30 Januari 2007

Membangun keadilan dengan menata dunia penyiaran

Artikel ini disertakan dalam lampiran Visi dan Misi Anggota KPID Jawa Timur, sebagai syarat pendaftaran sebagai anggota KPID Jawa Timur. ***
Menata dunia penyiaran di Indonesia ibarat sebuah usaha keras untuk memodifikasi barang antik, menjadi barang “baru” yang useful bagi masyarakat. Karena dunia penyiaran yang masuk ke Indonesia sejak jaman penjajahan, belum sepenuhnya bisa bermanfaat bagi masyarakat. Modifikasi (baca: penataan) itu perlu, tidak hanya untuk pelaku penyiaran, tetapi juga untuk masyarakat, sebagai pemilik sah dari dunia penyiaran dan perangkat yang ada di dalamnya. Terutama frekwensi. 

Untuk melakukan penataan itu, jelas tidak cukup bermodalkan cita-cita tinggi dan jargon yang mengatasnamakan rakyat serta keadilan. Melainkan perlu konsep matang. Konsep matang yang dimaksud di sini diawali dengan definisi atas strong (kekuatan), weakness (kelemahan), opportunity (kesempatan) dan threat (ancaman) atau SWOT dunia penyiaran. Setelah itu, semua elemen disadari posisinya, barulah dimanfaatkan untuk mendorong dunia penyiaran menjadi “sesuatu” yang sebenar-benarnya untuk kepentingan masyarakat. Dalam perkembangannya, Indonesia sudah melakukan SWOT dunia penyiaran-meski berlangsung sporadis dan laten- sejak Orde Baru berkuasa. Bagaimana pemerintah di bawah Mantan Presiden Soeharto mengendalikan dunia penyiaran-dengan membatasi jumlah radio dan satu televisi, menjadi pusat kekritisan dunia penyiaran. Hingga akhirnya reformasi merubah semua. Dan puncaknya, keluarlah UU no.32/2002 tentang Penyiaran. Banyak pihak berharap UU Penyiaran adalah awal dari penataan dunia peyiaran. Apalagi, adanya lembaga independen Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dengan perangkat KPI Daerah yang diamanatkan oleh UU itu, bisa menjadi motor tertatanya dunia penyiaran. Namun, jalan tidak semulus yang diperkirakan. Tidak adanya instrumen hukum yang mengiringi UU Penyiaran membuahkan carut marut baru. Banyak stasiun radio dan televisi muncul dengan mengatasnamakan kebebasan, namun mengabaikan UU Penyiaran itu. Dengan berbekal izin dari Dinas Perhubungan dan Balai Monitoring, stasiun radio dan televisi itu memulai siarannya. Padahal, UU Penyiaran jelas-jelas mensyaratkan adanya Izin Penyelenggaraan Penyiaran (IPP) yang dikeluarkan pemerintah melalui KPI. Ironisnya, tidak ada pihak yang merasa bersalah atas kondisi ini. Tidak adanya peraturan penjelas dan regulasi lain di bawah UU Penyiaran menjadi alasan. Pemerintah sebagai pihak yang bertanggungjawab membuat peraturan penjelas pun lambat merespon gejala itu. Tujuh peraturan pemerintah-yang di dalamnya memuat IPP-justru memposisikan pemerintah sebagai pihak yang berwenang mengeluarkan izin itu. Ada kesan, pemerintah tidak rela KPI -yang independen- meregulasi dunia penyiaran. KPI yang didukung berbagai pihak, mulai Komisi 1 DPR RI hingga organisasi yang concern di bidang penyiaran dan press freedom pun melawan. Melalui Mahkamah Agung, KPI mengajukan Judicial Review. Hingga saat ini kasus itu masih berjalan. Di Jawa Timur, kondisi tidak lebih baik. Tidak adanya penerjemahan UU Penyiaran memunculkan sengketa. Bahkan di dalam KPID Jawa Timur sendiri pun tidak ada kesamaan pola pikir yang menjadi garis “perjuangan” KPID Jawa Timur. Hasilnya bisa dilihat, KPID Jawa Timur pecah, dan harus berhenti di tengah jalan. Sementara, penataan dunia penyiaran di Jawa Timur pun NOL besar. Melihat story behind the news KPI dan KPI Daerah, tidak berlebihan bila kembali perlu dilakukan SWOT dunia penyiaran. Terutama SWOT di masing-masing daerah. Karena Indonesia bukan hanya milik pusat (baca: Jakarta), maka identifikasi di berbagai daerah harus dipertajam. Jelas, tiap daerah memiliki SWOT yang berbeda. Setelah itu, harus dibangun kesadaran atas pentingnya pemahaman atas “frekwensi sebagai hak masyarakat”. Kesadaran semacam ini penting, sebagai dasar detak jantung KPI dan KPID yang pada ujungnya, akan terbangun keadilan melalui dunia penyiaran. Semoga…

*photo by Bobby Majalah Venus
 

1 komentar: