22 May 2010

Setelah tiga minggu itu,..


Tulisan ini bisa jadi akan berhenti tiba-tiba. Karena sejak awal, penulisannya di mulai dari kemandekan ide. Namun semua berubah ketika Kus-kus melintas,..

Sore baru datang. Bedug penanda maghrib belum juga bertaluh. Tapi, Kus-kus (sebut saja begitu), seekor tikus got hitam itu sudah hilir mudik ke sana kemari. Dari kolong ruang komputer, menuju ke tempat sampah besar di samping tembok ruang rapat.

"Heran, kok tempat sampah isinya nggak ada yang menarik," kata Kus-kus sambil terus mengaduk-aduk sampah. Saat seseorang melintas, tikus yang dikenal suka cari perhatian kepada tikus-tikus betina di rumah tetangga itu, mendongakkan kepala. Toleh kanan-kiri, lalu kembali "menyelam" ke tumpukan sampah. *Cit-cit (Bikin kaget saja-bahasa Tikus).

Di balik kertas coklat bekas bungkus makan itu, Kus-kus menemukan "sesuatu". "Nah!" gumamnya. Pantas saja Kus-kus girang. Sudah tiga minggu Kus-kus tidak makan enak. Bagaimana bisa, penghuni kantor tempatnya tinggal baru saja pergi jauh. Katanya sih ke Belanda. Volume sampah menipis. "Siaaaaalllll,.."

Kepala ikan

"Yes!" Kus-kus tak bisa menahan girangnya. Kepala ikan goreng ini bagaikan jawaban dari doanya. Kepala ikan lele itu memang hanya digoreng bisa. Daging yang menempel pun, well, mungkin bisa dianggap tidak ada. Tapi bagi Kus-kus, itu berarti lauk makan malam yang pas. Dipadukan dengan remah roti dan selai stroberi yang didapatkannya dari bungkus roti bermerk Sariroti yang didapatnya siang tadi, menjadi "sempurna" dinner malam nanti.

Kepala ikan lele itu besarnya tidak seberapa. Hanya sebesar jempol kaki laki-laki dewasa. Kus-kus merasa perlu strategi khusus untuk membawanya ke "rumahnya". Beruntung, tikus yang pernah hampir mati karena ulah manusia usil yang ingin meracunnya ini, punya keahlian khusus membawa beban berat. Keahlian itu didapatkannya dari Jacky Chan, bintang film Hong Kong sempat dilihatnya di Trans TV.

Dengan kecepatan tinggi dilemparkannya kepala ikan itu ke udara, hingga melewati "mulut" tong sampah. Sejurus kemudian, tikus kelahiran 1 Januari itu melompat tinggi hingga sejajar dengan kepala ikan yang sedang melayang. Sebuah sundulan kepala Kus-kus ke arah kepala ikan, membuat kepala ikan itu terpental ke luar kotak sampah. "Damn, I am good!"

Lauk makan malam pun sudah di luar tempat sampah. Kus-kus, kembali melompat, dan mendarat di rerumputan di pinggir tong sampah. Celingak-celinguk. "Aman!" katanya dalam hari. Di hampirinya kepala ikan itu, dan di bawanya sambil berlari ke kolong kantor. Di salah satu sudut, Kus-kus terengah. Jantungnya berdegup kencang.

Meong

Bayangan Meong, kucing nakal yang juga tinggal di kantor ini, yang sempat menyerangnya dua bulan lalu, masih belum terlupakan. Entah bagaimana, ketika melintas di lapangan rumput (taman belakang kantor) menuju rumah temannya, Kus-kus dikagetkan dengan aksi Meong yang entah bagaimana, sudah ada di belakangannya.

Ekor hitam panjangnya, tercengkeram kuku panjang Meong. Kus-kus meronta. Meski berhasil melarikan diri, namun ekor miliknya tergores panjang. Kus-kus sampai harus konsultasi ke psikolog karena trauma dengan rumput. dan bayangan hitam. Selama beberapa minggu, Kus-kus memilih untuk berjalan memutari lapangan rumput, dari pada harus bertemu dengan Meong.

Kus-kus sempat berpikir untuk menuntut balas. Hubungan baiknya dengan Coki, anjing sebelah rumah, terlintas untuk "dimainkan". "Kalau kau ingin aku menyerang si Meong, bilang saja," kata Coki. Hubungan Coki dengan Kus-kus juga unik. Coki merasa berhutang budi pada Kus-kus, karena merasa pernah diselamatkan dari maut.

Teriakan Kus-kus memperingatkan anjing itu, ketika hampir tertabrak metro mini saatCoki menyeberang jalan, dianggap menyelamatkan nyawa anjing berwarna cokelat itu. "Balas dendam? Jangan dululah," Kus-kus bergumam.

Makam malam "istimewa"

Kepala ikan itu sudah tersaji di atas piring. Bersanding dengan remah roti dan selainya. Tapi ada yang kurang. "Minumnya apa?" Otak Kus-kus berputar. Air coberan yang selalu menjadi minuman wajibnya, sudah sedikit membosankan. Ting! Siang tadi, Kus-kus melihat ada teh setengah gelas tergeletak di meja kantor. Hmmm,..

Langkah-langkah kecil Kus-kus sedikit dipercepat ketika dirinya melintas di ruang rapat. Gelas itu masih ada di sana. Gelas itu menganga. Hup! Kus-kus melompat ke kursi, lemari, rak buku dan hap! Loncatan terakhir mendaratkan tubuh hitamnya di atas meja. Kus-kus kembali berlari menuju ke gelas di tengah meja.

Kepala Kus-kus mendongak ke dalam gelas. Kepalanya mendekat ke ke arah teh, sementara separuh tubuhnya terjuntai di luar gelas. Srupppp....beberapa teguk teh itu mengalir di tenggorokannya. Rencananya, air itu akan "disimpan" di mulut, untuk dibawa ke rumahnya.

