Pulau Rote? |
11 March 2012
Sekilas melihat pulau terluar Indonesia
29 July 2009
Mateus Guedes: Saya Hanya Ingin Membela Hak Pengungsi Eks Timor Timur
Iman D. Nugroho
Sekilas, orang pasti tidak menyangka Meteus B.C Guedes adalah eks combatan Timor Timur. Wajah tegas dengan tingkah laku ramah, membuat pria berusia 37 tahun ini memiliki banyak teman. Namun, idealisme yang kuat untuk memperjuangkan nasib pengungsi eks Timor Timur membuat bapak tiga anak ini juga memiliki banyak "musuh". "Saya tidak peduli orang omong apa, saya hanya ingin membela hak pengungsi eks Timor Timur," katanya pada The Post yang menemuinya di Atambua, Nusa Tenggara Timur (NTT).
Sejarah Bangsa Indonesia tidak bisa dilepaskan dari peristiwa lepasnya Timor Timur pada tahun 1999, dan menjadi Timor Leste. Apalagi peristiwa itu diwarnai dengan tragedi kemanusiaan berupa konflik horisontal, dan terusirnya ratusan ribu orang Timor Timur yang pro Integrasi dengan Indonesia, dari Timor Leste ke NTT. Meteus Guedes, menjadi salah satu dari saksi sejarah itu. Anak terakhir dari delapan bersaudara itu, memilih untuk bergabung dengan organisasi Aitarak (dalam bahasa Tetun Timor berarti duri), dan--meminjam istilah Mateus--berjuang untuk menyelamatkan warga pro Integrasi. "Saya menyebutnya sebagai perjuangan, karena kita mempertahankan apa yang kita anggap benar," katanya.
Ketika hasil referendum Timor Timur diumumkan pada 4 September 1999, Mateus mulai memobilisasi warga untuk mengungsi. Jabatan sebagai teknisi komputer di Aitarak, Dili pun berubah menjadi penjaga pengungsi. Gesekan keras antara massa pro integrasi dan pro kemerdekaan "memaksa" Mateus angkat senjata. "Pilihannya hanya dibunuh atau membunuh, seingat saya, saya hanya pernah menembak sekali, saat ada orang tidak dikenal mau mendekati pengungsi," katanya. Proses panjang dan berliku itu berbuah ketika dia dan seluruh keluarga besarnya menempati kamp pengungsian di Atambua, NTT.
Entah de javu atau apa, namun dalam urusan "ngungsi mengungsi" bagi keluarga Mateus, bukan sesuatu yang baru. Ketika Timor Timur memutuskan untuk berintegrasi ke Indonesia pada tahun 1975, keluarga besar Mateus adalah kelompok yang pro Indonesia, dan mengungsi ke NTT. Dalam benak keluarganya, merdeka dari Portugal dan bergabung dengan Indonesia ketika itu adalah pilihan terbaik. Mateus kecil yang saat itu berumur 7 tahun ikut mengungsi ke NTT. "Ada juga saudara kita yang memilih untuk tetap pro Protugal ketika itu," kenangnya. Saat kondisi membaik dan Timor Timur menjadi propinsi ke 27 pada tahun 1975, Mateus kembali ke Timor Timur dan mulai kehidupan di Dili, sampai tahun 1999 kembali mengungsi.
Hidup selama 10 tahun di sebagai pengungsi, bukan hal yang mudah bagi Mateus. Kamp berukuran 6x3 yang didiaminya, menjadi saksi bisu bergulatan pengungsi. Termasuk bagaimana para pengungsi harus berjuang untuk terus hidup tanpa ada kepastian nasib. Mateus sedikit beruntung karena dirinya diterima sebagai Pegawai Negeri Sipil(PNS) di Dinas Kepegawaian Pemkab Belu."Tapi harus diingat, ribuan pengungsi yang lain tidak seberuntung saya, mereka tidak punya pekerjaan, tidak punya tanah untuk digarap dan bahkan tidak punya rumah, karena rumah yang didiami berdiri di atas tanah milik orang NTT," jelasnya.
Kepedulian itulah yang membuat Mateus dan kawan-kawannya membentuk Forum Kemanusiaan WNI Eks Timor-Timur Korban Keputusan Politik pada tahun 2008. Pria yang gemar membaca ini dipercaya menduduki posisi Sekretaris Jenderal (Sekjen). Melalui Forum Kemanusiaan WNI Eks Timor-Timur itulah, Mateus mulai mengorganisir para pengungsi di eks Timor Timur yang kini ada di NTT. Termasuk, terus membuat list berbagai persoalan yang dihadapi oleh pengungsi yang total jumlahnya mencapai 20 ribu keluarga itu. "Ada ketimpangan perhatian pemerintah," katanya.
Setiap hari, di sela-sela kesibukannya sebagai PNS, Mateus mengkliping berita-berita tentang pengungsi eks Timor Timur. Hingga kini, sudah ribuan data dan kliping tentang pengungsi eks Timor Timur disimpan di ruang tengah rumahnya. Data-data itu menjadi salah satu senjata yang dimiliki Forum Kemanusiaan WNI Eks Timor-Timur untuk menjelaskan persoalan pengungsi. Tidak hanya itu, Mateus juga aktif memanfaatkan saluran media massa lokal maupun nasional, untuk menjelaskan persoalan pengungsi. "Saya sering kirim SMS ke acara televisi, atau langsung ke kawan-kawan wartawan untuk berbagai kepedulian," jelasnya.
Dalam catatan Forum Kemanusiaan WNI Eks Timor-Timur, selama 10 tahun berselang, penanganan pengungsi tidak konsisten. Ada banyak bantuan untuk pengungsi, tetapi tidak jelas pemanfaatannya. Misalnya bantuan dana lauk pauk, dana untuk warga miskin, resutlement rumah dll. "Rumah pengungsi dan resutlemen misalnya, dibangun di lokasi yang tidak ada air, ini bisa membuat orang eks Timtim mati pelan-pelan," jelasnya. Semua fakta itu dikumpulkan dalam sebuah laporan dan digunakan sebagai masukan ke pemerintah. Seperti biasanya, harapan menguap begitu saja.
Karena itulah, pada tahun 2008, Mateus sempat memimpin demonstrasi menuntut perbaikan nasib di depan DPRD Belu. Dalam demonstrasi yang berlangsung selama tujuh hari itu, Mateus ditangkap karena pada hari terakhir, demonstrasi berlangsung rusuh. Mateus dipenjara 4 bulan karena itu. Dua bulan di LP. Kupang, dan sisanya di LP. Atambua. Pengorbanan itu tidak sia-sia. Tidak lama setelah vonis penjara dijatuhkan, kucuran dana untuk pengungsi eks Timor Timur sejumlah Rp.8 miliar pun sempat mengucur. Juga ada upaya memperbaiki akses jalan ke lokasi pengungsian dan resutlemen.
Persoalan selesai? Jelas tidak. Mateus menganggap, solusi untuk warga eks Timor Timur untuk bisa kembali bangkit adalah adanya tanah yang layak untuk membangun rumah dan juga untuk berusaha. Tanah dengan status hak milik, bukan pinjaman. Mateus sendiri, selama di Timor Timur memiliki ladang kopi di kawasan Ermera Timor Timur. Dan hal itu mutlak dibantu, mengingat tidak adanya modal awal dari pengungsi. "Dalam waktu dekat, setiap keluarga pengungsi akan mendapat bantuan dana Rp.5 juta melalui Depsos, namun saya ragu dengan data yang dimiliki pemerintah," ketanya.
Namun, perjuangan tidak harus berhenti. Mateus dan Forum Kemanusiaan WNI Eks Timor-Timur mendorong pengungsi eks Timor-Timur untuk berkiprah dalam dunia politik. Pada pemilu tahun 2009 setidaknya ada 28 orang eks pengungsi yang menjadi calon legislatif (caleg) di Belu. Dua orang terpilih menjadi anggota DPRD Kabupaten Belu. Juga ada lima orang lain yang menjadi caleg di DPR-RI. Salah satunya Eurico Guterres. "Tetapi tidak ada yang terpilih," katanya sambil tersenyum. Harapan juga digantungkan kepada eks pejabat Timor Timur yang kini menjadi pejabat di pemerintah NTT. "Tapi seperti yang sekarang terlihat, perubahan tetap juga tidak terjadi, karena itu saya memutuskan untuk terus berjuang bagi pengungsi eks Timor Timur."
Selamat berjuang, kawan!
Sekilas, orang pasti tidak menyangka Meteus B.C Guedes adalah eks combatan Timor Timur. Wajah tegas dengan tingkah laku ramah, membuat pria berusia 37 tahun ini memiliki banyak teman. Namun, idealisme yang kuat untuk memperjuangkan nasib pengungsi eks Timor Timur membuat bapak tiga anak ini juga memiliki banyak "musuh". "Saya tidak peduli orang omong apa, saya hanya ingin membela hak pengungsi eks Timor Timur," katanya pada The Post yang menemuinya di Atambua, Nusa Tenggara Timur (NTT).
Sejarah Bangsa Indonesia tidak bisa dilepaskan dari peristiwa lepasnya Timor Timur pada tahun 1999, dan menjadi Timor Leste. Apalagi peristiwa itu diwarnai dengan tragedi kemanusiaan berupa konflik horisontal, dan terusirnya ratusan ribu orang Timor Timur yang pro Integrasi dengan Indonesia, dari Timor Leste ke NTT. Meteus Guedes, menjadi salah satu dari saksi sejarah itu. Anak terakhir dari delapan bersaudara itu, memilih untuk bergabung dengan organisasi Aitarak (dalam bahasa Tetun Timor berarti duri), dan--meminjam istilah Mateus--berjuang untuk menyelamatkan warga pro Integrasi. "Saya menyebutnya sebagai perjuangan, karena kita mempertahankan apa yang kita anggap benar," katanya.
Ketika hasil referendum Timor Timur diumumkan pada 4 September 1999, Mateus mulai memobilisasi warga untuk mengungsi. Jabatan sebagai teknisi komputer di Aitarak, Dili pun berubah menjadi penjaga pengungsi. Gesekan keras antara massa pro integrasi dan pro kemerdekaan "memaksa" Mateus angkat senjata. "Pilihannya hanya dibunuh atau membunuh, seingat saya, saya hanya pernah menembak sekali, saat ada orang tidak dikenal mau mendekati pengungsi," katanya. Proses panjang dan berliku itu berbuah ketika dia dan seluruh keluarga besarnya menempati kamp pengungsian di Atambua, NTT.
Entah de javu atau apa, namun dalam urusan "ngungsi mengungsi" bagi keluarga Mateus, bukan sesuatu yang baru. Ketika Timor Timur memutuskan untuk berintegrasi ke Indonesia pada tahun 1975, keluarga besar Mateus adalah kelompok yang pro Indonesia, dan mengungsi ke NTT. Dalam benak keluarganya, merdeka dari Portugal dan bergabung dengan Indonesia ketika itu adalah pilihan terbaik. Mateus kecil yang saat itu berumur 7 tahun ikut mengungsi ke NTT. "Ada juga saudara kita yang memilih untuk tetap pro Protugal ketika itu," kenangnya. Saat kondisi membaik dan Timor Timur menjadi propinsi ke 27 pada tahun 1975, Mateus kembali ke Timor Timur dan mulai kehidupan di Dili, sampai tahun 1999 kembali mengungsi.
Hidup selama 10 tahun di sebagai pengungsi, bukan hal yang mudah bagi Mateus. Kamp berukuran 6x3 yang didiaminya, menjadi saksi bisu bergulatan pengungsi. Termasuk bagaimana para pengungsi harus berjuang untuk terus hidup tanpa ada kepastian nasib. Mateus sedikit beruntung karena dirinya diterima sebagai Pegawai Negeri Sipil(PNS) di Dinas Kepegawaian Pemkab Belu."Tapi harus diingat, ribuan pengungsi yang lain tidak seberuntung saya, mereka tidak punya pekerjaan, tidak punya tanah untuk digarap dan bahkan tidak punya rumah, karena rumah yang didiami berdiri di atas tanah milik orang NTT," jelasnya.
Kepedulian itulah yang membuat Mateus dan kawan-kawannya membentuk Forum Kemanusiaan WNI Eks Timor-Timur Korban Keputusan Politik pada tahun 2008. Pria yang gemar membaca ini dipercaya menduduki posisi Sekretaris Jenderal (Sekjen). Melalui Forum Kemanusiaan WNI Eks Timor-Timur itulah, Mateus mulai mengorganisir para pengungsi di eks Timor Timur yang kini ada di NTT. Termasuk, terus membuat list berbagai persoalan yang dihadapi oleh pengungsi yang total jumlahnya mencapai 20 ribu keluarga itu. "Ada ketimpangan perhatian pemerintah," katanya.
Setiap hari, di sela-sela kesibukannya sebagai PNS, Mateus mengkliping berita-berita tentang pengungsi eks Timor Timur. Hingga kini, sudah ribuan data dan kliping tentang pengungsi eks Timor Timur disimpan di ruang tengah rumahnya. Data-data itu menjadi salah satu senjata yang dimiliki Forum Kemanusiaan WNI Eks Timor-Timur untuk menjelaskan persoalan pengungsi. Tidak hanya itu, Mateus juga aktif memanfaatkan saluran media massa lokal maupun nasional, untuk menjelaskan persoalan pengungsi. "Saya sering kirim SMS ke acara televisi, atau langsung ke kawan-kawan wartawan untuk berbagai kepedulian," jelasnya.
Dalam catatan Forum Kemanusiaan WNI Eks Timor-Timur, selama 10 tahun berselang, penanganan pengungsi tidak konsisten. Ada banyak bantuan untuk pengungsi, tetapi tidak jelas pemanfaatannya. Misalnya bantuan dana lauk pauk, dana untuk warga miskin, resutlement rumah dll. "Rumah pengungsi dan resutlemen misalnya, dibangun di lokasi yang tidak ada air, ini bisa membuat orang eks Timtim mati pelan-pelan," jelasnya. Semua fakta itu dikumpulkan dalam sebuah laporan dan digunakan sebagai masukan ke pemerintah. Seperti biasanya, harapan menguap begitu saja.
Karena itulah, pada tahun 2008, Mateus sempat memimpin demonstrasi menuntut perbaikan nasib di depan DPRD Belu. Dalam demonstrasi yang berlangsung selama tujuh hari itu, Mateus ditangkap karena pada hari terakhir, demonstrasi berlangsung rusuh. Mateus dipenjara 4 bulan karena itu. Dua bulan di LP. Kupang, dan sisanya di LP. Atambua. Pengorbanan itu tidak sia-sia. Tidak lama setelah vonis penjara dijatuhkan, kucuran dana untuk pengungsi eks Timor Timur sejumlah Rp.8 miliar pun sempat mengucur. Juga ada upaya memperbaiki akses jalan ke lokasi pengungsian dan resutlemen.
Persoalan selesai? Jelas tidak. Mateus menganggap, solusi untuk warga eks Timor Timur untuk bisa kembali bangkit adalah adanya tanah yang layak untuk membangun rumah dan juga untuk berusaha. Tanah dengan status hak milik, bukan pinjaman. Mateus sendiri, selama di Timor Timur memiliki ladang kopi di kawasan Ermera Timor Timur. Dan hal itu mutlak dibantu, mengingat tidak adanya modal awal dari pengungsi. "Dalam waktu dekat, setiap keluarga pengungsi akan mendapat bantuan dana Rp.5 juta melalui Depsos, namun saya ragu dengan data yang dimiliki pemerintah," ketanya.
Namun, perjuangan tidak harus berhenti. Mateus dan Forum Kemanusiaan WNI Eks Timor-Timur mendorong pengungsi eks Timor-Timur untuk berkiprah dalam dunia politik. Pada pemilu tahun 2009 setidaknya ada 28 orang eks pengungsi yang menjadi calon legislatif (caleg) di Belu. Dua orang terpilih menjadi anggota DPRD Kabupaten Belu. Juga ada lima orang lain yang menjadi caleg di DPR-RI. Salah satunya Eurico Guterres. "Tetapi tidak ada yang terpilih," katanya sambil tersenyum. Harapan juga digantungkan kepada eks pejabat Timor Timur yang kini menjadi pejabat di pemerintah NTT. "Tapi seperti yang sekarang terlihat, perubahan tetap juga tidak terjadi, karena itu saya memutuskan untuk terus berjuang bagi pengungsi eks Timor Timur."
Selamat berjuang, kawan!
28 July 2009
Pendaratan Pasukan RI di Timor Timur
Foto: Dokumen CIS Timor, Teks: Iman D. Nugroho
Menjelang satu dasawarsa Jajak Pendapat Timor Timur yang akan diperingati pada 30 Agustus 2009 oleh Pemerintah Timor Leste dan 4 September, oleh Pejuang Pendukung Integrasi, tidak ada salahnya ingatan kembali pada peristiwa tahun 1975. Ketika Indonesia diminta membantu perjuangan masyaralat Timor Timur yang akan lepas dari penjajahan Portugis.
Menjelang satu dasawarsa Jajak Pendapat Timor Timur yang akan diperingati pada 30 Agustus 2009 oleh Pemerintah Timor Leste dan 4 September, oleh Pejuang Pendukung Integrasi, tidak ada salahnya ingatan kembali pada peristiwa tahun 1975. Ketika Indonesia diminta membantu perjuangan masyaralat Timor Timur yang akan lepas dari penjajahan Portugis.
22 July 2009
Bilur-bilur Wajah Anak Eks Timor Timur
Iman D. Nugroho
Anak-anak eks Timor-Timur yang hidup di Timor Barat atau Nusa Tenggara Timur (NTT) berhadapan dengan banyak hal. Mulai tidak adanya sekolahan yang layak hingga jerat kemiskinan. Anak-anak ini merupakan bagian dari 12 persen pertumbuhan pengungsi pertahunnya. Berikut ini potret mereka. "Sonde bersedih lagi, dik,.."
Anak-anak yang tinggal di area resutlement di Weliura, Atambua harus bersekolah di ruang kelas yang sangat sederhana. Terbuat dari kayu lapuk swadaya masyarakat setempat.
Anak-anak pengungsi yang tinggal di Oeleo, Kupang sedang mengintip pelaksanaan pengobatan massal gratis yang digelar TNI AU dan US Air Force.
Kedatangan orang asing di wilayah Weliura, Atambua membuat anak-anak di daerah itu penasaran. Permainan yang sedang berlangsung pun ditinggalkan untuk sekedar melihat siapa yang datang.
Dekat dengan perbatasan Timor Leste di Mota'ain, Atambua, membuat anak-anak setempat terbiasa bermain di jembatan Mota'ain yang juga merupakan border antara Timor Leste dan Indonesia.
Anak-anak eks Timor-Timur yang hidup di Timor Barat atau Nusa Tenggara Timur (NTT) berhadapan dengan banyak hal. Mulai tidak adanya sekolahan yang layak hingga jerat kemiskinan. Anak-anak ini merupakan bagian dari 12 persen pertumbuhan pengungsi pertahunnya. Berikut ini potret mereka. "Sonde bersedih lagi, dik,.."
Anak-anak yang tinggal di area resutlement di Weliura, Atambua harus bersekolah di ruang kelas yang sangat sederhana. Terbuat dari kayu lapuk swadaya masyarakat setempat.
Anak-anak pengungsi yang tinggal di Oeleo, Kupang sedang mengintip pelaksanaan pengobatan massal gratis yang digelar TNI AU dan US Air Force.
Kedatangan orang asing di wilayah Weliura, Atambua membuat anak-anak di daerah itu penasaran. Permainan yang sedang berlangsung pun ditinggalkan untuk sekedar melihat siapa yang datang.
Dekat dengan perbatasan Timor Leste di Mota'ain, Atambua, membuat anak-anak setempat terbiasa bermain di jembatan Mota'ain yang juga merupakan border antara Timor Leste dan Indonesia.
Angin Surga Berhembus Kencang di Batas Timor Leste-Indonesia
*10 Tahun Pasca Jajak Pendapat
Iman D. Nugroho dan Yemris Fointuna [untuk The Jakarta Post]
Garis kuning memudar dengan lebar sekitar 30 centimeter itu masih membelah jembatan Mota'ain, Kabupaten Belu, NTT. Meski demikian, setiap kendaraan yang tak memiliki ijin melintas garis itu tidak diperkenankan melewati garis kuning itu. Tak terkecuali, warga sipil yang ingin menjemput keluarganya.Tanpa passport dan visa, langkah harus terheni persis di garis batas ini. Dari sinilah angin surga itu berhembus.
Sejak Timor Leste memisahkan diri dengan Indonesia 10 tahun lalu pada 1999, perhatian pemerintah pusat terhadap pembangunan diperbatasan semakin meningkat. Meski hingga saat ini, kendala teknis di lapangan, seperti gangguan alat komunikasi di pos TNI yang terletak di wilayah Oepoli, Aplala dan Napan, yang berbatasan dengan Distrik Oecusi, masih sering dikeluhkan. Namun, hal itu tidak membuat Garuda Pancasila yang terpancang di gapura bertulis “Welcome to Indonesia,” kehilangan kemegahannya.
Wajah perbatasan kedua negara ini jauh berbeda. Barak pasukan pengamanan perbatasan yang dulunya dibangun darurat, telah direhab menjadi sebuah gedung yang asri. Lantai bangunan yang dulunya hanya beralaskan tanah telah kini berkeramik. Bukan hanya barak untuk 650 personel TNI saja yang dibangun mewah. Beberapa instansi pendukung seperti pos imigrasi, bea cukai, karantina hewan dan pertanian maupun pos kepolisian memiliki bangunan yang tak kalah megahnya. ”Semua bangunan ini dibangun oleh pemerintah pusat,” lanjut Dodi.
Perubahan pun terjadi pada cara petugas dalam melayani para pelintas batas. Senyum dan sapaan yang ramah, selalu terucap dari para aparat yang bertugas di pintu lintas batas tersebut. “Dulu, situasi disini (Motaain) terkesan seram. Sekarang, situasinya jauh berbeda,” kata seorang misionaris Timor Leste saat ditemui di Motaain. Memang, situasi keamanan di garis batas sepanjang 300 kilometer ini semakin kondusif. ”Saya juga selau berkomunikasi dengan pihak Policia Patrolha Fronteiras (Polisi penjaga perbatasan Timor Leste)," kata Komandan Satgas Pasukan TNI penjaga perbatasan, Letnan Kolonel Inf. Yunianto.
Di balik keindahan itu, Direktur CIS Winston Rondo melihat "sesuatu". Yakni hilangnya kebiasaan-kebiasaan humanis yang ada di sana. Seperti family meeting yang dahulu pernah ada. "Dulu ada pertemuan keluarga (family meeting) di perbatasan. Tapi sakarang sudah dilarang karena ada pungutan pungutan liar," kata Winston. Akibatnya, pertemuan keluarga itu berubah rupa dengan pertemuan sembunyi-sembunyi di sekitar perbatasan. Dengan melewati jalan-jalan setapak yang disebut "jalan tikus". TNI, kata Winston lebih baik melihat perbatasan sebagai zona damai.
"Saya selalu bilang, jangan terlalu tinggi tensinya karena akan sulit diurus, mengapa tidak membiarkan orang lewat dengan membayar USD 5 dolar, bila ada keluarga yang sakit, misalnya," jelasnya. Juga bila ada kegiatan ekonomi kecil-kecilan. Terutama pada Juni dan Agustus. Di bulan-bulan itu, orang orang eks Timtim dari kamp pengungsian menyeberang ke Timor Leste untuk panen kopi selama 1-2 bulan. Selama itu, karena tidak ada kebijakan yang humanis, kegiatan itu dilakukan secara ilegal melewati jalan-jalan tikus.
Lain Winston, lain pula Picing Palu. Laki-laki ini merasakan Mota'ain sebagai ladang rupiah dan dollar. Keinginan merantai ke Dili Timor Leste bersama isteri dan dua anaknya pun batal. Pria kelahiran Bone, Sulawesi Selatan ini melihat ada "celah ekonomi" di areal perbatasa. “Situasi disini sangat ramai. Kalau saya membuka kios, pasti jualan sangat laris karena kebanyakan kios berada diluar zona netral, kawasan yang dianggap steril bagi aktifitas warga sipil,” katanya.
Bermodalkan sedikit dana yang dibawa dari kampung halamannya, Picing, mencoba membuka usaha dengan menjual barang kebutuhan pokok. Ternyata, jualannya laris manis diserbu pembeli. “Setiap minggu, saya harus ke Atambua untuk membeli barang guna memenuhi kebutuhan para pelintas batas,” katanya. Keuntungan hasil usahanya, sebagian disimpan untuk mengembangkan usaha dan sisanya untuk investasi masa depan. Ia pun membeli tanah seluas 400 meter persegi yang hanya berjarak sekitar 20 meter dari pos lintas batas.
Di atas tanah itulah, ia membangun sebuah kios dan tempat tinggal. Rata-rata setiap hari, Picing memperoleh keuntungan sebesar Rp. 300 ribu sampai Rp.400 ribu. Berbagai jenis kebutuhan pokok dijual di sana. Mulai dari bahan makanan siap saji, minuman ringan, VCD film dan lagu-lagu populer sampai dengan pulsa handphone. “Kalau ramai, saya bisa mendapatkan keuntungan sampai dengan Rp 1 juta,” ujarnya. Saat The Jakarta Post mengunjungi perbatasan Motaain, belasan pelintas batas asal Filipina, Portugis dan Indonesia yang sementara membeli kebutuhan hidup mereka.
Kehadiran pintu lintas Batas Motaain, juga menjadi sumber rezeki bagi puluhan remaja putus sekolah, yang bermukim di wilayah itu. Hanya bermodalkan sebuah gerobak, setiap hari rata-rata remaja memperoleh keuntungan Rp.100 ribu sampai dengan Rp.300 ribu. Para remaja yang bergabung dalam kelompok Porter Mota'ain, bertugas membawa barang bawaan para pelintas batas dengan imbalan Rp.10.000 sampai dengan Rp.50 ribu. Tetapi apabila barang bawaan milik orang asing, para porter menerima imbalan dalam bentuk dollar AS. ”Biasanya kami membawa pulang sampai Rp.100 ribu lebih apabila perbatasan sangat ramai,” kata Okto Bere (27), salah satu koordinator porter. Okto mengaku, penghasilan digunakan untuk biaya hidup dan kebutuhan puteri semata wayangnya yang bersekolah di salah satu SMP swasta di Atambua.
foto dan teks foto: Iman D. Nugroho
1. Uang dollar dalam genggaman poter gerbang perbatasan Indonesia-Timor Leste
2. Pasukan penjaga perbatasan di gerbang perbatasan Mota'ain.
Iman D. Nugroho dan Yemris Fointuna [untuk The Jakarta Post]
Garis kuning memudar dengan lebar sekitar 30 centimeter itu masih membelah jembatan Mota'ain, Kabupaten Belu, NTT. Meski demikian, setiap kendaraan yang tak memiliki ijin melintas garis itu tidak diperkenankan melewati garis kuning itu. Tak terkecuali, warga sipil yang ingin menjemput keluarganya.Tanpa passport dan visa, langkah harus terheni persis di garis batas ini. Dari sinilah angin surga itu berhembus.
Sejak Timor Leste memisahkan diri dengan Indonesia 10 tahun lalu pada 1999, perhatian pemerintah pusat terhadap pembangunan diperbatasan semakin meningkat. Meski hingga saat ini, kendala teknis di lapangan, seperti gangguan alat komunikasi di pos TNI yang terletak di wilayah Oepoli, Aplala dan Napan, yang berbatasan dengan Distrik Oecusi, masih sering dikeluhkan. Namun, hal itu tidak membuat Garuda Pancasila yang terpancang di gapura bertulis “Welcome to Indonesia,” kehilangan kemegahannya.
Wajah perbatasan kedua negara ini jauh berbeda. Barak pasukan pengamanan perbatasan yang dulunya dibangun darurat, telah direhab menjadi sebuah gedung yang asri. Lantai bangunan yang dulunya hanya beralaskan tanah telah kini berkeramik. Bukan hanya barak untuk 650 personel TNI saja yang dibangun mewah. Beberapa instansi pendukung seperti pos imigrasi, bea cukai, karantina hewan dan pertanian maupun pos kepolisian memiliki bangunan yang tak kalah megahnya. ”Semua bangunan ini dibangun oleh pemerintah pusat,” lanjut Dodi.
