Persoalan internal di tubuh koran legendaris asal Surabaya, Jawa Timur, Surabaya Post membuat media yang terbit sejak zaman perjuangan itu berganti pemimpin redaksi (pemred). Sirikit Syah, tokoh pers Surabaya yang sempat menduduki pemred selama enam bulan terakhir ini, sejak bulan Oktober resmi diberhentikan. Sirikit dianggap tidak mampu memenuhi visi dan misi koran yang sempat mati di tahun 2002 itu.
Pergantian pemred yang terkesan mendadak itu dibenarkan oleh Sirikit Syah. Kepada The Jakarta Post Sirikit mengaku menyetujui pemberhentian kontrak karena tidak mampu melaksanakan visi dan misi koran itu. "Pemberhentian kontrak yang seharusnya berjalan satu tahun itu disetujui kedua belah pihak, saya dinilai tidak menjalankan visi dan misi perusahaan," kata Sirikit pada The Post, Rabu (11/10) ini.
Koran sore Surabaya Post pertama kali didirikan oleh Almarhum A.Azis dan istrinya Almarhumah Misoetin Agoesdina (Atoety Azis) pada 1 April 1953. Di zamannya, koran sore pertama di Jawa Timur ini sempat menjadi barometer media cetak di Indonesia Timur. Meski diakhir cerita, tepatnya pada 22 Juli 2002, pemodal Surabaya Post yang juga tiga anak A.Azis dan Misoetin menyatakan menutup secara resmi koran itu.
Hingga pada tahun 2003 kembali didirikan oleh Forum Karyawan Surabaya Post (FKSP) plus bantuan modal dari pengusaha Harijanto Tedjo (Komisaris Utama) dan Abdurahman J. Bawazier (Direktur Utama) dengan nama Surabaya News. Setelah dua tahun Surabaya News berganti nama menjadi Surabaya Post. Meskipun memakai nama Surabaya Post, tapi Surabaya Post baru masih belum mampu menyamai keberhasilan Surabaya Post lama yang sempat bertiras ratusan ribu eksemplar dengan omset Rp.9 miliar itu.
Sumber The Post di kalangan redaksi Surabaya Post mengatakan, kiprah Surabaya Post di Jawa Timur terkendala banyak hal. Terutama budaya baca masyarakat Jawa Timur yang sudah berubah dari budaya membaca koran sore menjadi budaya membaca koran di pagi hari. "Belum lagi persaingan iklan yang semakin ketat, di samping itu kompetisi di pasar koran eceran pun semakin berat dengan hadirnya koran-koran baru," kata sumber The Post itu. Akibatnya, meski terus terbit, perkembangan Surabaya Post tidak secepat dahulu.
Dibalik itu, awak redaksi Surabaya Post tergolong "gemuk". Untuk ukuran koran yang berkonsentrasi di Surabaya, Surabaya Post memiliki 33 wartawan, 49 Koresponden di berbagai daerah dan bagian Iklan dan Promosi, Sekretaris Redaksi EDP Staf, Web Master dan Network Engineer. Sirikit Syah mengakui Suraba Post harus melakukan berbagai terobosan. "Sayangnya, saya tidak setuju dengan trobosan yang ditawarkan direksi, yaitu meminta wartawannya sekaligus mencari iklan," kata Sirikit.
Direktur Utama yang juga Pemred Surabaya Post, Abdurahman J. Bawazier menolak bila ada kabar yang menyatakan direksi Surabaya Post meminta wartawannya untuk mencari iklan. Karena selama ini tidak ada kebijakan redaksi Surabaya Post yang menyatakan hal itu. "Tidak ada kebijakan redaksi yang meminta wartawan Surabaya Post sekaligus mencari iklan," kata Abdurahman J. Bawazier pada The Jakarta Post, Kamis (21/10) ini di Surabaya.