Grrrrrrrrrr,...... Suara itu memecah konsentrasi. Meong!!!! Kucing itu sudah berada di samping gelas. Seringainya semakin menakutkan dengan efek lengkung dari dala gelas. Kus-kus panik! Kaki depannya tidak bisa bergerak bebas, ketika Meong menyerang. Menabrakkan kepalanya ke arah tubuh belakang Kus-kus. Gigi itu menembus punggung, dan sampai ke tulang belakang.

Kus-kus meronta. Hentakan tubuhnya, membanting gelas. Keduanya bergulat. Menggelinding di atas meja. Dan jatuh ke lantai. Pyar! Buk-buk! Buk-buk! "Dasar tikus sialan! Mampus, lu!" teriak Gunarto, office boy sambil menjinjng tubuh lunglai Kus-kus.

Cit-cit,..

| republish | Please Send Email to: [email protected] |

19 March 2010

[ Cerita Pendek ] Ibu

Senja Madinah | Bagian III (tamat)

“Sebelumnya sudah pernah dik?” Tanya seorang perempuan berusia 30 tahunan di sebelahku. Aku menggeleng ragu. Aku semakin ciut. mungkin, hanya mereka yang berpengalaman bekerja yang diterima untuk bekerja.

“Kalau belum pernah, lebih baik diurungkan saja,” Tukasnya takut-takut sambil melihat ke arahku. “Nggak ada ceritanya pulang dari sini jadi kaya. Yang ada, pulang-pulang bawa penyakit,” tambahnya. Aku mengernyit kebingungan. Tak bisa kaya, yang penting cukup, pikirku. Tapi membawa penyakit?

“Iya, kalau nggak penyakit kelamin ya penyakit AIDS,” Jawabnya, sambil memperkecil volume suaranya. Seketika wajahku memerah. Berlari ke pintu keluar tanpa mempedulikan gerombolan laki-laki sebesar Rambo yang berusaha menghentikan dan mengejarku. Aku berlari. Terus berlari. Hingga terdampar di koordinat 0º5' Lintang Utara dan 104º27' Bujur Timur ini. Tanjung Pinang.

Aku merasa dipecundangi oleh nasib. Jauh-jauh aku datang ke tempat ini, hanya untuk membuktikan pada ibu bahwa aku bisa menjadi manusia yang dibanggakan dan sayangi. Sebagaimana mimpiku yang terbawa ke liang lahat oleh Yaris. Menikah dengan laki-laki yang tak pernah menjamah lenganku dengan kasar. Aku hanya ingin menunjukkan laki-laki seperti apa yang pantas dicintai.

Tapi apa yang ku dapat? Selaput dara yang berusaha ku pelihara sejak usiaku delapan tahun, justru akan dilelang oleh Tacik taik itu! Ya, sejak usia delapan tahun aku berusaha menjaganya. Saat itulah aku tahu bahwa aku perempuan, meski menstruasi pertamaku baru ku dapat di usia sebelas tahun. Saat itu pulalah pelarian pertamaku. Pelarian karena seorang laki-laki. Yang ku panggil Kakek.

Kakek. Ayah dari Ayahku itu. Entah apa yang merasuki otaknya. Hingga birahinya memuncak melihat buah dadaku yang bahkan belum tumbuh. Hingga menindihku dan akan menelusupkan zakarnya pada vaginaku yang bahkan belum ditumbuhi rumput. Pada suatu malam yang buta. Hingga aku menjerit dan membangunkan nenekku.

Dan ibu dari ayahku itu, bukannya membelaku, justru melemparku dengan dandang. Hingga aku terbirit. Berusaha menemukan jalan mencari rumah ibuku, yang telah kawin dengan laki-laki yang tak pernah ingin ku sebut ayah. Itulah pelarian pertamaku.

Dan, tahukan kau, bagaimana sikap ibuku saat mendapatiku kelelahan, tanpa alas kaki, dehidrasi, dan kelaparan? Pipiku, lenganku, pahaku, dan kakiku. Bersemu merah. Perlahan tapi pasti. Menjadi lebam. Semuanya, hasil karya ibu dengan menggunakan tangan dan sapu lidi.

Ibu.
Ibu yang selalu ingin ku ku peluk dan berlindung di balik ketiaknya. Ibu yang selalu ingin ku kusampaikan rasa takut saat mimpi buruk. Ibu. Yang menjadi satu-satunya alasan balik pelarian yang ku lakukan karena laki-laki. Ibu. Yang membuatku merasa tak bisa lepas dari perempuan yang ku sebut ibu itu..

Ibu. Yang justru menjauhkan ku dari rasa hangat, saat aku merasa dingin dari getirnya hidup. Ibu. Yang justru meninggalkanku sendiri. Tidak hanya di kamar yang pengap. Tapi, di rumah sendiri. Benar-benar sendiri. Tanpa makanan. Tanpa nasi. Tanpa uang untuk membeli sepotong roti. Ibu. Yang justru meninggalkanku sendiri hanya untuk bertemu ibu dari ayah tiriku, lelaki ketiga ibuku.

Ingatanku melayang. Pada sebuah pagi sebelum aku berangkat sekolah.

“Mak, aku maem (aku mau makan),..” Aku merengek. Berharap suara lembut menyambut rengekanku.

“Njiko’o dhewe kono lho. Ngalem iki! (Ambil sendiri di sana lho. Anak manja!),” Suara membentak yang keluar dari tenggorokan ibuku itu, membuatku berjalan gontai ke tudung saji yang tertelungkup.

Ku lihat pemandangan di depanku. Hanya ada sebakul kecil nasi. Tak ada lauk untuk nasiku. Atau sekedar kerupuk pink sebagai pemanis. Hanya ada cairan berwarna cokelat kehitaman pada sebuah bungkus plastic bertuliskan ABC.