Perubahan pun terjadi pada cara petugas dalam melayani para pelintas batas. Senyum dan sapaan yang ramah, selalu terucap dari para aparat yang bertugas di pintu lintas batas tersebut. “Dulu, situasi disini (Motaain) terkesan seram. Sekarang, situasinya jauh berbeda,” kata seorang misionaris Timor Leste saat ditemui di Motaain. Memang, situasi keamanan di garis batas sepanjang 300 kilometer ini semakin kondusif. ”Saya juga selau berkomunikasi dengan pihak Policia Patrolha Fronteiras (Polisi penjaga perbatasan Timor Leste)," kata Komandan Satgas Pasukan TNI penjaga perbatasan, Letnan Kolonel Inf. Yunianto.
Di balik keindahan itu, Direktur CIS Winston Rondo melihat "sesuatu". Yakni hilangnya kebiasaan-kebiasaan humanis yang ada di sana. Seperti family meeting yang dahulu pernah ada. "Dulu ada pertemuan keluarga (family meeting) di perbatasan. Tapi sakarang sudah dilarang karena ada pungutan pungutan liar," kata Winston. Akibatnya, pertemuan keluarga itu berubah rupa dengan pertemuan sembunyi-sembunyi di sekitar perbatasan. Dengan melewati jalan-jalan setapak yang disebut "jalan tikus". TNI, kata Winston lebih baik melihat perbatasan sebagai zona damai.
"Saya selalu bilang, jangan terlalu tinggi tensinya karena akan sulit diurus, mengapa tidak membiarkan orang lewat dengan membayar USD 5 dolar, bila ada keluarga yang sakit, misalnya," jelasnya. Juga bila ada kegiatan ekonomi kecil-kecilan. Terutama pada Juni dan Agustus. Di bulan-bulan itu, orang orang eks Timtim dari kamp pengungsian menyeberang ke Timor Leste untuk panen kopi selama 1-2 bulan. Selama itu, karena tidak ada kebijakan yang humanis, kegiatan itu dilakukan secara ilegal melewati jalan-jalan tikus.
Lain Winston, lain pula Picing Palu. Laki-laki ini merasakan Mota'ain sebagai ladang rupiah dan dollar. Keinginan merantai ke Dili Timor Leste bersama isteri dan dua anaknya pun batal. Pria kelahiran Bone, Sulawesi Selatan ini melihat ada "celah ekonomi" di areal perbatasa. “Situasi disini sangat ramai. Kalau saya membuka kios, pasti jualan sangat laris karena kebanyakan kios berada diluar zona netral, kawasan yang dianggap steril bagi aktifitas warga sipil,” katanya.
Bermodalkan sedikit dana yang dibawa dari kampung halamannya, Picing, mencoba membuka usaha dengan menjual barang kebutuhan pokok. Ternyata, jualannya laris manis diserbu pembeli. “Setiap minggu, saya harus ke Atambua untuk membeli barang guna memenuhi kebutuhan para pelintas batas,” katanya. Keuntungan hasil usahanya, sebagian disimpan untuk mengembangkan usaha dan sisanya untuk investasi masa depan. Ia pun membeli tanah seluas 400 meter persegi yang hanya berjarak sekitar 20 meter dari pos lintas batas.
Di atas tanah itulah, ia membangun sebuah kios dan tempat tinggal. Rata-rata setiap hari, Picing memperoleh keuntungan sebesar Rp. 300 ribu sampai Rp.400 ribu. Berbagai jenis kebutuhan pokok dijual di sana. Mulai dari bahan makanan siap saji, minuman ringan, VCD film dan lagu-lagu populer sampai dengan pulsa handphone. “Kalau ramai, saya bisa mendapatkan keuntungan sampai dengan Rp 1 juta,” ujarnya. Saat The Jakarta Post mengunjungi perbatasan Motaain, belasan pelintas batas asal Filipina, Portugis dan Indonesia yang sementara membeli kebutuhan hidup mereka.
Kehadiran pintu lintas Batas Motaain, juga menjadi sumber rezeki bagi puluhan remaja putus sekolah, yang bermukim di wilayah itu. Hanya bermodalkan sebuah gerobak, setiap hari rata-rata remaja memperoleh keuntungan Rp.100 ribu sampai dengan Rp.300 ribu. Para remaja yang bergabung dalam kelompok Porter Mota'ain, bertugas membawa barang bawaan para pelintas batas dengan imbalan Rp.10.000 sampai dengan Rp.50 ribu. Tetapi apabila barang bawaan milik orang asing, para porter menerima imbalan dalam bentuk dollar AS. ”Biasanya kami membawa pulang sampai Rp.100 ribu lebih apabila perbatasan sangat ramai,” kata Okto Bere (27), salah satu koordinator porter. Okto mengaku, penghasilan digunakan untuk biaya hidup dan kebutuhan puteri semata wayangnya yang bersekolah di salah satu SMP swasta di Atambua.
foto dan teks foto: Iman D. Nugroho
1. Uang dollar dalam genggaman poter gerbang perbatasan Indonesia-Timor Leste
2. Pasukan penjaga perbatasan di gerbang perbatasan Mota'ain.
21 July 2009
Terlunta-lunta di Tanah Indah Flobamora
*10 Tahun Pasca Jajak Pendapat
Iman D. Nugroho dan Yemris Fointuna [untuk The Jakarta Post]
Maria Dacosta tiba-tiba menangis. Air mata perempuan 31 tahun itu mengalir ketika bercerita tentang nasib anaknya, Modestina de Araujo yang kini berusia 1,1 tahun. Modestina divonis dokter busung lapar dan umurnya hanya dalam hitungan hari. Mendengar itu, Maria hanya bisa pasrah. Tidak adanya biaya membuat Maria membiarkan saja Modestina menjemput nasib. "Tidak ada lagi uang, hanya mengandalkan pemberian orang sambil terus berdoa," kata Modestina yang kini tinggal menumpang di salah satu penduduk di Oebelo, Kupang Timur.
Maria Dacista bisa jadi merupakan salah satu pengungsi eks Timor Timur yang terlunta nasibnya. Sejak memutuskan untuk bergabung dengan Indonesia dan mengungsi pada tahun 1999, Maria dan keluarganya tidak pernah keluar dari jerat kemiskinan. Apalagi, ketika suaminya, Domingus Dacosta meninggal karena penyakit paru-paru, ketika keluarga itu sedang berjuang untuk mendapatkan rumah sebagai tempat tinggal. Maria pun hidup menumpang di salah satu saudaranya.
Rumah tempat perempuan asli Viqueque Timtim dan keenam anaknya tinggal pun sangat sederhana. Beratap alang-alang dan berdinding kayu reyot, rumah tumpangan yang terletak di areal resutlement itu terlihat miring ke kiri. Lantainya tanah dengan kayu-kayu lapuk sebagai peembatas ruangan. Kamar mandi terbuka terletak di bagian luar. Balai-balai kayu di bagian depan difungsikan sebagai ruang tamu dan tempat berteduh saat panas menyengat di siang hari.
Apa yang dialami Maria dan kekuarganya, menurut Winston Rondo, Direktur Center for IDP's Service (CIS) Timor-NGO yang concern dalam hal pengungsi eks Timtim- adalah gambaran dari belum tuntasnya persoalan pengungi eks Timtim.Waktu terjadinya pengungsian yang sudah bertahun-tahun berlalu membuat perhatian pemerintah kepada pengungsi pun memudar. "Dari sisi nama saja, sudah diganti dengan menyebut mereka sebagai warga baru atau WNI keturunan Timtim, ini sebutan yang melemahkan," kata Winston pada The Jakarta Post.
CIS melihat, apa yang terjadi pada pengungsi eks Timtim ini adalah upaya mempertahankan hidup semata. Mereka juga merupakan kelompok yang sudah kehabisan pilihan. Opsi kembali dan menjadi warga Timor Leste sekarang sudah tidak ada lagi. Ada traumatik dari pilihan tahun 1999 lalu. Meski di tanah baru NTT, kondisi mereka tidak lebih baik. Dalam catatan CIS, pemerintah RI pernah dengan sadar mengingkari hak-hak pengungsi dengan menghentikan bantuan kepada pengungsi pada tahun 2002.
Bantuan perumahan yang dianggap sebagai "bantuan terakhir" yang digawangi oleh banyak kementerian pemerintah RI termasuk TNI, justru banyak yang tidak bermanfaat. Pembangunan rumah memunculkan peluang adanya konflik lahan dengan warga lokal. Oebelo, Kupang adalah contoh buruk akan hal ini. Di lokasi yang awalnya dibangun dengan dana bantuan Jepang senilai Rp. 51 miliar dengan fasilitas air bersih dan gereja sebagai kompensasi untuk warga lokal ini menuai persoalan ketika rumah pengungsi dibangun sangat berdekatan.
Dalam pengamatan The Jakarta Post di lokasi resutlement di wilayah Weliura, Atambua, kondisi memang jauh dari harapan. Rumah-rumah berukuran 4x6 itu dibangun dperbukitan. Jalan masih berupa batuan kapur yang licin bila hujan menggugur wilayah itu. Tanpa listrik dan air. "Semua yang ada di sini kami penuhi secara swadaya," kata Esperanza Lopes, penduduk setempat. Termasuk sebuah sekolah sederhana yang ada di bagian tengah wilayah resutlement itu. Sekolah berdinding dan berbangku kayu lapuk. Sebagian dindingnya berlubang di makan usia. Di sekolah inilah murid-murid sekolah dasar di Weliura akan segera memulai tahun ajaran barunya tahun ini.
Persoalan juga muncul ketika para pengungsi eks Timtim bekerja untuk hidup. Bila di Timor Leste mereka punya tanah untuk digarap sebagai ladang atau sawah, tidak demikian di NTT. Mereka menyewa tanah dari penduduk lokal dan menggarapnya. Untuk pengungsi yang tidak memiliki cukup uang, hal itu jelas tidak bisa dilakukan. Belum lagi muncul stigma di masyarakat tentang sosok pengungsi eks Timtim yang merupakan orang kasar dan tanpa kompromi. Stigma itu memunculkan ketidaksenangan di masyarakat lokal. "Juga, ada kecemburuan dari masyarakat lokal kepada pengungsi eks Timtim karena sering mendapatkan bantuan, ketidaksenangan itu memunculkan penolakan," kata Dionato Moriera, staff CIS wilayah Atambua. Pernah ada program bantuan dari UNHCR berupa pengadaan perahu nelayan untuk komunitas pengungsi dari Lospalos, Baukau dan Viqueque. "Bantuan ini justru menghangatkan konflik antar kelompok" kata Winston dari CIS Timor.
Dari berbagai hal itulah, perlu adanya upaya sistematis untuk mengubah nasib pengungsi eks Timtim. Negosiasi lahan dengan pendekatan adat dengan warga lokal menjadi hal yang paling penting. Lahan dapat dipakai untuk membangun rumah agar memindahkan pengungsi dari kamp dan resutlement yang tidak layak. Negosiasi ini juga akan mengurangi terjadinya penyerobotan tanah. Pendekatan adat pulalah yang akan mengangkat posisi pengungsi menjadi lebih baik. Hingga tak ada lagi pengungsi yang terluntas seperti Maria Dacosta dan keenam anaknya.
foto dan teks foto by Iman D. Nugroho:
1. Perumahan resutlement di Weliura, Atambua, Timor Barat.
2. Maria Dacosta dan anak-anaknya.
Iman D. Nugroho dan Yemris Fointuna [untuk The Jakarta Post]
Maria Dacosta tiba-tiba menangis. Air mata perempuan 31 tahun itu mengalir ketika bercerita tentang nasib anaknya, Modestina de Araujo yang kini berusia 1,1 tahun. Modestina divonis dokter busung lapar dan umurnya hanya dalam hitungan hari. Mendengar itu, Maria hanya bisa pasrah. Tidak adanya biaya membuat Maria membiarkan saja Modestina menjemput nasib. "Tidak ada lagi uang, hanya mengandalkan pemberian orang sambil terus berdoa," kata Modestina yang kini tinggal menumpang di salah satu penduduk di Oebelo, Kupang Timur.
Maria Dacista bisa jadi merupakan salah satu pengungsi eks Timor Timur yang terlunta nasibnya. Sejak memutuskan untuk bergabung dengan Indonesia dan mengungsi pada tahun 1999, Maria dan keluarganya tidak pernah keluar dari jerat kemiskinan. Apalagi, ketika suaminya, Domingus Dacosta meninggal karena penyakit paru-paru, ketika keluarga itu sedang berjuang untuk mendapatkan rumah sebagai tempat tinggal. Maria pun hidup menumpang di salah satu saudaranya.
Rumah tempat perempuan asli Viqueque Timtim dan keenam anaknya tinggal pun sangat sederhana. Beratap alang-alang dan berdinding kayu reyot, rumah tumpangan yang terletak di areal resutlement itu terlihat miring ke kiri. Lantainya tanah dengan kayu-kayu lapuk sebagai peembatas ruangan. Kamar mandi terbuka terletak di bagian luar. Balai-balai kayu di bagian depan difungsikan sebagai ruang tamu dan tempat berteduh saat panas menyengat di siang hari.
Apa yang dialami Maria dan kekuarganya, menurut Winston Rondo, Direktur Center for IDP's Service (CIS) Timor-NGO yang concern dalam hal pengungsi eks Timtim- adalah gambaran dari belum tuntasnya persoalan pengungi eks Timtim.Waktu terjadinya pengungsian yang sudah bertahun-tahun berlalu membuat perhatian pemerintah kepada pengungsi pun memudar. "Dari sisi nama saja, sudah diganti dengan menyebut mereka sebagai warga baru atau WNI keturunan Timtim, ini sebutan yang melemahkan," kata Winston pada The Jakarta Post.
CIS melihat, apa yang terjadi pada pengungsi eks Timtim ini adalah upaya mempertahankan hidup semata. Mereka juga merupakan kelompok yang sudah kehabisan pilihan. Opsi kembali dan menjadi warga Timor Leste sekarang sudah tidak ada lagi. Ada traumatik dari pilihan tahun 1999 lalu. Meski di tanah baru NTT, kondisi mereka tidak lebih baik. Dalam catatan CIS, pemerintah RI pernah dengan sadar mengingkari hak-hak pengungsi dengan menghentikan bantuan kepada pengungsi pada tahun 2002.
Bantuan perumahan yang dianggap sebagai "bantuan terakhir" yang digawangi oleh banyak kementerian pemerintah RI termasuk TNI, justru banyak yang tidak bermanfaat. Pembangunan rumah memunculkan peluang adanya konflik lahan dengan warga lokal. Oebelo, Kupang adalah contoh buruk akan hal ini. Di lokasi yang awalnya dibangun dengan dana bantuan Jepang senilai Rp. 51 miliar dengan fasilitas air bersih dan gereja sebagai kompensasi untuk warga lokal ini menuai persoalan ketika rumah pengungsi dibangun sangat berdekatan.
Dalam pengamatan The Jakarta Post di lokasi resutlement di wilayah Weliura, Atambua, kondisi memang jauh dari harapan. Rumah-rumah berukuran 4x6 itu dibangun dperbukitan. Jalan masih berupa batuan kapur yang licin bila hujan menggugur wilayah itu. Tanpa listrik dan air. "Semua yang ada di sini kami penuhi secara swadaya," kata Esperanza Lopes, penduduk setempat. Termasuk sebuah sekolah sederhana yang ada di bagian tengah wilayah resutlement itu. Sekolah berdinding dan berbangku kayu lapuk. Sebagian dindingnya berlubang di makan usia. Di sekolah inilah murid-murid sekolah dasar di Weliura akan segera memulai tahun ajaran barunya tahun ini.
Persoalan juga muncul ketika para pengungsi eks Timtim bekerja untuk hidup. Bila di Timor Leste mereka punya tanah untuk digarap sebagai ladang atau sawah, tidak demikian di NTT. Mereka menyewa tanah dari penduduk lokal dan menggarapnya. Untuk pengungsi yang tidak memiliki cukup uang, hal itu jelas tidak bisa dilakukan. Belum lagi muncul stigma di masyarakat tentang sosok pengungsi eks Timtim yang merupakan orang kasar dan tanpa kompromi. Stigma itu memunculkan ketidaksenangan di masyarakat lokal. "Juga, ada kecemburuan dari masyarakat lokal kepada pengungsi eks Timtim karena sering mendapatkan bantuan, ketidaksenangan itu memunculkan penolakan," kata Dionato Moriera, staff CIS wilayah Atambua. Pernah ada program bantuan dari UNHCR berupa pengadaan perahu nelayan untuk komunitas pengungsi dari Lospalos, Baukau dan Viqueque. "Bantuan ini justru menghangatkan konflik antar kelompok" kata Winston dari CIS Timor.
Dari berbagai hal itulah, perlu adanya upaya sistematis untuk mengubah nasib pengungsi eks Timtim. Negosiasi lahan dengan pendekatan adat dengan warga lokal menjadi hal yang paling penting. Lahan dapat dipakai untuk membangun rumah agar memindahkan pengungsi dari kamp dan resutlement yang tidak layak. Negosiasi ini juga akan mengurangi terjadinya penyerobotan tanah. Pendekatan adat pulalah yang akan mengangkat posisi pengungsi menjadi lebih baik. Hingga tak ada lagi pengungsi yang terluntas seperti Maria Dacosta dan keenam anaknya.
foto dan teks foto by Iman D. Nugroho:
1. Perumahan resutlement di Weliura, Atambua, Timor Barat.
2. Maria Dacosta dan anak-anaknya.
Perjuangan Belum Berakhir Untuk Pengungsi Pro Integrasi
*10 Tahun Pasca Jajak Pendapat
Iman D. Nugroho dan Yemris Fointuna [untuk The Jakarta Post]
Bayangan hitam itu terus bertambah dekat. Mateus Guedes yang sedang sibuk mengatur rombongan pro-integrasi untuk mengungsi ke perbatasan Mota'ain menaruh curiga. Teriakan perintah untuk berhenti mengendap tidak dihiraukan. Bayangan itu tetap mendekat. Dan,..dor-dor-dor! Senapan rakitan yang saat itu dipegang Meteus pun menyalak. Bayangan itu roboh. "Saya tidak tahu, apakah tembakan itu mengenainya atau tidak, kami terus melanjutkan evakuasi," kenang Mateus Guedes, mantan anggota Aitara wilayah Dili pada The Jakarta Post.
Peristiwa 10 tahun lalu, tepatnya pada bulan September 1999 masih dikenang oleh Meteus. Saat itulah, Mateus dan puluhan ribu warga Timor Timur pro Integrasi harus rela meninggalkan tanah kelahirannya untuk mengungsi ke Nusa Tenggara Timur (NTT), provinsi tetangga Timor Timur. Jajak Pendapat yang dilakukan di Timor Timur menghasilkan kemerdekaan bagi Timor Leste. "Saat itu pilihannya hanya mengungsi, atau terbunuh," kata Mateus.
Peristiwa merdekanya Timor Timur yang sudah 23 berintegrasi dengan Indonesia sepuluh tahun lalu memang diwarnai dengan darah. Masyarakat Timor-Timur yang terbelah menjadi dua, pro integrasi dan pro kemerdekaan masing-masing saling serang. Kelompok pro integrasi dengan Indonesia terbagi dalam kelompok-kelompok Pejuangan Pembela Integrasi (PPI). Seperti Tim Alfa (Lautem), Saca/Sera (Bacau), Makikit (Vequeque), Ablai (Manufahi), AHI (Aileu), Mahidi (Ainaro), Laksaur (Covalima), Aitara (Dili), Sakunar (Ambeno), BMP (Liquisa), Hahilintar (Bobonaro), Jati Merah Putih (Lospalos) dan Darah Merah Putih (Ermera). Sementara pihak pro-kemerdekaan bersatu dengan sayap militer partai politik Timor Leste.
Tidak ada jumlah yang pasti menyangkut pengungsi pro-integrasi yang masuk ke NTT. Setidaknya, tak kurang dari 100 ribu jiwa termobilisasi masuk ke NTT saat itu. Sebagian dari mereka membuat kamp pengungsi di beberapa kawasan di Kecamatan Belu. Sementara yang lain menyebar sampai ke TTU dan ke Kupang. Mereka menempati tanah-tanah kosong yang ada di sana. Mulai lahan persawahan, stasion, laddang jagung hingga bukit-bukit. Mateo sendiri memilih tinggal di Atambua, Kecamatan Belu. Bersama keluarga besarnya yang pada tahun 1975 sudah ada yang mengungsi di tempat itu.
Masuk daerah baru, dengan kondisi nol, adalah masalah bagi pengungsi eks Timtim ketika itu.Hiruk pikuk politik nasional di Jakarta saat itu, membuat persoalan pengungsi Timtim sempat terlupakan. Tidak terhitung lagi berapa kali muncul peristiwa tragis di pengungsian dan perbatasan yang membawa korban tewas. Kehadiran pasukan lembaga baru bentukan UN ketika itu juga tidak mampun meminimalisir konflik horisontal. Dalam pertemuan di Bulan Desember 2000, Eurico Guterres (Aitara) dan Cansio Lopes de Calvalho (Mahidi) sempat meminta dengan keras kepada pemerintah pusat untuk menangani pengungsi dengan lebih serius. Waktu terus berjalan. Penanganan pengungsi yang tahun-demi tahun dilakukan melalui resutlement di beberapa tempat.
Bagaimana setelah 10 tahun berselang? Dalam sebuah pertemuan di pinggiran kota Kupang, Eurico Guterres mengumpamakan perjuangan bagi eks PPI belum juga berakhir. Kondisi para warga eks Timtim masih dipenuhi dengan kesengsaraan. "Orang di luar hanya melihat pengungsi sudah dibangunkan rumah 6x6. Program penanganan pemerintah setengah hati, pembangunan rumah tidak manusiawi, dan asal jadi," kata Eurico Tegas. Benar juga, dalam pengamatan The Jakarta Post di kamp dan resatlement Kabupaten Belum dan Kabupaten Kupang NTT, tampak sekali kondisi itu. Di wilayah Oebelo, Kupang misalnya. Para eks Timtim tinggal di rumah resutlement yang sangat sederhana. Berlantai tanah, dan beratap kayu. Beton hanya dibangun 1 meter dari tanah. Hanya ada 1 pompa untuk ratusan.
Ironisnya, tanah dan rumah itu tidak didapatkan secara gratis. Domingos Soares eks PPI yang tinggal di tempat itu mengaku harus membayar tanah yang dia miliki. Pekerjaan sebagai buruh tani membuatnya kesulitan untuk itu. "Semua uang untuk membayar rumah selama bertahun-tahun, tidak ada untuk keluarga," kata Domingos pada The Post. Akibatnya, muncul problem kesehatan di keluarga mantan pasukan Aitara itu. Anak Domingos adalah salah satu balita yang terkena penyakit kurang gizi. Problem lain adalah muncul dari pengungsi yang tinggal di tanah milik warga lokal. Selama sepuluh tahun ini, eks Timtim selalu dihadapkan pada persoalan membayar sewa tanah yang selama ini dipakei. Kalau pengungsi eks Timor Timur tidak mau membayar, mereka diminta keluar dari tanah pengungsian. "Ini tidak diketahui. Saya mau publik tahu. Harus dilakukan sesuatu untuk itu," kata Eurico Guterres.
Di Kabupaten Belu, khususnya di Atambua pun sama. Meri Djami, koordinator NGO Pengungsi CIS Atambua mengatakan, hingga saat ini ada 20 ribu pengungsi di Atambua. Sekitar 5000-an orang di ataranya masih tinggal di kamp pengungsian. "Sementara sisanya hidup di resutlement," katanya. Di wilayah ini, kata Meri, pengungsi eks Timtim setidaknya menghadati tiga persoalan besar. Yakni persoalan tanah dan tempat tinggal, persoalan stigma sebagai warga Timtim dan persoalan kecemburuan sosial. "Mereka terus menghadapi masalah ini, sementara jumlah lembaga yang peduli dengan pengungsi eks Timtim sangat minim," katanya.
Karena tidak mau terus dalam keadaan yang tidak menentu itulah, eks Timtim mulai bergerak sendiri untuk memperbaiki nasib. Salah satunya membentuk organisasi di Atambua bernama Forum Kemanusiaan Warga Negara Indonesia Eks Timor Timur Korban Keputusan Politik. Forum itu diketuai oleh Carlos Araujo Brito. Meski hanya dibentuk oleh pengungsi, forum ini tergolong maju dengan mencatatkan diri di notaris setempat. Memalui forum ini, eks Timtim di Belu mencoba mengidentifikasi jumlah secara pasti persoalan-persoalan yang dirasakan 20 ribuan anggotanya. Termasuk memberikan solusi-solusi terbaik. Sementara di Kabupaten Kupang, Eurico Guterres terus mengorganisir diri untuk membangun kapasitas warga eks Timtim untuk bisa kembali maju memperbaiki nasibnya. Eurico dkk berencana membuat buku edisi 10 tahun di pengungsian dan diserahkan secara khusus ke Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Sayang, perjalanan mereka pun acap kali terseok.Dalam sebuah demonstrasi di DPRD Belu yang dilakukan selama satu minggu pada tahun tahun 2008 dan berakhir bentrok, membuat pentolan Forum WNI Eks Timtim Korban Keputusan Politik ditangkap dan dipenjara. Sementara di Kupang, gerakan yang dilakukan Eurico Guterres harus berhadapat dengan ketidakkompakan warga eks Timtim. Saat Eurico mencalonkan diri sebagai anggota DPR-RI melalui PAN dalam Pemilu 2009 pun kandas. "Karakter orang Timor memang tidak bisa bersatu. Kalau bisa bersatu Timor akan jadi besar," katanya.
Meskipun dalam keadaan menderita, warga eks Timtim sudah sepakat untuk tidak meninggalkan Indonesia dan kembali ke Timtim. Meski kondisi riil lebih kondufis untuk mereka berkebun, namun sejarah masa lalu yang berdarah-darah tidak memungkinkan bagi mereka untuk kembali ke Timor Leste. "Pilihan untuk hidup di Indonesia adalah pilihan sadar saya, meski perjuangan eks PPI ternyata belum selesai sebagai warga negara Indonesia," kata Meteus.
foto dan teks foto by Iman D. Nugroho
1. Keluarga Domingos Soares di Kupang
2. Seorang eks Timtim di kuburan Emelia S. Baretto dan Agista de Jesus. Keduanya meninggal tahun 2005, karena diperkosa di hutan wilayah perbatasan, saat masuk secara ilegal ke Timor Leste.
Iman D. Nugroho dan Yemris Fointuna [untuk The Jakarta Post]
Bayangan hitam itu terus bertambah dekat. Mateus Guedes yang sedang sibuk mengatur rombongan pro-integrasi untuk mengungsi ke perbatasan Mota'ain menaruh curiga. Teriakan perintah untuk berhenti mengendap tidak dihiraukan. Bayangan itu tetap mendekat. Dan,..dor-dor-dor! Senapan rakitan yang saat itu dipegang Meteus pun menyalak. Bayangan itu roboh. "Saya tidak tahu, apakah tembakan itu mengenainya atau tidak, kami terus melanjutkan evakuasi," kenang Mateus Guedes, mantan anggota Aitara wilayah Dili pada The Jakarta Post.
Peristiwa 10 tahun lalu, tepatnya pada bulan September 1999 masih dikenang oleh Meteus. Saat itulah, Mateus dan puluhan ribu warga Timor Timur pro Integrasi harus rela meninggalkan tanah kelahirannya untuk mengungsi ke Nusa Tenggara Timur (NTT), provinsi tetangga Timor Timur. Jajak Pendapat yang dilakukan di Timor Timur menghasilkan kemerdekaan bagi Timor Leste. "Saat itu pilihannya hanya mengungsi, atau terbunuh," kata Mateus.
Peristiwa merdekanya Timor Timur yang sudah 23 berintegrasi dengan Indonesia sepuluh tahun lalu memang diwarnai dengan darah. Masyarakat Timor-Timur yang terbelah menjadi dua, pro integrasi dan pro kemerdekaan masing-masing saling serang. Kelompok pro integrasi dengan Indonesia terbagi dalam kelompok-kelompok Pejuangan Pembela Integrasi (PPI). Seperti Tim Alfa (Lautem), Saca/Sera (Bacau), Makikit (Vequeque), Ablai (Manufahi), AHI (Aileu), Mahidi (Ainaro), Laksaur (Covalima), Aitara (Dili), Sakunar (Ambeno), BMP (Liquisa), Hahilintar (Bobonaro), Jati Merah Putih (Lospalos) dan Darah Merah Putih (Ermera). Sementara pihak pro-kemerdekaan bersatu dengan sayap militer partai politik Timor Leste.
Tidak ada jumlah yang pasti menyangkut pengungsi pro-integrasi yang masuk ke NTT. Setidaknya, tak kurang dari 100 ribu jiwa termobilisasi masuk ke NTT saat itu. Sebagian dari mereka membuat kamp pengungsi di beberapa kawasan di Kecamatan Belu. Sementara yang lain menyebar sampai ke TTU dan ke Kupang. Mereka menempati tanah-tanah kosong yang ada di sana. Mulai lahan persawahan, stasion, laddang jagung hingga bukit-bukit. Mateo sendiri memilih tinggal di Atambua, Kecamatan Belu. Bersama keluarga besarnya yang pada tahun 1975 sudah ada yang mengungsi di tempat itu.
Masuk daerah baru, dengan kondisi nol, adalah masalah bagi pengungsi eks Timtim ketika itu.Hiruk pikuk politik nasional di Jakarta saat itu, membuat persoalan pengungsi Timtim sempat terlupakan. Tidak terhitung lagi berapa kali muncul peristiwa tragis di pengungsian dan perbatasan yang membawa korban tewas. Kehadiran pasukan lembaga baru bentukan UN ketika itu juga tidak mampun meminimalisir konflik horisontal. Dalam pertemuan di Bulan Desember 2000, Eurico Guterres (Aitara) dan Cansio Lopes de Calvalho (Mahidi) sempat meminta dengan keras kepada pemerintah pusat untuk menangani pengungsi dengan lebih serius. Waktu terus berjalan. Penanganan pengungsi yang tahun-demi tahun dilakukan melalui resutlement di beberapa tempat.
Bagaimana setelah 10 tahun berselang? Dalam sebuah pertemuan di pinggiran kota Kupang, Eurico Guterres mengumpamakan perjuangan bagi eks PPI belum juga berakhir. Kondisi para warga eks Timtim masih dipenuhi dengan kesengsaraan. "Orang di luar hanya melihat pengungsi sudah dibangunkan rumah 6x6. Program penanganan pemerintah setengah hati, pembangunan rumah tidak manusiawi, dan asal jadi," kata Eurico Tegas. Benar juga, dalam pengamatan The Jakarta Post di kamp dan resatlement Kabupaten Belum dan Kabupaten Kupang NTT, tampak sekali kondisi itu. Di wilayah Oebelo, Kupang misalnya. Para eks Timtim tinggal di rumah resutlement yang sangat sederhana. Berlantai tanah, dan beratap kayu. Beton hanya dibangun 1 meter dari tanah. Hanya ada 1 pompa untuk ratusan.
Ironisnya, tanah dan rumah itu tidak didapatkan secara gratis. Domingos Soares eks PPI yang tinggal di tempat itu mengaku harus membayar tanah yang dia miliki. Pekerjaan sebagai buruh tani membuatnya kesulitan untuk itu. "Semua uang untuk membayar rumah selama bertahun-tahun, tidak ada untuk keluarga," kata Domingos pada The Post. Akibatnya, muncul problem kesehatan di keluarga mantan pasukan Aitara itu. Anak Domingos adalah salah satu balita yang terkena penyakit kurang gizi. Problem lain adalah muncul dari pengungsi yang tinggal di tanah milik warga lokal. Selama sepuluh tahun ini, eks Timtim selalu dihadapkan pada persoalan membayar sewa tanah yang selama ini dipakei. Kalau pengungsi eks Timor Timur tidak mau membayar, mereka diminta keluar dari tanah pengungsian. "Ini tidak diketahui. Saya mau publik tahu. Harus dilakukan sesuatu untuk itu," kata Eurico Guterres.
Di Kabupaten Belu, khususnya di Atambua pun sama. Meri Djami, koordinator NGO Pengungsi CIS Atambua mengatakan, hingga saat ini ada 20 ribu pengungsi di Atambua. Sekitar 5000-an orang di ataranya masih tinggal di kamp pengungsian. "Sementara sisanya hidup di resutlement," katanya. Di wilayah ini, kata Meri, pengungsi eks Timtim setidaknya menghadati tiga persoalan besar. Yakni persoalan tanah dan tempat tinggal, persoalan stigma sebagai warga Timtim dan persoalan kecemburuan sosial. "Mereka terus menghadapi masalah ini, sementara jumlah lembaga yang peduli dengan pengungsi eks Timtim sangat minim," katanya.
Karena tidak mau terus dalam keadaan yang tidak menentu itulah, eks Timtim mulai bergerak sendiri untuk memperbaiki nasib. Salah satunya membentuk organisasi di Atambua bernama Forum Kemanusiaan Warga Negara Indonesia Eks Timor Timur Korban Keputusan Politik. Forum itu diketuai oleh Carlos Araujo Brito. Meski hanya dibentuk oleh pengungsi, forum ini tergolong maju dengan mencatatkan diri di notaris setempat. Memalui forum ini, eks Timtim di Belu mencoba mengidentifikasi jumlah secara pasti persoalan-persoalan yang dirasakan 20 ribuan anggotanya. Termasuk memberikan solusi-solusi terbaik. Sementara di Kabupaten Kupang, Eurico Guterres terus mengorganisir diri untuk membangun kapasitas warga eks Timtim untuk bisa kembali maju memperbaiki nasibnya. Eurico dkk berencana membuat buku edisi 10 tahun di pengungsian dan diserahkan secara khusus ke Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Sayang, perjalanan mereka pun acap kali terseok.Dalam sebuah demonstrasi di DPRD Belu yang dilakukan selama satu minggu pada tahun tahun 2008 dan berakhir bentrok, membuat pentolan Forum WNI Eks Timtim Korban Keputusan Politik ditangkap dan dipenjara. Sementara di Kupang, gerakan yang dilakukan Eurico Guterres harus berhadapat dengan ketidakkompakan warga eks Timtim. Saat Eurico mencalonkan diri sebagai anggota DPR-RI melalui PAN dalam Pemilu 2009 pun kandas. "Karakter orang Timor memang tidak bisa bersatu. Kalau bisa bersatu Timor akan jadi besar," katanya.
Meskipun dalam keadaan menderita, warga eks Timtim sudah sepakat untuk tidak meninggalkan Indonesia dan kembali ke Timtim. Meski kondisi riil lebih kondufis untuk mereka berkebun, namun sejarah masa lalu yang berdarah-darah tidak memungkinkan bagi mereka untuk kembali ke Timor Leste. "Pilihan untuk hidup di Indonesia adalah pilihan sadar saya, meski perjuangan eks PPI ternyata belum selesai sebagai warga negara Indonesia," kata Meteus.
foto dan teks foto by Iman D. Nugroho
1. Keluarga Domingos Soares di Kupang
2. Seorang eks Timtim di kuburan Emelia S. Baretto dan Agista de Jesus. Keduanya meninggal tahun 2005, karena diperkosa di hutan wilayah perbatasan, saat masuk secara ilegal ke Timor Leste.
Menggenggam Erat Adat Hingga Akhir Hayat
Iman D. Nugroho dan Yemris Fointuna
[Foto dokumentasi NGO CIS]
"Ayah saya tidak sadar, ada sebuah peluru yang mengenai hidung dan punggung kanannya. Mungkin itulah akibat Obat (jimat) yang dipakai sebelum berperang," kenang Dionato Moriera, pemuda aktivis NGO Pengungsi CIS. Ayah Dionato adalah salah satu pejuang integrasi 1975.
***
Seperti halnya daerah-daerah lain di Indonesia, dalam hal budaya, masyarakat Timor pun mengenal apa yang disebut ilmu kanuragan (tenaga dalam). Peran tenaga dalam di sini tidak bisa dilepaskan dari kepercayaan masyarakat setempat pada animisme (mengakui adanya roh-roh). Masyarakat Timor percaya, ada kekuatan di luar kekuatan manusia yang menyebabkan orang menjadi bertingkah yang tidak wajar. Juga, adanya keajaiban-keajaiban yang disebabkan oleh kekuatan-kekuatan itu. Ada beberapa nama tentang ilmu kanuragan ini. Mulai Obat (ramuan/jimat), Leu-leu (santet) dan Suwanggi (roh jahat)
Bagi masyarakat Timor, berbicara soal tenaga dalam sedikit memiliki unsur "rahasia". Hampir setiap orang yang menjelaskan soal ini, memilih untuk mengecilkan volume suaranya, dan sedikit berbisik. Salah satu narasbumber yang juga mantan anggota Aitarak, Mateus B.C Guedes mengatakan, dalam persoalan ilmu tenaga dalam, tidak bisa dilepaskan dari sejarah keturunan masing-masing keluarga. Mateus sendiri mengaku pernah memiliki keturunan leluhur yang tidak boleh makan ikan hasil laut. Itu pantangannya. Tidak jelas benar, mengapa hal itu dilakukan, yang pasti hingga kini seluruh anggota keluarganya tidak makan ikan dari laut.
Adanya Rumah Adat bagi masyarakat Timor juga memiliki kekuatan magis tersendiri. Rumah ada dipercaya sebagai rumah tempat berkumpulnya seluruh kekuatan keluarga besar. Termasuk roh-roh leluhur yang sudah mati pun berkumpul di sana. Karena sakralnya Rumah Adat, maka bila ada persoalan-persoalan keluarga, biasanya diselesaikan secara musyawarah di Rumah Adat. Tidak hanya itu, di rumah ada jugalah, tempat di mana orang Timor bisa mengambil obat (jimat) yang digunakan untuk berbagai macam hal.
Salah satu sumber anggota eks PPI, Domingos Soares mengatakan, dirinya memperoleh Obat dari rumah adat di Vequeque, Timor Timur sebelum memutuskan untuk ikut berperang di pihak pro integrasi. Meski tidak pernah merasakan secara pasti kasiat Obat yang dia kenakan, tapi Domingos yakin, Obat yang dia kenakan itu membuatnya hidup sampai sekarang. Hingga kini, Domingos masih menyimpan Obat yang didapatkan pada tahun 1999 itu. "Hampir semua kawan-kawan saya yang akan berperang juga menggunakan itu," katanya.
Mateus dari Atambua mengatakan, dirinya juga memiliki Obat berupa Sirih Pinang yang juga didapatkannya dari Rumah Adat. Saat mendapatkan Sirih Pinang itu, Mateus mengucapkan doa agar para leluhur melindungi dia dan keluarganya saat berjuang demi Indonesia. Saat berdemonstrasi untuk membela hak pengungsi di tahun 2008 yang berujung bentrok pun Mateus kembali mengenakan Sirih Pinang itu. "Mohon maaf, kalau sedang memakai itu tidak boleh sentuh istri," kata Mateus. Selain Sirih Pinang, Mateus juga membawa Kontas (rosario) untuk selalu ingat kepada Tuhan.
Selain Mateus, salah satu saudaranya, Abel, juga memakai jimat yang disebut Biru. Mateus mengaku sejak memakai itu, Abel tidak tertembus oleh peluru. Biru yang dipakai bentuknya berupa ikat kepala yang didapatnya dari hutan. "Kalau tidak salah Biru itu dia dapat dari hutan saat dirinya berburu monyet, saat monyet itu mati, berubah menjadi Biru (Jimat)," katanya.
Selain Rumah Adat, posisi pemakanan keluarga juga memiliki nilai sakral. Orang Timor percaya, dengan menjaga kuburan keluarga, maka roh yang terkubur di situ akan melindungi mereka. Mateus, salah satu sumber mengaku sampai saat ini keluarganya masih merawat kuburan yang masih dalam bentuk batu-batuan. Begitu pentingnya arti kuburan ini, membuat orang Timor rela melakukan prosesi upacara pemindahan tulang belulang keluarga untuk dikuburkan di lokasi yang dianggap tepat.
Penghormatan kepada leluhur juga dilakukan Mateus di tempatnya tinggal sekarang, di Atambua. Hingga kini, Mateus mengaku selalu memberi hormat kepada leluhur dengan memberikan rejeki yang didapatnya. "Kalau saya makan daging, sebelum saya makan, leluhur harus lebih dahulu makan. Paling kurang tiga potong daging saya simpan di di batu untuk makanan leluhur. Saya hormati kekutan-kekutan gaib dan leluhur yang ada," katanya.
[Foto dokumentasi NGO CIS]
"Ayah saya tidak sadar, ada sebuah peluru yang mengenai hidung dan punggung kanannya. Mungkin itulah akibat Obat (jimat) yang dipakai sebelum berperang," kenang Dionato Moriera, pemuda aktivis NGO Pengungsi CIS. Ayah Dionato adalah salah satu pejuang integrasi 1975.
***
Seperti halnya daerah-daerah lain di Indonesia, dalam hal budaya, masyarakat Timor pun mengenal apa yang disebut ilmu kanuragan (tenaga dalam). Peran tenaga dalam di sini tidak bisa dilepaskan dari kepercayaan masyarakat setempat pada animisme (mengakui adanya roh-roh). Masyarakat Timor percaya, ada kekuatan di luar kekuatan manusia yang menyebabkan orang menjadi bertingkah yang tidak wajar. Juga, adanya keajaiban-keajaiban yang disebabkan oleh kekuatan-kekuatan itu. Ada beberapa nama tentang ilmu kanuragan ini. Mulai Obat (ramuan/jimat), Leu-leu (santet) dan Suwanggi (roh jahat)
Bagi masyarakat Timor, berbicara soal tenaga dalam sedikit memiliki unsur "rahasia". Hampir setiap orang yang menjelaskan soal ini, memilih untuk mengecilkan volume suaranya, dan sedikit berbisik. Salah satu narasbumber yang juga mantan anggota Aitarak, Mateus B.C Guedes mengatakan, dalam persoalan ilmu tenaga dalam, tidak bisa dilepaskan dari sejarah keturunan masing-masing keluarga. Mateus sendiri mengaku pernah memiliki keturunan leluhur yang tidak boleh makan ikan hasil laut. Itu pantangannya. Tidak jelas benar, mengapa hal itu dilakukan, yang pasti hingga kini seluruh anggota keluarganya tidak makan ikan dari laut.
Adanya Rumah Adat bagi masyarakat Timor juga memiliki kekuatan magis tersendiri. Rumah ada dipercaya sebagai rumah tempat berkumpulnya seluruh kekuatan keluarga besar. Termasuk roh-roh leluhur yang sudah mati pun berkumpul di sana. Karena sakralnya Rumah Adat, maka bila ada persoalan-persoalan keluarga, biasanya diselesaikan secara musyawarah di Rumah Adat. Tidak hanya itu, di rumah ada jugalah, tempat di mana orang Timor bisa mengambil obat (jimat) yang digunakan untuk berbagai macam hal.
Salah satu sumber anggota eks PPI, Domingos Soares mengatakan, dirinya memperoleh Obat dari rumah adat di Vequeque, Timor Timur sebelum memutuskan untuk ikut berperang di pihak pro integrasi. Meski tidak pernah merasakan secara pasti kasiat Obat yang dia kenakan, tapi Domingos yakin, Obat yang dia kenakan itu membuatnya hidup sampai sekarang. Hingga kini, Domingos masih menyimpan Obat yang didapatkan pada tahun 1999 itu. "Hampir semua kawan-kawan saya yang akan berperang juga menggunakan itu," katanya.
Mateus dari Atambua mengatakan, dirinya juga memiliki Obat berupa Sirih Pinang yang juga didapatkannya dari Rumah Adat. Saat mendapatkan Sirih Pinang itu, Mateus mengucapkan doa agar para leluhur melindungi dia dan keluarganya saat berjuang demi Indonesia. Saat berdemonstrasi untuk membela hak pengungsi di tahun 2008 yang berujung bentrok pun Mateus kembali mengenakan Sirih Pinang itu. "Mohon maaf, kalau sedang memakai itu tidak boleh sentuh istri," kata Mateus. Selain Sirih Pinang, Mateus juga membawa Kontas (rosario) untuk selalu ingat kepada Tuhan.
Selain Mateus, salah satu saudaranya, Abel, juga memakai jimat yang disebut Biru. Mateus mengaku sejak memakai itu, Abel tidak tertembus oleh peluru. Biru yang dipakai bentuknya berupa ikat kepala yang didapatnya dari hutan. "Kalau tidak salah Biru itu dia dapat dari hutan saat dirinya berburu monyet, saat monyet itu mati, berubah menjadi Biru (Jimat)," katanya.
Selain Rumah Adat, posisi pemakanan keluarga juga memiliki nilai sakral. Orang Timor percaya, dengan menjaga kuburan keluarga, maka roh yang terkubur di situ akan melindungi mereka. Mateus, salah satu sumber mengaku sampai saat ini keluarganya masih merawat kuburan yang masih dalam bentuk batu-batuan. Begitu pentingnya arti kuburan ini, membuat orang Timor rela melakukan prosesi upacara pemindahan tulang belulang keluarga untuk dikuburkan di lokasi yang dianggap tepat.
Penghormatan kepada leluhur juga dilakukan Mateus di tempatnya tinggal sekarang, di Atambua. Hingga kini, Mateus mengaku selalu memberi hormat kepada leluhur dengan memberikan rejeki yang didapatnya. "Kalau saya makan daging, sebelum saya makan, leluhur harus lebih dahulu makan. Paling kurang tiga potong daging saya simpan di di batu untuk makanan leluhur. Saya hormati kekutan-kekutan gaib dan leluhur yang ada," katanya.
20 July 2009
Jalan Rusak Mewarnai Jalan Kupang-Atambua
Iman D. Nugroho
Perjalanan dari Kupang menuju Atambua dan terus ke perbatasan Mota'ain diwarnai dengan rusaknya jalan dan jembatan. Seperti tampak pada gambar, suasana jalan dan jembatan rusak di wilayah Kefaminanu, NTT. Tidak ada pilihan bagi penduduk untuk melewati jalan ini karena inilah jalan besar satu-satunya yang harus dilewati.
Perjalanan dari Kupang menuju Atambua dan terus ke perbatasan Mota'ain diwarnai dengan rusaknya jalan dan jembatan. Seperti tampak pada gambar, suasana jalan dan jembatan rusak di wilayah Kefaminanu, NTT. Tidak ada pilihan bagi penduduk untuk melewati jalan ini karena inilah jalan besar satu-satunya yang harus dilewati.
Masih Banyak yang Belum Beres Bagi Eurico Guterres
oleh Iman D. Nugroho dan Yemris Fointuna
Sejak kematian Mantan Gubernur Timor Timur yang juga mantan pejuang integrasi Abilio Soares dan Mantan Panglima Pejuang Pendukung Integrasi (PPI) Joao Tavares pada 2008, nama Eurico Barros Gomes Guterres atau akrab dipanggil Eurico Guterres melambung. Ia menjadi satu-satunya representasi mantan eks Timor Timur yang sekarang menjadi pengungsi di Nusa Tenggara Timur (NTT). Sosok kelahiran Uatulari 1971, tak jauh dari Viqueque Timor-Timur ini selalu berada di garda depan dalam persoalan menyangkut Timor Timur.
Dalam hiruk pikuk sejarah Timor Timur, Eurico disebut-sebut sebagai salah satu aktor yang paling dicari karena keterlibatannya dalam Aitarak-kelompok pro integrasi. Nama Eurico ada dalam daftar pelaku kejahatan serius (serious crimes list) yang dikeluarkan oleh Commission for Reception, Truth and Reconciliation in East Timor (CAVR) karena tuduhan terlibat dalam berbagai kasus di tahun 1999, pasca jajak pendapat. Di pengadilan Indonesia, Eurico dinyatakan bersalah dan dihukum 10 tahun penjara pada tahun 2002 dan mulai dipenjara di LP Cipinang Jakarta pada tahun 2006. Merasa tidak puas, pada tahun 2008 Eurico mengajukan Peninjauan Kembali (PK) ke MA dengan mengajukan novum (bukti baru), membuanya dibebaskan dari semua tuduhan pada tahun 2008.
Masa lalu Eurico, seperti halnya sebagian besar warga Timor Timur yang lain, tidak pernah lepas dari kesengsaraan. Kedua orang tuanya pernah dituduh terlibat mendukung Fretilin dan tewas terbunuh karena itu pada tahun 1976. Saat laki-laki yang kini berambut panjang ini beranjak dewasa, konflik tak juga berlalu. Rencana kedatangan Presiden Soeharto pada tahun 1988 membuatnya ditangkap ABRI (kini berubah nama menjadi TNI), dengan tuduhan merencanakan pembunuhan.
Tuduhan itu tidak berlanjut, namun justru menjadi awal kedekatan Eurico dengan pihak militer Indonesia. Ketika pemerintah Indonesia membentuk Gardapaksi pada tahun 1994, Eurico menjadi salah satu anggotanya. Waktu terus berjalan. Di sela-sela kedekatannya dengan pemerintah Indonesia, Eurico menikah dengan kemenakan Uskup Nascimento dari Baucau, Agida Beatrice Belao dan mempunyai tiga orang anak, Jakes, Nonoi dan Migie. Hingga kini keluarga Eurico tinggal di Dili, Timor Loro Sae.
Di sela-sela menghadapi kasus hukum di Indonesia, Eurico terus beraktivitas. Pada Agustus 2003, Eurico disebut-sebut membentuk Laskar Merah Putih Papua yang memiliki anggota ratusan orang. Hingga kini aktivitas Laskar Merah Putih Papua tidak lagi bergaung. Kedekatannya dengan Amien Rais melalui beberapa diskusi, membuat Eurico tertarik untuk berjuang bersama Partai Amanat Nasional (PAN). Kini, Eurico yang juga ketua DPD PAN NTT maju sebagai kandidat DPR-RI dalam Pemilihan Umum Legislatif tahun 2009. Namun gagal.
Hukman Rene, Sekretaris Pribadi Eurico Guterres mengatakan, Eurico ini jauh berbeda dengan Eurico yang dulu. Umur yang bertambah membuat Eurico pun lebih matang dan jernih dalam melihat dan menilai sesuatu. "Dulu, kalau ada apa-apa langsung cabut pistol, tapi kini tidak lagi," kata Hukman menceritakan sebuah peristiwa beberapa tahun lalu yang berbuah empat lubang peluru di mobil Eurico. Tak jarang, kata Hukman, dalam sebuah perbincangan pribadi dengan dirinya, Eurico mengaku merindungan kehidupan di Timor Timur.
***
Eurico Guterres:
"Saya ingin tanya ke SBY, Bagaimana nasib pengungsi setelah ini?"
Meski semua orang mengenal Eurico Guterres, namun tidak semua orang bisa dengan mudah menemuinya. Di Kupang NTT, tempat tinggalnya sekarang, Eurico dikenal sering berpindah tempat. Kontak telepon yang kami lakukan pun gagal, karena ketika hari "H" wawancara, handphone Eurico tidak bisa dihubungi. Melalui sekretaris pribadi Eurico Guterres, Hukman Rene pertemuan dengan mantan Komandan Aitarak di sebuah rumah di pinggiran kota Kupang. Di tempat itu pula, akan berlangsung pertemuan eks Pejuang Pendukung Integrasi (PPI) untuk menyambut peristiwa Jajakk Pendapat Timor-Timur pada 4 September 2009 mendatang. Berikut petikannya:
Sebentar lagi 10 tahun sudah jajak pendapat di Timor Timur, bagaimana menurut anda?
Sama seperti yang dirasakan pengungsi eks Timor Timur. Masih banyak yang harus dipikirkan mengenai hal itu. Sebagai informasi, di Dili Timor Leste, peristiwa itu akan diperingati pada 30 Agustus 2009. Namun, kita akan merayakan yang tanggal 4 September. Karena itu juga, Saya mengundang koordinator Kamp pengungsi untuk hadir di dalam pertemuan ini. Mereka yang selama ini bersama dengan masy di kamp perlu diajak bicara, sekaligus memberi tahukan kepada mereka tetang 10 tahun pengungsian. Kalau misalnya dalam pertemuan ini sepakat untuk membentuk acara dan menulis satu buku tentang kehidupan mereka selama 10 tahun, itu akan kita lakukan. Agar publik mengetahi bagaimana kondisi pengungsi selama 10 tahun itu.
Bagaimana penanganan pengungsi selama ini?
Memang ada upaya penanganan, tapi masih ada persoalan yang masih melilit, sampai hari ini belum mampu keluar dari itu. Orang di luar NTT hanya melihat pengungsi sudah dibangunkan rumah 6x6. Tanpa ada keinginan untuk melihat lebih mendalam. Banyak masalah yang timbul di sini. Program penanganan pemerintah setengah hati, pembangunan rumah tidak manusiawi, dan asal jadi, tanpa dipikirkan akibat setelah rumah itu dibangun. Juga tanah milik warga lokal yang tidak diselesaikan baik. Masyarakat lokal mulai menuntut, membayar tanah yang selama ini dipake. Kalau pengungsi eks Timor Timur tidak mau membayar, mereka diminta keluar dari tanah pengungsian. Ini tidak diketahui. Saya mau publik tahu. Harus dilakukan sesuatu untuk itu.
Itu kondisi di NTT, bagaimana dengan di Timor Leste sekarang?
Sebenarnya sama. Selama ini saya masih ada komunikasi dengan saudara-saudara saya yang ada di Timor Leste, yang dulu memilih merdeka. Bagi saya, itu hak mereka yang harus dihormati. Tapi di balik itu ada kekecewaan dan penyesalan. Mereka sadar bahwa kemerdekaan tidak seperti yang mereka bayangkan. Saya ikut prihatin. Yang saya paham, kehidupan kemerdekaan itu menyejahterakan semua warga bangsa Timor Leste, bukan kelompok tertentu. Mereka (saudara di Timor Leste) bilang, kami di sini susah. Saya jawab, kami di Indonesia juga susah. Tapi sekali lagi, saya tidak bisa mencampuri urusan politik di Timor Leste. Tapi harapan saya, kemerdekaan bisa membawa manfaat yang baik, untuk semua warga Timor yang sudah berkorban dan menderita. Saya lebih fokus pada kepada warga eks Timor di NTT yang harus dihargai dan dihormati. Kita tidak boleh menunggu, tapi berbuat sesuatu yang nyata. Agar bangsa ini tahu, apa yang sudah dilakukan, dan ada yang kelupaan. Saya kasih contoh, pemberontak di GAM di Aceh, sudah ditangani lebih dari luar biasa. Mantan GAM bisa menjadi gubernur, walikota dll. Tanah diberi, rumah diberi. Di Papua, pimpinan pemberontak datang ke rumah gubernur, mereka bicara tentang pembangunan,pendidikan dll. Sementara,mantan PPI yang sudah lama berkorban, diabaikan begitu saja. Ini tidak fair.
Berapa jumlah seluruh pengungsi apa sampai 10 ribu?
Kalau sekarang sudah berkurang. Pengungsi dibagi, ada masyarakat dan ada masyarakat pejuang, ada juga yang sudah meninggal di pengungsian dll. Berapapun jumlahnya, kondisi ini yang membuat saya mengajak eks PPI melanjutkan perjuangan, agar bangsa ini tahu, masih ada warga negara RI yang belum diatasi secara baik. Tapi ini bukan keinginan untuk diistimewakan, tapi ditangani. Jangan sampai dulu dijunjung tinggi, sekarang diinjak-injak. Ini tidak baik untuk masa depan bangsa ini ke depan.
Apakah ada kekecewaan dengan pilihan ikut RI?
Saya kita tidak. Bergabung dengan RI adalah pilihan kita. Dan ini resiko politik yang harus kita hadapi. Kita tidak boleh kecewa, marah dengan apa yang sudah terjadi. Kini, biarlah semua yang terjadi dulu menjadi bagian dari sejarah. Masuk dan keluarnya Timor Timur adalah sejarah. Tapi, bagaimana kemudian pemerintah memperhatikan para pejuang itu, itu lebih penting. Dan jasa pejuang dan pahlawan itu tetap ada. Harus ada yang bertanggungjawab dan jangan tutupmata. Kesadaran manusia juga ada batasnya.
Kekecewaan itu yang membuat ada gejolak?
Kalau itu kembali terjadi, saya tidak tahu. Bagaimana upaya kita mengatasi apa yang bergejolak, seperti di Papua sekarang. Kalau saya lihat, itu seperti yang saya alami di Timor Timur dulu. Gejolak terjadi tidak jauh dari tempat aparat keamanan. Ada orang bakar rumah di dekat kantor Koramil (Komando Rayon Militer) dan Mapolsek (Markas Kepolisian Sektor). Saya bisa tahu hal itu karena seperti itu yang terjadi di Timor selama 23 tahun. Dan pada ujungnya orang-orang ini menjadi korban.
Apakah anda melihat pemerintah ada goodwill atas hal ini?
Yang jelas, selama lima tahun terakhir, kami tidak berdaya. Dan sekarang, hampir tidak bisa bangkit dan melakukan apa-apa. Karena itu, sekarang ini adalah momen kita untuk berbuat sesuatu. Selama ini apa yang dilakukan hanya untuk kepentingan yang tidak ada manfaat bagi kita. SBY yang pernah menjadi komandan batalyon dan bertugas di Timor akan kami tanyai bagaimana nasib kami. Kami akan datang ke Istana, dan demo di sana. Kami mau tanya, status kami selanjutnya bagaimana. Saya sedang burusaha keras dengan cara elegan untuk menyampaikan pada pemerintah yang baru ini. Kita ingin memberi tahukan tentang posisi kami yang sudah 10 tahun di kamp pengungsi, sementara SBY akan dua kali menjadi presiden.
Apakah ada dukungan dari Jakarta?
Dukungan itu ada. Ada yang menginginkan persoalan ini sampai ke Presiden SBY, tapi juga ada yang menginginkan persoalan ini tidak sampai ke Presiden. Tapi tetap saja, kami ingin mencoba memberikan kesadaran itu, Saya coba terjun ke dunia politik pada pemilu lalu, tapi tidak terpilih. Saya tidak menyerah, berjuang untuk aspirasi besar itu tidak cuma dari anggota DPR. Tapi, akan lebih bagus kalau jadi. Di sini ada 24 ribu orang pengungsi, ada 2 kursi di DPR RI. Tapi kami kehilangan momentum ini. Tapi biarkan, seperti yang saya katakan, bagaimana pun aspirasi ini sampai ke telinga presiden. Kebetulan saya Ketua Partai PAN, akhir-akhir ini komunikasi lancar dengan Hatta Radjasa dan Sudi silalahi, juga sama Eddy Baskoro (Ibas, Anak SBY). Saya rasa ini tidak boleh disiasiakan. Kesempatan ini ingin saya sampaikan dengan baik. Presiden harus tahu, karena data dari pemerintah berubah-ubah.
Masih ada kerinduan pulang ke Timtim?
Itu pasti. Tapi kerinduan itu tentu harus dijawab dengan satu jalan terbaik, melibatkan pikiran dari semua komponen, kalau masih ada pintu masih bisa diperbaiki, mengapa tidak. Saya percaya, bagaimanapun harus ada upaya. Saya percaya, terutama harus ada terobosan. Karena itulah, usai pelantikan presiden RI, saya akan minta waktu bertemu dengan SBY. Warga Timor Timur layak untuk diterima. Sudah cukup 10 tahun dibiarkan, ini waktunya bertemu dengan SBY, dan bicara soal itu. Saya khawatir ada peluang ini tapi kita tidak mampu dan peluang itu hilang. Yang terjadi, niat baik ini direspons sebelah mata oleh kawan-kawan sendiri.
Apakah susah menyatukan orang Timor, apalagi setelah Abilio Soares dan Joao Tavares meninggal?
Karakter orang Timor memang tidak bisa bersatu. Kalau bisa bersatu Timor akan jadi besar. Orang Timor hanya akan bersatu, kalau situasi memaksa. Seperti bila ada gejolak seperti saat tahun 1999, antara kelompok Pro Kemerdekaan dan Pro Integrasi. Sebelum Abilio dan Tavares meninggal pun sama. Karakter orang timor itu, kalau tersinggung mudah mengambil keputusan, tapi anehnya juga akan cepat menyesali. Makanya, saya akan berkonsentrasi, dan tanggal 4 september dan akan gunting rambut saya.
**
Sejak kematian Mantan Gubernur Timor Timur yang juga mantan pejuang integrasi Abilio Soares dan Mantan Panglima Pejuang Pendukung Integrasi (PPI) Joao Tavares pada 2008, nama Eurico Barros Gomes Guterres atau akrab dipanggil Eurico Guterres melambung. Ia menjadi satu-satunya representasi mantan eks Timor Timur yang sekarang menjadi pengungsi di Nusa Tenggara Timur (NTT). Sosok kelahiran Uatulari 1971, tak jauh dari Viqueque Timor-Timur ini selalu berada di garda depan dalam persoalan menyangkut Timor Timur.
Dalam hiruk pikuk sejarah Timor Timur, Eurico disebut-sebut sebagai salah satu aktor yang paling dicari karena keterlibatannya dalam Aitarak-kelompok pro integrasi. Nama Eurico ada dalam daftar pelaku kejahatan serius (serious crimes list) yang dikeluarkan oleh Commission for Reception, Truth and Reconciliation in East Timor (CAVR) karena tuduhan terlibat dalam berbagai kasus di tahun 1999, pasca jajak pendapat. Di pengadilan Indonesia, Eurico dinyatakan bersalah dan dihukum 10 tahun penjara pada tahun 2002 dan mulai dipenjara di LP Cipinang Jakarta pada tahun 2006. Merasa tidak puas, pada tahun 2008 Eurico mengajukan Peninjauan Kembali (PK) ke MA dengan mengajukan novum (bukti baru), membuanya dibebaskan dari semua tuduhan pada tahun 2008.
Masa lalu Eurico, seperti halnya sebagian besar warga Timor Timur yang lain, tidak pernah lepas dari kesengsaraan. Kedua orang tuanya pernah dituduh terlibat mendukung Fretilin dan tewas terbunuh karena itu pada tahun 1976. Saat laki-laki yang kini berambut panjang ini beranjak dewasa, konflik tak juga berlalu. Rencana kedatangan Presiden Soeharto pada tahun 1988 membuatnya ditangkap ABRI (kini berubah nama menjadi TNI), dengan tuduhan merencanakan pembunuhan.
Tuduhan itu tidak berlanjut, namun justru menjadi awal kedekatan Eurico dengan pihak militer Indonesia. Ketika pemerintah Indonesia membentuk Gardapaksi pada tahun 1994, Eurico menjadi salah satu anggotanya. Waktu terus berjalan. Di sela-sela kedekatannya dengan pemerintah Indonesia, Eurico menikah dengan kemenakan Uskup Nascimento dari Baucau, Agida Beatrice Belao dan mempunyai tiga orang anak, Jakes, Nonoi dan Migie. Hingga kini keluarga Eurico tinggal di Dili, Timor Loro Sae.
Di sela-sela menghadapi kasus hukum di Indonesia, Eurico terus beraktivitas. Pada Agustus 2003, Eurico disebut-sebut membentuk Laskar Merah Putih Papua yang memiliki anggota ratusan orang. Hingga kini aktivitas Laskar Merah Putih Papua tidak lagi bergaung. Kedekatannya dengan Amien Rais melalui beberapa diskusi, membuat Eurico tertarik untuk berjuang bersama Partai Amanat Nasional (PAN). Kini, Eurico yang juga ketua DPD PAN NTT maju sebagai kandidat DPR-RI dalam Pemilihan Umum Legislatif tahun 2009. Namun gagal.
Hukman Rene, Sekretaris Pribadi Eurico Guterres mengatakan, Eurico ini jauh berbeda dengan Eurico yang dulu. Umur yang bertambah membuat Eurico pun lebih matang dan jernih dalam melihat dan menilai sesuatu. "Dulu, kalau ada apa-apa langsung cabut pistol, tapi kini tidak lagi," kata Hukman menceritakan sebuah peristiwa beberapa tahun lalu yang berbuah empat lubang peluru di mobil Eurico. Tak jarang, kata Hukman, dalam sebuah perbincangan pribadi dengan dirinya, Eurico mengaku merindungan kehidupan di Timor Timur.
***
Eurico Guterres:
"Saya ingin tanya ke SBY, Bagaimana nasib pengungsi setelah ini?"
Meski semua orang mengenal Eurico Guterres, namun tidak semua orang bisa dengan mudah menemuinya. Di Kupang NTT, tempat tinggalnya sekarang, Eurico dikenal sering berpindah tempat. Kontak telepon yang kami lakukan pun gagal, karena ketika hari "H" wawancara, handphone Eurico tidak bisa dihubungi. Melalui sekretaris pribadi Eurico Guterres, Hukman Rene pertemuan dengan mantan Komandan Aitarak di sebuah rumah di pinggiran kota Kupang. Di tempat itu pula, akan berlangsung pertemuan eks Pejuang Pendukung Integrasi (PPI) untuk menyambut peristiwa Jajakk Pendapat Timor-Timur pada 4 September 2009 mendatang. Berikut petikannya:
Sebentar lagi 10 tahun sudah jajak pendapat di Timor Timur, bagaimana menurut anda?
Sama seperti yang dirasakan pengungsi eks Timor Timur. Masih banyak yang harus dipikirkan mengenai hal itu. Sebagai informasi, di Dili Timor Leste, peristiwa itu akan diperingati pada 30 Agustus 2009. Namun, kita akan merayakan yang tanggal 4 September. Karena itu juga, Saya mengundang koordinator Kamp pengungsi untuk hadir di dalam pertemuan ini. Mereka yang selama ini bersama dengan masy di kamp perlu diajak bicara, sekaligus memberi tahukan kepada mereka tetang 10 tahun pengungsian. Kalau misalnya dalam pertemuan ini sepakat untuk membentuk acara dan menulis satu buku tentang kehidupan mereka selama 10 tahun, itu akan kita lakukan. Agar publik mengetahi bagaimana kondisi pengungsi selama 10 tahun itu.
Bagaimana penanganan pengungsi selama ini?
Memang ada upaya penanganan, tapi masih ada persoalan yang masih melilit, sampai hari ini belum mampu keluar dari itu. Orang di luar NTT hanya melihat pengungsi sudah dibangunkan rumah 6x6. Tanpa ada keinginan untuk melihat lebih mendalam. Banyak masalah yang timbul di sini. Program penanganan pemerintah setengah hati, pembangunan rumah tidak manusiawi, dan asal jadi, tanpa dipikirkan akibat setelah rumah itu dibangun. Juga tanah milik warga lokal yang tidak diselesaikan baik. Masyarakat lokal mulai menuntut, membayar tanah yang selama ini dipake. Kalau pengungsi eks Timor Timur tidak mau membayar, mereka diminta keluar dari tanah pengungsian. Ini tidak diketahui. Saya mau publik tahu. Harus dilakukan sesuatu untuk itu.
Itu kondisi di NTT, bagaimana dengan di Timor Leste sekarang?
Sebenarnya sama. Selama ini saya masih ada komunikasi dengan saudara-saudara saya yang ada di Timor Leste, yang dulu memilih merdeka. Bagi saya, itu hak mereka yang harus dihormati. Tapi di balik itu ada kekecewaan dan penyesalan. Mereka sadar bahwa kemerdekaan tidak seperti yang mereka bayangkan. Saya ikut prihatin. Yang saya paham, kehidupan kemerdekaan itu menyejahterakan semua warga bangsa Timor Leste, bukan kelompok tertentu. Mereka (saudara di Timor Leste) bilang, kami di sini susah. Saya jawab, kami di Indonesia juga susah. Tapi sekali lagi, saya tidak bisa mencampuri urusan politik di Timor Leste. Tapi harapan saya, kemerdekaan bisa membawa manfaat yang baik, untuk semua warga Timor yang sudah berkorban dan menderita. Saya lebih fokus pada kepada warga eks Timor di NTT yang harus dihargai dan dihormati. Kita tidak boleh menunggu, tapi berbuat sesuatu yang nyata. Agar bangsa ini tahu, apa yang sudah dilakukan, dan ada yang kelupaan. Saya kasih contoh, pemberontak di GAM di Aceh, sudah ditangani lebih dari luar biasa. Mantan GAM bisa menjadi gubernur, walikota dll. Tanah diberi, rumah diberi. Di Papua, pimpinan pemberontak datang ke rumah gubernur, mereka bicara tentang pembangunan,pendidikan dll. Sementara,mantan PPI yang sudah lama berkorban, diabaikan begitu saja. Ini tidak fair.
Berapa jumlah seluruh pengungsi apa sampai 10 ribu?
Kalau sekarang sudah berkurang. Pengungsi dibagi, ada masyarakat dan ada masyarakat pejuang, ada juga yang sudah meninggal di pengungsian dll. Berapapun jumlahnya, kondisi ini yang membuat saya mengajak eks PPI melanjutkan perjuangan, agar bangsa ini tahu, masih ada warga negara RI yang belum diatasi secara baik. Tapi ini bukan keinginan untuk diistimewakan, tapi ditangani. Jangan sampai dulu dijunjung tinggi, sekarang diinjak-injak. Ini tidak baik untuk masa depan bangsa ini ke depan.
Apakah ada kekecewaan dengan pilihan ikut RI?
Saya kita tidak. Bergabung dengan RI adalah pilihan kita. Dan ini resiko politik yang harus kita hadapi. Kita tidak boleh kecewa, marah dengan apa yang sudah terjadi. Kini, biarlah semua yang terjadi dulu menjadi bagian dari sejarah. Masuk dan keluarnya Timor Timur adalah sejarah. Tapi, bagaimana kemudian pemerintah memperhatikan para pejuang itu, itu lebih penting. Dan jasa pejuang dan pahlawan itu tetap ada. Harus ada yang bertanggungjawab dan jangan tutupmata. Kesadaran manusia juga ada batasnya.
Kekecewaan itu yang membuat ada gejolak?