Sejak awal, kata Abdurahman, Sirikit Syah pun mengetahui hal itu. Karena dalam kesepakatan awal antara dirinya dan Sirikit adalah pembagian wilayah kerja. Sirikit dipatok untuk persoalan-persoalan redaksional, sementara direksi melakukan pembangunan bidang usaha. "Dan saya melihat selama ini Sirikit sudah bisa memberikan kontribusi yang positif mengenai hal itu," kata Abdurahman.
Menyangkut penyebab diberhentikannya kontrak Sirikit Syah di bulan keenam, dari kontrak awal selama satu tahun, menurut Abdurahman karena persoalan internal yang tidak etis bila dijelaskan ke media massa. "Ada persoalan internal yang tidak bisa saya ungkapkan, karena tidak etis," katanya. Yang pasti persoalan itu hanya berupa perbedaan pendapat saja. Dan hingga saat ini hubungan antara Surabaya Post secara intitusional dan Sirikit Syah tetap berjalan dengan baik.
Abdurahman J. Bawazier mengungkapkan, dihentikannya kontrak Sirikit Syah adalah hal yang biasa. Dan yang paling penting hal itu tidak mempengaruhi secara utuh sistem kerja di Surabaya Post. "Berhentinya Sirikit Syah tidak mempengaruhi sistem kerja redaksional atau perusahaan di Surabaya Post, karena Surabaya Post memang sudah punya sistem kerja yang baku," kata Abdurahman.
Abdurahman juga menyinggung keinginan salah satu grup media di Jawa Timur yang berkeinginan untuk membeli Surabaya Post. Namun, setelah dilakukan beberapa pembicaraan proses jual beli itu tidak jadi dilakukan. "Memang Jawa Pos Groups sangat berminat untuk membeli Surabaya Post, tapi saya bilang kalau saya masih bisa berjuang dengan teman-teman untuk menjalankan Surabaya Post, makanya kami terus akan menjalankannya tanpa masuk ke salah satu groups," katanya.
Salah satu wartawan Surabaya Post yang enggan disebutkan namanya mengatakan, himbauan kepada wartawan untuk mencari iklan sudah dilakukan sebelum Sirikit Syah diangkat menjadi pemred. Meski hal itu bukan sebuah keharusan. "Sebagian besar wartawan menolak untuk mencari iklan, apalagi itu bukan sebuah keharusan," jelasnya. Ketika Sirikit Syah mulai bekerja sebagai pemred, kenang sumber The Post, ada upaya untuk tidak meneruskan himbauan itu. "Sirikit juga tidak terlalu dekat dengan wartawan, mungkin karena baru berjalan beberapa bulan saja," jelasnya.
Sikap Sirikit yang tidak setuju dengan langkah direksi ini, menurut perempuan kelahiran Surabaya tahun 1960 itu menjadi awal ketidakcocokannya dengan direksi. Hingga akhirnya karir Sirikit sebagai pemred di koran legendaris itu harus berakhir dengan dihentikannya kontrak. Jabatan Pemred yang awalnya diduduki Sirikit Syah pun saat ini dipegang langsung oleh Direktur Utama Abdurahman J. Bawazier.
Berhentinya Sirikit Syah tidak banyak berpengaruh bagi roda redaksi Surabaya Post. Karena sejak awal, Surabaya Post sudah memiliki sistem kerja yang mapan. "Tidak ada pengaruh apa-apa bagi kerja redaksi," kata Redaktur Pelaksana Surabaya Post Sugeng Purwanto. selama ini, kata Sugeng, tugas Pemred lebih banyak pada kebijakan redaksi secara keseluruhan dan hubungan dengan pihak luar.
Sugeng menolak bila dikatakan ada ketidakcocokan antara direksi dan pemred dalam tubuh koran sore itu. Melainkan hanya sebuah proses evaluasi semata. Kebetulan, hasil evaluasi membuat kontrak Sirikit Syah dihentikan. "Itu biasa dalam setiap perusahaan media, tapi hal itu tidak sampai merembet ke sistem kerja koran secara keseluruhan, buktinya hingga saat ini Surabaya Post tetap terbit dengan rutin," jelasnya.
No comments:
Post a Comment