“Mak, lawuhe opo? (Bu, lauknya apa?)” Aku merajuk. Meminta ibu untuk memberikanku telur atau sekedar kerupuk. Sebagai teman nasiku. Tapi, ia justru menghujaniku dengan omelan. Dengan cercaan. Dengan makian.

Aku memilih diam. Agar ocehannya tak semakin panjang dan memekakan telinga. Aku mogok makan. Tapi, saat melihatku bersiap untuk berangkat sekolah tanpa menyentuh nasi yang telah ku pindah dalam piring, ibu menjauhiku. Mencari batang sapu di balik pintu.

Aku mempunyai firasat tak nyaman. Sebab aku telah menyapu lantai rumah sebelum mandi, pagi ini. Dan benar saja. Batang itu di arahkan pada pahaku. Dengan membabi buta ia memukulku. Aku tak mempunyai kesempatan untuk berlari. Saat batang sapu yang terbuat dari kayu itu patah, ibu menjambak rambutku yang keriting. Mengangkat tubuh ringkihku ke meja tempat sepiring nasi dan sebungkus kecap.

“Entekno! Lek Gak entek tak bandemno ning raimu! (Habiskan! Kalau tidak akan ku lempar ke wajahmu!),” Suaranya semakin keras menggelegar. Melebihi petir dan halilintar yang membuatku takut, saat harus melewatkan malam sendiri di rumah.

Aku bahkan tak punya gambaran sebagaimana lagu digambarkan tentang hubungan keluarga bahagia dan penuh kasih sayang, yang banyak diceritakan dalam pelajaran bahasa Indonesia dan Pendidikan Moral Pancasila. Aku hanya mempunyai bayang ketakutan akan masuk neraka jika membantah ibu sebagaimana gambaran pelajaran agama: Surga berada di telapak kaki ibu.

Akibatnya, aku berkali-kali berucap maaf pada sesuatu yang tak pernah ku lihat tapi mempunyai efek menekan dan menimbulkan rasa takut, saat sebersit pemikiran hadir dalam otakku: ibu pasti menggerutu saat aku dalam kandungnya. Ibu pasti berucap serapah saat berusaha mengeluarkanku dari rahimnya.

Tapi entahlah. Saat aku di ujung tanduk seperti saat ini. Saat seorang pendeta yang menolongku dari cengkraman prostitusi. Ia yang membayar semua tebusan. Ia bahkan yang mencarikanku pekerjaan pada sebuah bengkel kecil di ujung jalan menuju dermaga. Aku justru merasa membutuhkan perempuan bernama Ibu itu. Aku ingin ia adalah orang pertama yang merasa bangga mendengar aku akan menjadi anak terpandang dalam sebuah strata social kelas satu. Meninggalkan kasta sudra yang turun temurun ku sandang. Bahkan akan menempati posisi melebihi kasta kesatria kaum raja.

Aku justru merasa ingin pulang. Aku ingin berlari. Lagi… (tamat)

*Ibu Bagian II, klik di sini.
*Ibu Bagian I, klik di sini.


| republish | Please Send Email to: [email protected] |

16 March 2010

[ Cerita Pendek ] Ibu

Senja Madinah | Bagian II

“Nak, nyingkri, nak. Ndang nyingkri! (Nak, pergi nak, cepat pergi)” Sergah ibu, sambil berusaha memeluk erat kaki bapak, menghalangi serangan berikutnya. Aku tak punya pilihan lain. Aku menyambar tas yang tergolek di lantai. Lari sekencang mungkin. Menerobos kerumunan tetangga. Menuju jalan utama.

Dan begitulah pelarian keempat dalam hidupku. Karena laki-laki yang dinikahi ibuku. Karena laki-laki yang selalu melihat buah dadaku, saat bicara denganku. Ketergesaanku mulai mengendur saat kakiku merasakan panas aspalt hotmix yang mulai merayap hingga lututku. Aku bahkan tak sempat memakai alas kaki. Langkahku terhenti di warung kelontong nyaris tak terlihat di ujung jalan arteri, pinggiran kota menuju ke arah alun-alun kota. Sebatang pohon rindang menyelamatkanku dari sengatan matahari langsung.

Aku merogoh saku. Melihat sisa harta. Sepuluh ribu tiga ratus rupiah. Aku menelan ludah. Rasa lapar menyergap seiring kesadaran kemiskinan yang menyergapku sekarang. Tenggorokanku pun mengalami tuarang. Ludah di mulutpun kupaksakan masuk ke dalamnya untuk membuatnya sedikit basah. Meski gagal. Aku bimbang untuk membeli sandal atau menyelamatkan perutku dari kelaparan atau memberikan pertolongan pada tenggorokanku dari rasa haus.

Aku kembali berjalan melewati toko kelontong. Menghampiri sebuah rumah toko penjual roti. Aku melongok ke dalam toko. Ku lihat seorang pelayan toko sedang melayani lima pembeli. Dan seorang perempuan separuh baya sedang duduk di kursi kasir menghitung uang, sambil tangan kanannya tak lepas dari benda ajaib berisi angka.

“Cik, saya minta air pam di pancuran depan, ya?” Aku meminta ijin pada perempuan yang sedang duduk di kursi kasir itu. Semula ia acuh, tetap memencet-mencet tuts kalkulator. Tetapi, matanya memicing melihat kakiku yang bertelanjang dan kostum awut-awutanku. Jenak berikutnya, ia mengibaskan tangan kanannya, kembali tak peduli.

Aku membasahi tenggorokanku dengan air pam itu. ku minum sebanyak-banyaknya, berharap bisa menghilangkan rasa laparku pula. Setelah itu membasuk kaki dan mukaku dengan air itu.

“Kenapa nggak pakai sandal?” Tiba-tiba suara cempreng dari toko kelontong menyapa. Aku menoleh, tak tahu harus menjelakan apa. Tanpa terduga, ia justru menawarkan pekerjaan padaku. Setelah berbaik hati memberiku sandal jepit sebelah kana semua. Aku menerimanya sebagai sebuah berkah.

“Oe bisa antal lu olang ke Tanjung Pinang aa, jadi pelayan lestolan di sana. Gajinya besal, (Saya bisa antar kamu ke Tanjung Pinang, jadi pelayan restoran di sana. Gajinya besar)” Bujuknya dengan suara yang sengau hampir tertindas ludah. Aku ragu.

“Tak usah pikil biaya, Oe bisa sediakan dulu. Nanti kamu bayal pake gaji yang kamu dapat. Dicicil setiap bulan,” Ia seolah bisa membaca pikiranku. Aku mengangkat dagu. Takut-takut melihat seluruh tubuhnya yang gembil berwarna putih dengan gajih di pipi, lengan bahkan mungkin pahanya. Aroma tubuhnya sedikit mengganggu perutku yang keroncongan belum makan.

“Jadi TKW Cik?” Tanyaku meminta penjelasan.

“Haiyaaa… Tolol kali lu ya, Tanjung Pinang masih di wilayah Indonesia, aa. Tapi dekat dengan singapuul, Malaysia,” Jelasnya, geregetan. “Kelja jadi TKW lu cuma dijadiin jongos, di lumah. Jadi gak bisa gaya-gaya. Belum lagi kalo lu dipukuli majikan. Tapi, di Tanjung Pinang, lu jadi pelayan lestolan. Kalau mau jadi altis juga bisa,” Dari penjelasan panjang itu, yang ku mengerti hanya 10 persen.

“Saya nggak bawa ijazah, Cik,”

“Tak usah pikil-pikil ijajah. Di sana mau kelja, bukan mau kasih pamel ijajah,” Ia menepuk-nepun pundakku.

Aku hanya sempat menelephon ibu dan mengatakan niatku untuk bekerja di tanjung pinang. Ada 7 orang lagi bersamaku, saat berangkat ke Tanjug Pinang. Ku lihat mereka. Perbedaan usia yang ekstrim. Aku yang berusia hampir 18 tahun, ada perempuan yang menurutku sekitar 30 tahunan. Seorang ibu-ibu yang duduk bersamaku kini malah berusia hampir 50 tahun! Ah, mungkin ia bertugas sebagai juru masaknya.

Tacik yang penuh dengan gelambir gajih itu berubah sikap saat perjalanan menuju Tanjung Pinang. Menjadi judes dan culas. Tak ada lagi makan gratis setelah kami berada di mini bus dan kapal laut. Uangku yang tinggal sepuluh ribu dirampas, dengan alasan membayar konsumsi. Tak ada lagi sikap ramah dan sok pehatian membesarkan hati, saat kami memasuki dermaga.

Aku sempat memperhatikan rumah makan yang akan menampung kami sebagai pekerja. Keningku mengernyit. Letaknya di deretan paling ujung pantai. Menghadap ke pantai. Sekilas bangunannya tak berbeda dengan gedung-gedung pencakar langit seperti yang pernah ku lihat di Surabaya. Sayang sekali. Karena cirri khas Tanjung Pinang sama sekali tak tampak dari luar bangunan. Restoran yang aneh. Gelap dan lebih banyak lampu warna-warni.

Tak sampai lima menit dari kedatangan kami di kamis justru disuruh mandi dan menggunakan baju yang telah disediakan. Digiring ke sebuah aula, yang terletak di lantai dua, sebelah kanan deretan kamar-kamar. Di Aula itu, ternyata lebih banyak lagi orang yang bernasib sama dengan kami. Ini membuatku ciut, kalau-kalau aku tak diterima bekerja di tempat ini. kami di suruh berdiri saat seorang laki-laki berbadan tambun berkepala botak datang.

Laki-laki itu menunjuk satu persatu dari deretan 50 perempuan di kanan dan kiriku. Kulihat, tiga perempuan tercantik di antara kami yang terpilih. Bertubuh semampai, berkulit putih, dan berambut panjang. Meskipun wajah mereka sama lugunya dengan wajah kami yang kuyu. (bersambung)

*Ibu Bagian I, klik di sini.
*Ibu Bagian III, klik di sini.


| republish | Please Send Email to: [email protected] |

12 March 2010

[ Cerita Pendek ] Ibu

Senja Madinah | Bagian I

Di sinilah aku sekarang. Di pantai sebelah selatan, koordinat 0º5' Lintang Utara dan 104º27' Bujur Timur. Tanjung Pinang. Kota pelabuhan yang terletak di pulau Bintan, kepulauan Riau. Di temani rintik hujan yang turun satu-satu. Di langit, awan begitu pekat, berwarna kelabu. Hampir hitam. Meskipun tak mengurangi kecantikan kota ini.

Kota yang elok. Seharusnya aku bisa menikmati kota yang memiliki pesona eksotis ini. Dengan bahasa yang unik, bahasa Melayu yang masih tergolong klasik. Sedikit aneh terdengar di telinga. Namun memiliki daya tarik tersendiri.

Tapi, itu seharusnya. Karena pada kenyataannya, aku justru ikut menangis, seperti langit itu. Aku baru saja lari. Lari dari, aduh! Akan sangat panjang kalau diceritakan. Karena aku telah melakukan pelarian empat kali!

Pelarian ketiga ke Surabaya. Aku lari ke ibu kota propinsi, untuk menemui Yaris, lelakiku. Dia sakit. Jantung. Dan saat itu sedang dirawat di RSUD dr Soetomo. Kedatanganku ternyata hanya untuk menyambut kematiannya. Mengantarnya ke peristirahatan terakhir. Hatiku luruh bersama tanah yang menutup jasadnya.

Ya, pelarian keduaku karena pacar yang ku kenal melalui teman main karibku. Tapi, tak pernah mendapatkan restu dari orang tuaku. Dari Bapak tiriku, tepatnya. Di depan ibu, dia selalu mencibir, pergaulan di luar sangat tidak baik untuk perawan sepertiku. Aku hanya bisa menelan ludah. Karena kalau saja aku punya sedikit keberanian, pasti ludah itu ku cipratkan ke mukanya.

Aku tak pernah percaya padanya. Pada laki-laki ketiga yang mengisi hidup ibu. Aku tak pernah percaya, karena lelaki yang tak sudi ku panggil bapak itu, pernah mencoba mengangkangi ku, saat ibuku sedang menstruasi. Atau saat ibuku sedang pergi ke pasar untuk berdagang ikan.

Karena itu, aku tak pernah betah tinggal di rumah. Sebab di tempat itu, aku seperti berada di sebuah ngarai di lereng tebing dengan dinding-dinding terjal yang menjulang menembus tajuk terburai menjadi jarum, sirip, serta menara. Bak tsingy di Madagaskar. Hingga aku nyaris tak mungkin memanjat dinding-dinding runcing itu.

Tapi, aku tak pernah bisa meninggalkan rumah itu. Atau setidaknya, tidak bisa jauh dari rumah itu. Sebab bapak tiriku acap kali memukul ibu dengan alasan yang tak jelas. Sialnya, ibu selalu marah jika aku mengangkat pisau atau timba untuk ku lempar kepadanya. Seperti malam itu, ketika bapak memukulinya karena kepergok mengobrol dengan Suami kedua ibu. Aku yang tak tahan dengan perlakukan bapak melemparnya dengan timba berisi penuh cucian.

“Nyapo koen nduk? Menengo, ojo melu-melu urusane wong tua! (Ngapain kamu nak? Diamlah, tak usah ikut urusan orang tua!)” Katanya sambil balik memukulku, dan mengusirku.

Ah, aku tak pernah mengerti tentang cinta yang sedang bersemi dan mereka bangun itu. Cinta yang begitu banyak kemarahan di dalamnya. Begitu banyak cemburu. Bahkan, ibu tak jarang ke orang pintar meminta syarat agar bapak tak melirik ke perempuan lain. Banyak uang yang terbuang sia-sia pada kyai atau orang pintar sebangsa dukun itu. Padahal kami bukan orang berkecukupan. Hmm,… Aku jadi begidik sendiri, kalau saja ibu tahu orang yang begitu dipujanya itu pernah mencoba memerawaniku.

Sepulang dari Surabaya, aku mendapati tulang pipi ibuku lebam. Belum lagi lengan dan mungkin di beberapa bagian yang terselip di balik daster yang dikenakannya. Dia pasti dipukuli karena kenekatanku kabur melalui jendela kamar atas, tempat anak kost. Ia terkejut melihatku. Buru-buru mencari celah, untuk menyembunyikanku. Tapi terlambat.

“Ngapain kamu pulang, anak binal? Sudah ketemu dengan kontol Surabaya itu? Kenapa tidak sekalian ngecer di gang Dolly?” Suaranya kasar, menukik-nukik di telinga. Membuatku geram. Lebih geram lagi, karena usahaku untuk menjaga keperempuananku diejek begitu hina bahkan oleh orang yang pernah ingin merenggutnya.

Belum sempat aku menoleh untuk membalas umpatan, kedua tangannya ku rasa menjambak rambutku yang keriting. Jambakan itu dihentakkan ke belakang, hingga membuatku terjengkang. Dari arah depan, ku lihat ibu berusaha meraih kaki laki-laki itu. Memohon-mohon agar tak lagi memukulku. Hidungnya menyentuh jempol kaki bapak. Air matanya bercucuran, seiring suaranya yang parau merintih.

“Sudah, tak perlu membela anak tak tahu diuntung ini. dieman, ora ngerti (disayang kok nggak ngerti)!” Tukasnya sambil berusaha melepaskan kakinya dari cengkraman ibu.

“Mas, wes to mas,… isin dirungoke tonggo, (mas, sudahlah mas, malu didengar tentangga)” Suara sengau ibu termakan isak tangisnya. Ku lihat para tetangga mulai berdatangan melihat dari ujung pintu yang menganga.

“Awakmu mbelani? Mbelani bocah ra kena dieman iki? (kau membelanya? Membela anak yang tidak tahu diuntung ini?)” Satu tangan terlepas dari kepalaku. Sedikit lega, merasakan aliran darah sedikit normal. Tapi ternyata, tangan kanan itu justru mengambil rotan dan mengayuhkannya ke tubuh ibu. Rasa sakit di hatiku lebih meleleh daripada kepalaku yang mulai berdenyut-denyut.

Aku berusaha meraih botol topi miring yang terletak di sudut ruang tamu. Tarikan tangannya yang berusaha memburu ibu menguntungkan posisiku. Selain luput dari pandangannya, tarikan itu membuatku bisa berdiri. Saat itulah ku arahkan botol kosong itu ke tengkuknya, sekuat tenaga. tetesan darah mengucur dari tempat bersembunyinya otak kecil.

Aku terkesiap. Ia menolehku. Sedikit meringis, sebelum akhirnya amarah itu kembali memenuhi matanya yang semakin membesar dan memerah. (bersambung)

*Ibu Bagian II, klik di sini.

*Ibu Bagian III, klik di sini.


| republish | Please Send Email to: [email protected] |

05 February 2010

Di Ujung Malam

Eka Ratna

Malam Senin yang basah. Hujan turun sejak pukul enam sore tadi. Derasnya tidak berkurang dan menimbulkan suara berisik di atap rumah. Angin malam yang masuk melalui kisi-kisi jendela menusuk tulang punggungku. Beberapa kali ketukan ujung ranting pohon di kaca jendela memberikan irama sela di tengah derasnya hujan.

Lima belas menit jelang tengah malam. Sepertinya aku akan menjadi makhluk malam lagi, seperti dua tiga malam sebelumnya.

Monitor komputer berkedap-kedip dengan cepat. Proposal Praktikum Pembuatan Kompos ini baru selesai separuh, belum masuk ke Tinjauan Pustaka padahal buku-buku referensi sudah siap dibuka. Tinggal mencari halaman sekian agar isinya bisa aku salin. Namun kesepuluh jari tanganku hanya mengambang di atas keyboard komputer.

Aku duduk diam.

Satu menit, dua menit… dua setengah menit berlalu tanpa sedikit pun memindahkan kursor komputer. Pendar-pendar sinar monitor yang memenuhi ruang mataku seakan-akan mengurungku supaya tetap tidak bergerak.

Aku buntu. Miskin ide.

Tiba-tiba aku ingat dia. Hei, kenapa mesti dia? Bukankah aku sekarang sudah punya pacar, bahkan sudah siap menjadi calon suami? Seharusnya yang sekarang-lah yang aku ingat, bukan yang tertinggal.

Sedang apa kamu di sana ? Di sana, entah di mana. Tentu saja aku tidak tahu karena kamu menghilang sejak enam tahun lalu. Tanpa alamat, tanpa berita. Surat-surat yang sengaja aku tulis tak pernah dikirim untukmu. Menumpuk begitu saja di dalam kotak harta (begitu kita pernah menyebutnya) bersama foto-foto kita yang sudah mulai menguning.

Semua karena aku masih ingin mengenangmu. Jangan salahkan aku. Tolong, jangan larang aku. Yang sesungguhnya aku rasakan tidak pernah kamu tahu. Apalagi mengharapkan kamu untuk lebih mengerti. Karena kamu begitu jauh. Ataukah karena sebenarnya kamu terlalu dekat di hatiku?

Whoooahmm…

Aku menguap sekali. Angin menerobos ventilasi, membelai leherku. Dingin. Agaknya hujan mulai reda. Tidak terdengar suara berisik lagi. Mouse kugeser ke kiri, ke kanan, lalu melingkar-lingkar. Sekali lagi aku menguap.

Aku kembali mengetik. Entahlah, apa benar yang sudah aku ketik. Peduli amat.

Pluk.

Seekor cicak jatuh di atas printer. Aku kaget. Ternyata mataku nyaris tertutup. Sampai mana ketikanku tadi?

Ugh, kenapa malam memaksa aku berpikir bukannya menuntunku untuk tidur?

Lagu. Bodoh, kenapa tidak memutar lagu saja? Barangkali mampu meredam kantukku. Banyak kaset di laci lemariku. Pop Indonesia , Barat , India -nyaris ada semua- kecuali dangdut dan keroncong. Kaset-kaset itu aku koleksi sejak SMP. Bahkan ada beberapa yang sudah jamuran namun tetap aku simpan.

Bryan Adam. Terlalu lembut. Firehouse. Yah, lumayan menghentak. Megadeth? Eh, kaset siapa yang nyasar di sini? Bukan milikku, barangkali salah seorang teman kampusku meninggalkannya di sini. Atau Ebiet G. Ade? Enggak ah, nanti tambah ngantuk. Oh, gimana kalau Bon Jovi? Tidak apa bukan? Mendengarkan slow rock tidak akan menganggu penghuni kamar sebelah yang mungkin sudah hanyut dalam sungai mimpi.

This romeo is bleeding, but you can’t see his blood… It’s nothing but some feelings, that this old dog kicked up… It’s been raining since you left me, now I’m drawning in the flood… You see I’ve always been a fighter, but without you I give up…

Aduh, kenapa Always yang pertama keluar? Hanya akan mengingatkan aku tentangnya. Bukankah ini lagu yang kamu nyanyikan saat malam perpisahan SMU? Yang khusus kamu persembahkan untukku, membuat aku tersanjung.

Kamu masih suka memetik gitar tua itu, yang kau sebut pacar kedua -setelah aku- itu? Tentu saja, musik adalah duniamu, setelah panjat tebing dan hiking. Menurutku hobimu yang lain (pasti kamu enggak sadar) adalah menaklukkan hati para gadis. Dengan senyum tanpa dosa tidak akan ada yang menolak ajakanmu. Termasuk aku.

Salahkah bila aku sering membayangkan wajahmu. Dosakah? Cuma membayangkan saja, bukan suatu pengkhianatan, kan ? Sungguh, sebesar apa pun keinginanku untuk menghapus ingatan tentangmu, sebesar itu pula ketidakmampuanku untuk melakukannya. Sungguh, aku masih sangat mencintai kamu. Memang benar kata orang, cinta pertama itu tidak akan pernah mati. Yang paling berkesan. Paling manis. Sekaligus juga pahit. Seperti itulah yang pertama, bukan?

Mungkin jalan satu-satunya adalah aku ikut program pencucian otak.

Saat tidak ada kerjaan, lebih senang mengingatmu. Saat bertengkar dengan pacarku, lebih nyaman bersama bayanganmu. Menggambar jengkal demi jengkal bagian tubuhmu, dari ujung rambut sampai ujung kaki. Menuangkannya ke dalam kanvas hatiku. Rambutmu yang panjang menggelitik, sepasang mata elang di bawah naungan alis hitam, serta bibir tipis yang selalu basah dan mengurai senyum meneduhkan. Aku hapal wajahmu. Setiap gurat di sana bisa aku ingat, berharap wajah yang aku lukis selalu tersenyum dan menyapaku di ujung malam. Tapi, apakah waktu enam tahun merubah semuanya?

Aku kangen kamu.

Kangen sapaan ‘selamat pagi’ yang selalu kamu berikan di depan pintu kelas. Kangen genggam tanganmu yang menuntunku turun dari sepeda saat mengantarku pulang. Kangen bisikan lembutmu saat membujuk hatiku. Juga lelucon konyolmu yang tidak pernah habis.

Aku kangen semua tentang kamu. Benar-benar.

Bed of Roses terdengar. Sejak kapan lagu demi lagu berganti? Rupanya aku keasyikan melamun. Keasyikan melukis kamu. Ah, peduli amat.

Tengah malam.

Aku benar-benar menjadi makhluk malam.

Sudah empat kali dalam seminggu ini. Banyak tugas baca, makalah, dan presentasi yang menguras isi kepala dan energiku. Aku sering tertidur pukul satu dinihari kemudian terjaga sejam berikutnya. Tidak mimpi. Tidak ada yang membangunkan. Ya, otomatis saja.

Sudahlah, pergilah semua bayangan tidak diundang dari kepalaku. Aku harus menyelesaikan tugas. Besok harus sudah presentasi di hadapan dosen dan teman-teman sekelas. Harus bagus, atau aku tidak boleh ikut midsemester.

Tiga buku setebal lima senti menenggelamkan kepalaku. Ini semuanya akan aku baca? Berbahasa Inggris pula. Di antara tiga buku hanya satu yang berbahasa Indonesia. Gila, memangnya aku kamus berjalan?

Kalau kamu, mungkin iya. Di SMP dan SMU, semua guru bahasa Inggris memuji kepintaranmu. Kosakata yang kamu kuasai jauh melebihi kemampuanku.

‘Dengan cara menghapal sepuluh kata setiap hari, tinggal dikalikan, maka kamu tidak akan percaya hasilnya.’

Seperti itulah yang kamu bekalkan untukku. Kamu memang pintar, kok. Salah satu kelebihanmu yang sukses menjerat hatiku.

Lagi-lagi aku memikirkannya. Ada apa ini? Lupakan. Berusahalah ingat yang lain. Ingatlah seseorang yang nun jauh di sana, yang sedang berjuang untuk kebahagiaan dan masa depanku.

Nggak bisa. Hhh, aku memang nggak mau.

Aku bosan memikirkan yang sekarang. Terlalu sering. Senyum untuk dia, waktu, bahkan sampai airmata. Aku mau penyegaran. Suasana lain, bersama yang lain. Lagipula aku tidak bersama wujud nyata, hanya lamunan. Kan, tidak salah? Becanda dengan bayangan, tidak akan ada yang tahu, kan? Kecuali Dia tentunya.

Kepalaku ini sulit dikontrol rupanya. Sekali dibiarkan bebas maka akan berkelana sebebas-bebasnya. Tidak perlu mengerti kesusahan pemiliknya. Aku sedang sibuk. Aku sedang menguras isi otakku. Mencari-cari kalimat yang pas buat proposalku.

Tombol-tombol keyboard mulai aku tekan dengan kecepatan luar biasa. Isi otakku mengalir deras dan tidak mau aku stop, karena sekali aku stop maka selamanya akan hilang. Mumpung masih segar dan mumpung pikiranku sedang konsen ke satu hal saja, kerjakan sekarang juga.

Pengertian Sampah… Pembagian Sampah… Sumber Sampah…

Apa ini? Bahasa Inggris lagi. Mana kamusku? Di mana aku letakkan tadi? Aduh, aku begini ceroboh dan tergesa-gesa. Selalu ada yang berantakan dan tertinggal. Tidak pernah teratur dan rapi. Ah, sebodo amat. Aku tidak perlu berdiskusi tentang ini.

Cepat, tinggal dua paragraf lagi. Setelah itu masuk ke Metodologi Pembuatan Sampah. Gampang, sudah ada konsep. Tinggal aku ketik dengan penambahan di sana sini sebagai pemanis. Ketua kelompok sungguh baik hati, bersedia menulis serapi ini. Mungkin dia sudah tahu kalau aku bakal kelelahan.

Krriiiinnngg!

Siapa lagi malam-malam begini?

Krriiinngg!

Pantatku terangkat. Tanganku terulur siap meraih knop pintu. Sialan, tak ada suara lagi. Siapa pula yang usil. Sukanya mengganggu ketenangan orang.

Aku duduk kembali. Lho, sepi? Ternyata kaset Bon Jovi side A sudah habis sejak lima menit yang lalu. Aku segera membaliknya.

I wake up in the morning, and I raise my weary head… I’ve got an old coat for a pillow, and the earth was last night bed... I don’t know where I’m going only God knows where I’ve been… I’m a devil on the run, a six gun lover a candle in the wind, yeah…

Setiap beat lagu itu memberikan stimulus agar aku bekerja kembali.

Jemariku terpaku di atas keyboard. Sial, ke mana semua kalimat yang sudah aku susun tadi? Pasti gara-gara dering telepon kurang ajar itu!

Kalau saja dia ada di sini pasti aku dibantu. Tangannya ringan dalam membantuku. Tidak pernah mengeluh, tidak pernah bertanya kenapa, atau pun memberikan nasihat sepanjang Jabotabek.

‘Lain kali lebih teliti.’

Hanya itu katanya. Tidak lebih.

Cinta pertama. Tidak akan pernah habis untuk diceritakan. Seperti sebuah drama teve yang sekarang sedang booming di kalangan remaja dan orang tua. Apa itu judulnya? Meteor Garden? Setiap kuliah kosong, di setiap sudut kelas membicarakannya. Setiap tangan memegang gambar atau fotonya. Bla, bla, bla….

Lho, malah ngelantur?

Yah, cinta pertamaku memang tidak akan habis atau memudar. Kalau dijadikan bahan novel, bisa setebal 200 halaman bolak-balik. Belum ditambah cover eksklusif dan halaman persembahan.

Waduh, otakku kacau lagi. Mungkin aku memang harus masuk program cuci otak.