Kalau itu kembali terjadi, saya tidak tahu. Bagaimana upaya kita mengatasi apa yang bergejolak, seperti di Papua sekarang. Kalau saya lihat, itu seperti yang saya alami di Timor Timur dulu. Gejolak terjadi tidak jauh dari tempat aparat keamanan. Ada orang bakar rumah di dekat kantor Koramil (Komando Rayon Militer) dan Mapolsek (Markas Kepolisian Sektor). Saya bisa tahu hal itu karena seperti itu yang terjadi di Timor selama 23 tahun. Dan pada ujungnya orang-orang ini menjadi korban.
Apakah anda melihat pemerintah ada goodwill atas hal ini?
Yang jelas, selama lima tahun terakhir, kami tidak berdaya. Dan sekarang, hampir tidak bisa bangkit dan melakukan apa-apa. Karena itu, sekarang ini adalah momen kita untuk berbuat sesuatu. Selama ini apa yang dilakukan hanya untuk kepentingan yang tidak ada manfaat bagi kita. SBY yang pernah menjadi komandan batalyon dan bertugas di Timor akan kami tanyai bagaimana nasib kami. Kami akan datang ke Istana, dan demo di sana. Kami mau tanya, status kami selanjutnya bagaimana. Saya sedang burusaha keras dengan cara elegan untuk menyampaikan pada pemerintah yang baru ini. Kita ingin memberi tahukan tentang posisi kami yang sudah 10 tahun di kamp pengungsi, sementara SBY akan dua kali menjadi presiden.
Apakah ada dukungan dari Jakarta?
Dukungan itu ada. Ada yang menginginkan persoalan ini sampai ke Presiden SBY, tapi juga ada yang menginginkan persoalan ini tidak sampai ke Presiden. Tapi tetap saja, kami ingin mencoba memberikan kesadaran itu, Saya coba terjun ke dunia politik pada pemilu lalu, tapi tidak terpilih. Saya tidak menyerah, berjuang untuk aspirasi besar itu tidak cuma dari anggota DPR. Tapi, akan lebih bagus kalau jadi. Di sini ada 24 ribu orang pengungsi, ada 2 kursi di DPR RI. Tapi kami kehilangan momentum ini. Tapi biarkan, seperti yang saya katakan, bagaimana pun aspirasi ini sampai ke telinga presiden. Kebetulan saya Ketua Partai PAN, akhir-akhir ini komunikasi lancar dengan Hatta Radjasa dan Sudi silalahi, juga sama Eddy Baskoro (Ibas, Anak SBY). Saya rasa ini tidak boleh disiasiakan. Kesempatan ini ingin saya sampaikan dengan baik. Presiden harus tahu, karena data dari pemerintah berubah-ubah.
Masih ada kerinduan pulang ke Timtim?
Itu pasti. Tapi kerinduan itu tentu harus dijawab dengan satu jalan terbaik, melibatkan pikiran dari semua komponen, kalau masih ada pintu masih bisa diperbaiki, mengapa tidak. Saya percaya, bagaimanapun harus ada upaya. Saya percaya, terutama harus ada terobosan. Karena itulah, usai pelantikan presiden RI, saya akan minta waktu bertemu dengan SBY. Warga Timor Timur layak untuk diterima. Sudah cukup 10 tahun dibiarkan, ini waktunya bertemu dengan SBY, dan bicara soal itu. Saya khawatir ada peluang ini tapi kita tidak mampu dan peluang itu hilang. Yang terjadi, niat baik ini direspons sebelah mata oleh kawan-kawan sendiri.
Apakah susah menyatukan orang Timor, apalagi setelah Abilio Soares dan Joao Tavares meninggal?
Karakter orang Timor memang tidak bisa bersatu. Kalau bisa bersatu Timor akan jadi besar. Orang Timor hanya akan bersatu, kalau situasi memaksa. Seperti bila ada gejolak seperti saat tahun 1999, antara kelompok Pro Kemerdekaan dan Pro Integrasi. Sebelum Abilio dan Tavares meninggal pun sama. Karakter orang timor itu, kalau tersinggung mudah mengambil keputusan, tapi anehnya juga akan cepat menyesali. Makanya, saya akan berkonsentrasi, dan tanggal 4 september dan akan gunting rambut saya.
**
19 July 2009
Siapa Peduli Anak Pengungsi Eks Timor Timur?
Iman D. Nugroho
Hampir sepuluh tahun ini, sekitar 20 ribu pengungsi Timor-Timur pasca jajak pendapat pada tahun 1999 hidup dalam kemiskinan di Kabupaaten Kupang dan Kabupaten Belu. Seperti tampak pada gambar, anak pengungsi yang divonis kurang gizi akibat dampak kemiskinan itu.
Hampir sepuluh tahun ini, sekitar 20 ribu pengungsi Timor-Timur pasca jajak pendapat pada tahun 1999 hidup dalam kemiskinan di Kabupaaten Kupang dan Kabupaten Belu. Seperti tampak pada gambar, anak pengungsi yang divonis kurang gizi akibat dampak kemiskinan itu.
18 July 2009
Eks PPI Timor Timur Berkumpul di Kupang NTT
Iman D. Nugroho
Puluhan mantan Pasukan Pejuang Integrasi (PPI) yang dikoordinatori oleh Eurico Guiteres berkumpul di Kupang, NTT, Jumat(17/7) malam. Mereka sedang merencanakan membat buku tentang eks PPI yang selama 10 tahun dalam kondisi sengsara. "SBY-Boediono harus mampu merealisasikan semua janjinya, salah satunya dengan mengangkat nasib pejuang integrasi," kata Eurico Guiteres.
Puluhan mantan Pasukan Pejuang Integrasi (PPI) yang dikoordinatori oleh Eurico Guiteres berkumpul di Kupang, NTT, Jumat(17/7) malam. Mereka sedang merencanakan membat buku tentang eks PPI yang selama 10 tahun dalam kondisi sengsara. "SBY-Boediono harus mampu merealisasikan semua janjinya, salah satunya dengan mengangkat nasib pejuang integrasi," kata Eurico Guiteres.
Menjelang Liburan di Perbatasan Indonesia-Timor Loro Sae
Iman D. Nugroho
SUASANA LIBURAN. Suasana liburan tampak di perbatasan antara Indonesia-Timor Loro Sae di Motaai, Atambua, NTT, Sabtu (18/07) ini. Berbondong-bondong orang, baik dari Indonesia dan Timor Loro Sae menyeberang di perbatasan. Foto ini diambil dari arah Timor Loro Sae.
SUASANA LIBURAN. Suasana liburan tampak di perbatasan antara Indonesia-Timor Loro Sae di Motaai, Atambua, NTT, Sabtu (18/07) ini. Berbondong-bondong orang, baik dari Indonesia dan Timor Loro Sae menyeberang di perbatasan. Foto ini diambil dari arah Timor Loro Sae.
17 July 2009
Pengobatan Gratis US Air Force-TNI AU di Oebelo, Kupang Timor Barat
Iman D. Nugroho, Kupang
Pengobatan gratis dari TNI AL dan US Air Force untuk warga Oebelo, Kupang Tengah, Timor Barat/NTT digelar pekan ini. Seperti tampak pada gambar seorang dokter dari US Air Force sedang memeriksa anak kecil warga Oebelo. Selain pengobatan umum, pengobatan cuma-cuma ini juga menangani penyakit mata, gigi.
Pengobatan gratis dari TNI AL dan US Air Force untuk warga Oebelo, Kupang Tengah, Timor Barat/NTT digelar pekan ini. Seperti tampak pada gambar seorang dokter dari US Air Force sedang memeriksa anak kecil warga Oebelo. Selain pengobatan umum, pengobatan cuma-cuma ini juga menangani penyakit mata, gigi.
Keceriaan di Sela Isu Gizi Buruk
Iman D. Nugroho, Kupang
Keceriaan terpancar dari seorang murid SMP di Kupang saat melintas di Jembaran Liliba, Kupang, Jumat (17/7) ini. Nasib anak-anak di Kupang, terutama anak-anak korban pengungsian Oebelo, Kecamatan Kupang Tengah, Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT) dipertarunkan karena gizi buruk.
Keceriaan terpancar dari seorang murid SMP di Kupang saat melintas di Jembaran Liliba, Kupang, Jumat (17/7) ini. Nasib anak-anak di Kupang, terutama anak-anak korban pengungsian Oebelo, Kecamatan Kupang Tengah, Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT) dipertarunkan karena gizi buruk.
Mie Gelas dan Penerbangan Panjang itu
Iman D. Nugroho, Kupang, Timor Barat
Penerbangan panjang dari Jakarta ke Kupang berakhir "manis". Rasa tersiksa karena perut lapar lantaran tidak ada makanan yang disajikan dalam penerbangan murah itu, terbayar dengan segelas Mie Gelas yang diberikan secara ruma-cuma oleh salah satu pramugari. Nice,..
Tidak ada yang istimewa dalam penerbangan Jakarta-Kupang, Kamis (16/7) malam. Pesawat Lion Air pun saat itu tidak "mewarnai" penerbangan dengan delay panjang. Penerbangan yang dijadwalkan pukul 17.10 wib pun mulus, tepat pada waktunya. Yah, pernak-pernik kecil justru muncul dari salah seorang perempuan yang enggan menaruh tasnya di bagasi. Padahal ia duduk di bangku dekat pintu darurat. "Crazy ye, tas ini isinya uang," katanya. Para pramugari yang berusaha menjelaskan regulasi penerbangan pun disambut dengan cacimaki campuran bahasa Indonesia-Inggris.
Problem kecil mulai muncul ketika pesawat transit di Surabaya. "Penumpang transit tetap tinggal di dalam pesawat," kata pramugari melalui pengeras suara. "Wah, nggak ada kesempatan lagi beli makanan di bandara, trus dibawa ke pesawat, tenang saja,..mungkin untuk penerbangan dua jam ke depan ada roti dan air mineral untuk mengganjar perut," kata saya dalam hati.
Sekitar 20 menit pesawat itu take off, harapan itu pupus. "Maaf pak, tidak ada," kata seorang pramugari Lion Air pada Saya. "Ada susu coklat atau roti-roti yang bisa dibeli?" tanya saya mencari solusi. "Kita kehabisan stok pak, adanya air mineral dan minuman isotonik," katanya. Hmmm,..akhirnya air mineral pun menjadi pilihan saya. Menit berganti menit, perut yang keroncongan pun semakin menyiksa. Air conditioner yang dingin, menambah siksa.
Akhirnya saya memberanikan diri untuk mencegat pramugari yang saat itu melintas. "Mbak,..kalau saya lapar banget gimana nih?" tanya saya yang dibumbuhi wajah semelas mungkin."Maaf pak,..nggak ada," katanya. "Gimana dong,.." saya merajuk. "Tapi saya ada Mie Gelas, bapak mau?" tawarnya. Saya mengangguk. "Bapak silahkan ke belakang,..makan di sana saja," tawarnya. Tanpa babibu, saya mengikuti langkah si pramugari yang menurut saya buaiiikkk banget itu.
Singkat kata, dengan ditemani Mie Gelas yang meluncur pelan di tenggorokan, di kabin belakang pesawat Lion Air itu saya berbincang dengan si Mbak baik hati. "Do i have to pay it?" tanya saya. "Nggak usah pak, mungkin bapak mau nambah kerupuk, silahkan saja,.." katanya. Jelas saya menolak. Jaim rek!
Pelajaran dari tulisan ini: jangan takut mecegat pramugari! hehe,..
Penerbangan panjang dari Jakarta ke Kupang berakhir "manis". Rasa tersiksa karena perut lapar lantaran tidak ada makanan yang disajikan dalam penerbangan murah itu, terbayar dengan segelas Mie Gelas yang diberikan secara ruma-cuma oleh salah satu pramugari. Nice,..
Tidak ada yang istimewa dalam penerbangan Jakarta-Kupang, Kamis (16/7) malam. Pesawat Lion Air pun saat itu tidak "mewarnai" penerbangan dengan delay panjang. Penerbangan yang dijadwalkan pukul 17.10 wib pun mulus, tepat pada waktunya. Yah, pernak-pernik kecil justru muncul dari salah seorang perempuan yang enggan menaruh tasnya di bagasi. Padahal ia duduk di bangku dekat pintu darurat. "Crazy ye, tas ini isinya uang," katanya. Para pramugari yang berusaha menjelaskan regulasi penerbangan pun disambut dengan cacimaki campuran bahasa Indonesia-Inggris.
Problem kecil mulai muncul ketika pesawat transit di Surabaya. "Penumpang transit tetap tinggal di dalam pesawat," kata pramugari melalui pengeras suara. "Wah, nggak ada kesempatan lagi beli makanan di bandara, trus dibawa ke pesawat, tenang saja,..mungkin untuk penerbangan dua jam ke depan ada roti dan air mineral untuk mengganjar perut," kata saya dalam hati.
Sekitar 20 menit pesawat itu take off, harapan itu pupus. "Maaf pak, tidak ada," kata seorang pramugari Lion Air pada Saya. "Ada susu coklat atau roti-roti yang bisa dibeli?" tanya saya mencari solusi. "Kita kehabisan stok pak, adanya air mineral dan minuman isotonik," katanya. Hmmm,..akhirnya air mineral pun menjadi pilihan saya. Menit berganti menit, perut yang keroncongan pun semakin menyiksa. Air conditioner yang dingin, menambah siksa.
Akhirnya saya memberanikan diri untuk mencegat pramugari yang saat itu melintas. "Mbak,..kalau saya lapar banget gimana nih?" tanya saya yang dibumbuhi wajah semelas mungkin."Maaf pak,..nggak ada," katanya. "Gimana dong,.." saya merajuk. "Tapi saya ada Mie Gelas, bapak mau?" tawarnya. Saya mengangguk. "Bapak silahkan ke belakang,..makan di sana saja," tawarnya. Tanpa babibu, saya mengikuti langkah si pramugari yang menurut saya buaiiikkk banget itu.
Singkat kata, dengan ditemani Mie Gelas yang meluncur pelan di tenggorokan, di kabin belakang pesawat Lion Air itu saya berbincang dengan si Mbak baik hati. "Do i have to pay it?" tanya saya. "Nggak usah pak, mungkin bapak mau nambah kerupuk, silahkan saja,.." katanya. Jelas saya menolak. Jaim rek!
Pelajaran dari tulisan ini: jangan takut mecegat pramugari! hehe,..