu bisa menjelma menjadi mata pencaharian. "Senang rasanya, karya-karya saya dipesan orang dan ketika Reyog dimainkan, banyak orang yang menonton, meskipun tidak semua orang tahu saya yang membuat Reyog itu haha,.." katanya. Tidak tanggung-tanggung, sudah tidak terhitung lagi karya Molog yang dipesan seniman dan pencinta kesenian Reyog hampir dari seluruh Indonesia. Setahun, minimal empat paket lengkap Reyog dipesan orang. Satu paket, terdiri dari Reyog, Kuda Kepang, Topeng Bujang Ganong, Probo, Cemeti Samandiman, Angklung, Gong, kenong hingga Selompret. "Satu paket standart saya jual dengan harga Rp.27 juta, kalau istimewa, bisa sampai Rp.45 juta," katanya. Yang membedakan dua jenis paket itu adalah detil penggarapan dan ukiran. "Tidak gampang membuat Reyog," katanya. Caplokan kelapa Reyog adalah hal pertama yang digarap. Bagian inti dari kepala Barong dan Dadak Merak itu dibuat dari jenis kayu dadap, kemudian dibungkus kulit kepala Harimau serta dihias dengan kepala, kaki dan bulu-bulu burung Merak. "Sesuai permintaan, semua bisa disajikan dengan kulit kepala Harimau dan Burung Merak Asli," jelasnya. Kulit kepala Harimau didatangkan khusus dari Riau. Sementara bulu burung Merak diimport langsung dari India. "Saya mementingkan kulit Harimau dari Harimau yang mati tua, bukan mati dibunuh. Karena saya sadar, kalau banyak Harimau dibunuh, maka lama-lama saya tidak akan bisa membuat Reyog lagi, karena Harimau akan habis," tegasnya. Setelah itu, baru dibuat krakap (hiasan di atas kepala Reyog). Pembuatan satu paket Reyog, memerlukan waktu kurang lebih satu bulan lamanya. Molog mempunyai enam pekerja yang memiliki spesifikasi tersendiri. Mulai membuat pakaian, barang-barang pelengkap Reyog hingga pernak-pernik asesoris. "Membuat Reyog khusus saya yang mengerjakan, karena saya masih belum berani memberi kepercayaan pekerja saya untuk mengerjakannya," kata Molog. Apalagi, ada hitung-hitungan mistik dalam pembuatannya. Molog mengaku menjunjung tinggi kebiasaan itu karena dirinya percaya semua hitung-hitungan Jawa punya makna. "Untuk memotong kayunya saja, ada hitungan Jawa tersendiri, termasuk melakukan laku puasa sebelum saya membuat Reyog," kata mantan juri dalam festival Reyog nasional ini. Reyog hasil garapannya pun berbeda. Banyak orang bilang, Reyog karya Molog terlihat lebih indah dan menarik mata. Sayang, keteguhan Molog dalam mempertahankan nilai-nilai keluruhan Reyog itu tidak menurun secara khusus kepada keempat anak-anaknya. Tiga anak perempuannya memiliki keahlian menjahit asesoris Reyog, sementara anak laki-laki dan menantunya sekedar tahu proses membuatnya. "Semoga saja, kalau saya sudah tidak ada bisa diteruskan oleh anak-anak dan keluarga saya," katanya. Semoga ini bukan akhir garis keempuan Molog, sang empu Reyog,... 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar