18 Agustus 2006

Ketika Lumpur Panas Berlomba Dengan Rasa Was-was,..

 
Warga Desa Siring, Porong, Sidoarjo berlarian karena ada isu tanggul penahan lumpur panas di desa Siring, Jebol, Jumat (11/08) lalu. Waktu masih menunjukkan pukul 11.35, ketika tiba-tiba penduduk Desa Siring, Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo dikejutkan oleh kabar tentang jebolnya tanggul penahan lumpur panas, Jumat (11/08) lalu. 

Ratusan penduduk desa yang terletak paling dekat dengan sumber semburan lumpur dari lokasi eksplorasi Lapindo Brantas Inc, sontak ketakutan, mereka berlarian ke arah Jalan Raya Porong, di sisi barat desa. Dengan pakaian compang-camping yang kotor terkena lumpur, laki-laki, perempuan hingga anak-anak berlomba menuju jalan raya yang dianggap aman dari luberan lumpur panas itu. Mereka menenteng barang-barang berharga yang bisa diselamatkan. 

Seperti surat-surat berharga, pakaian sekolah hingga peralatan masak. Perempuan tua dan anak-anak yang dirasa tidak bisa berlari dengan cepat digendong oleh penduduk laki-laki. "Tanggul jebol,..tanggul jebol,.." teriak mereka sambil berlarian. Puluhan anggota Yon Sipur Kodam V Brawijaya berusaha secepat mungkin membantu warga yang panik. Sembari menenangkan mereka, pasukan TNI itu mengangkat barang-barang warga dan memasukkannya ke atas truk TNI yang disiapkan untuk evakuasi. 

"Tenang bu,..langsung naik saja dulu ke atas truk, baru barang-barangnya," kata seorang anggota TNI sambil membantu seorang ibu yang menangis ketakutan. Teror rasa takut yang melanda penduduk Siring menjadi gambaran terbaru tentang atmosfir ketakutan, yang hingga memasuki hari semburan lumpur ke 80 ini masih dirasakan oleh penduduk sekitar lokasi semburan. Tidak hanya khawatir tentang melepuhnya kulit karena panasnya lumpur yang mencapai titik 50 derajat celcius, tapi juga kekhawatiran rusaknya harta benda yang karena lumpur yang masuk ke dalam rumah. 

 "Yang bisa kami lakukan hanya menyelamatkan diri sendiri dan sebagian barang-barang penting, kalau rumah bisa diangkat, mungkin kami akan membawanya juga ke tempat pengungsian," kata Suwarno, salah satu penduduk Siring. Awalnya, Suwarno menolak untuk mengungsi, karena percaya pemerintah bisa mengatasi semburan lumpur panas itu. Namun, kepercayaan itu mulai luntur ketika semakin hari ia melihat tanggul yang menahan luapan lumpur itu semakin tinggi, melebihi tinggi rumahnya. 

Puncaknya, ketika salah satu sisi tanggul di Desa Siring retak-retak dan lumpur panas mulai mengalir menuju desa. Ketakutan juga melanda penduduk desa Jatirejo, Renokenongo dan Kedungbendo ketika tiba-tiba tanggul yang ada di desanya mulai retak. Di Jatirejo, lumpur berwarna abu-abu kehitaman itu pun mulai mengalir semakin luas menggenangi wilayah yang sebelumnya tidak teraliri lumpur. Kekhawatiran makin menjadi ketika lumpur pun menggenangi rel kereta yang melintas di desa itu. 

"Kalau ada kereta api yang lewat, bisa-bisa celaka karena lumpur," kata Haryadi, warga setempat. Dibanding, keempat desa yang teraliri lumpur panas, desa Jatirejo bisa jadi merupakan desa dengan korban yang paling beragam. Tidak hanya manusia dan bangunan saja yang rusak, puluhan sapi perah yang dimiliki Ponpes Agil Hasan Al Syadili pun terpaksa diungsikan, khawatir mati karena lumpur panas. 

"Sapi-sapi yang sebelum tragedi lumpur panas ini terjadi adalah salah satu sumber keuangan dari ponpes, kini semua berhenti," kata Gus Maksum Zubair, pengelola Ponpes Agil Hasan Al Syadili pada The Post. Selain sapi perah, sumber keuangan ponpes dengan 200-an santri yang ikut rusak akibat lumpur yang meneror warga Jatirejo itu ada juga 2,5 ha sawah. Melalui sawah itu, ponpes memenuhi kebutuhan pangannya. "Untuk sementara, para santri dipulangkan dahulu, yang ada di sini hanya pengurus pondok," kata Gus Maksum. 

Hingga kini, beberapa pengurus santri masih memilih menjaga ponpes. Rasa was-was itu seakan tidak berhenti ketika sekitar 9000-an penduduk empat desa yang terendam lumpur mengungsi di Pasar Baru Porong, Sidoarjo yang berjarak 5 KM dari lokasi semburan lumpur panas. Meskipun lokasi pengungsian itu tergolong tertata rapi, namun jumlah pengungsi yang setiap hari semakin bertambah, membuat lokasi yang awalnya akan digunakan sebagai pasar dan terminal baru itu penuh sesak. 

Bayangkan saja, 9000-an jiwa harus berbagi di 282 kios-kios bangunan Pasar Baru. Satu kios berukuran 4x6 meter didiami oleh lima kepala keluarga, beserta barang-barang yang dibawanya. Untuk memisahkan satu keluarga dan keluarga yang lain dibatasi dengan kelambu kain yang dipasang sendiri oleh pengungsi. 

Untuk urusan mandi, disediakan Sejumlah 109 kamar mandi. Mereka harus berebut untuk memperoleh jatah mandi terlebih dahulu. Kondisi yang serba memprihatinkan itu semakin terasa berat dengan tidak adanya kepastian atas nasib mereka. Meskipun pemerintah dan Lapindo Brantas Inc mencoba menenangkan mereka dengan iming-iming biaya ganti rugi yang sudah mulai diberikan. Untuk setiap kepala keluarga diberikan Rp.5,5 juta sebagai biaya kontrak rumah Rp.2,5 juta/tahun selama dua tahun, dan uang pindah rumah Rp 500 ribu. Sekaligus memberi uang makan Rp.300 ribu untuk satu bulan, selama enam bulan. 

"Setelah enam bulan, diharapkan warga bisa mencari uang sendiri," kata Wakil Bupati Saiful Ilah, yang sekaligus Ketua Satuan Koordinasi Pelaksana Bencana (Satkorlak) Kabupaten Sidoarjo. Bagi sebagian warga, nilai itu jauh dari kata cukup. Hal itu diakui Lurah Desa Renokenongo, Mahmudah. Di desanya, hampir 50 persen warga korban lumpur panas menolak untuk menerima ganti rugi. 

"Ada sebagian warga yang belum menerima pembrian ganti rugi, itu tidak saya salahkan, karena itu hak mereka," kata Mahmudah pada The Post.Kebanyakan, warga yang menolak ganti rugi adalah warga yang tingkat ekonominya menengah ke atas. "Bagi warga yang miskin, ganti rugi adalah solusi," katanya. 

 Sebagian warga yang menolak itu sempat menggelar aksi demonstrasi di lokasi pengungsian Pasar Baru dan di jalan raya Sidoarjo Porong. Mereka menuntut agar izin Lapindo Brantas Inc dicabut karena telang menyengsarakan mereka. "Tidak semua bisa dinilai dengan uang, seperti teror rasa takut yang menghantui sejak pertama lumpur itu menyembur.." kata salah satu pengungsi dalam demonstrasi di Pasar Baru, Porong. |ID Nugroho untuk the Jakarta Post

Tidak ada komentar:

Posting Komentar