Lalu kenapa putus?

Pertanyaan simpel tapi jawabannya serumit benang wol yang dijadikan mainan si Pussy. Bukan mauku untuk putus. Bukan rencanaku untuk meninggalkannya. Semua bukan bermula dari aku. Andai masih bisa memilih, aku akan memilihnya.

Bermula dari seseorang yang aku sebut ‘ibu’ dalam keluarga. Yang sudah mempertaruhkan nyawa agar aku melihat dunia, bangun di tengah malam karena aku menangis minta susu, dan mengajari ucapan ‘ayah, ibu’ sampai lidah rasanya kelu. Ibu. Makhluk ciptaan Tuhan yang paling mulia.

Semua orang tua mengharapkan yang terbaik untuk anaknya Begitulah kata nenek, tiga hari sebelum beliau berpulang. Apalagi untuk anak semata wayang yang diserahi tanggung jawab total membawa nama baik keluarga, seperti aku. Harus begini, harus begitu. Jangan bergaul dengan ini, jangan dengan itu. Aku boleh memilih tapi tetap menyesuaikan dengan keinginan ibu. Sama saja bohong, kan? Ibu mengharapkan yang terbaik untukku, tapi ‘terbaik’ menurut beliau.

Dia pintar. Dia siswa teladan. Dia luar biasa baik hati. Bak pangeran negeri antah berantah. Tidak pernah mabuk-mabukan. Mencium bau bir saja membuatnya muntah. Bukan pecandu narkoba, seperti yang sekarang merebak di kalangan pelajar. Dia bersih lahir bathin. Lalu apanya yang salah?

Keluarganya.

Menurut penilaian orang-orang di sekitarku, ayahnya bukan contoh yang baik. Seorang laki-laki yang telah menanamkan benih ke wanita yang bukan istri sahnya. Ialah ibunya. Tapi dia bukan anak haram. Dia cuma anak yang kurang diinginkan.

Napasku tersendat, sudut mataku terasa hangat.

Sungguh cengeng. Kembali ke masa-masa itu akan memaksaku untuk menangis. Bukan terharu pada keluarganya yang broken home, namun sedih akan kenyataan yang aku anggap tidak adil. Perpisahan yang tidak aku mau, begitu jauh, begitu lama…

Aku tidak yakin dia ingat bentuk wajahku. Ingat lekuk tubuhku saat melintas di dekatnya. Ingat suaraku saat aku menyapa. Atau bagaimana aroma rambutku yang dulu sering diciuminya. Waktu sudah habis demikian banyak, memberi kesempatan untuk suatu perubahan. Dan setiap manusia pasti akan mengalami perubahan, bukan?

Sudahlah.

Berhenti memikirkan hal-hal yang sentimentil. Berhenti sok romantis. Sok puitis. Hanya akan membuka luka lama. Membuatnya menganga dan berdarah lagi.

Bukan ini yang aku harapkan. Tidak. Aku juga ingin lepas dari belenggu masa lalu. Lepas dari ikatan benang merah yang pernah ia ikatkan di kelingking kiriku. Melepaskan bola-bola cinta yang merantaiku ini.

Tolong, bantu aku. Jangan hanya kau pandangi aku dari kejauhan. Jangan hanya bergerak sebagai bayangan membisu. Genggamlah tanganku untuk terakhir kali. Bisikkan suara lembutmu untuk terakhir kali.

Untuk mengucap kata ‘selamat tinggal’ untukku.

Pipiku membasah. Selalu berakhir begini.

Monitor komputer tetap berkedap-kedip. Pendar sinarnya tetap menyeruak ke dalam mataku, menambah panas.

Bon Jovi tetap menyanyi.

Dan aku tetap duduk, mencoba menyelesaikan tugasku hingga akhir.

Biarlah seperti ini.


17 January 2010

[ Cerita Pendek ] Bukan Hermes dan Aphrodite

Senja Medinah

Hujan.
Rinainya menetes satu-satu di atap pertokoan. Aku terjebak di antara lebatnya. Ku rapatkan jaket tipis yang ku pakai. Gigil mulai menyapa kulit air, membuat bulu kudukku berdiri tegak. Merayap hingga ke tulang sum-sum.

Gelap.
Aku tak melihat satupun benda langit, kecuali tangisnya yang begitu merdu. Menderu. Membuat hewan-hewan malam ikut bernyanyi. Katak merintih. Pilu. Di kejauhan ku dengar anjing menyalak. Cahaya hanya ku dapat dari lampu kota yang hanya satu dua menyala. Sesekali dari truk yang melintas, seraya mengibaskan kubangan air ke arah pejalan kaki seperti ku.

Aku menepi. Saat air semakin kerap menetes. Berlindung di depan warung kecil yang telah tutup. Warung yang sederhana, kalau tak mau dibilang sempit. Aku membayangkan pasti sangat panas saat terik menyapa. Sebab atapnya hanya ditutupi seng.

Telah setengah jam aku berdiri di sini. Tapi langit terus menangis. Seperti seorang anak yang belum diberi ASI sang Ibu. Sungguh ingin meneruskan perjalanan. Pulang menuju rumah. Tapi, kuyup membuatku tak bisa berpakaian. Kalau aku nekad menembus deras. Sebab baju yang melekat di badan ini satu-satunya. Pakaian yang lain tak kering. Matahari tak menyapa bumi tempatku berpijak, seminggu ini.

Tiba-tiba ku teringat. Raut wajah yang belakangan mengganggu benakku. Raut yang selalu ingin membuatku berbalik ke arah barat daya. Pulang. Menemuinya. Sekedar memastikan mata indah itu masih bersinar. Sekedar memastikan tawa itu masih renyah. Sekedar memastikan ia baik-baik saja. Ah, wajah itu. mata itu. membuatku selalu ingin memandangnya lekat-lekat. Membuat aku ingin selalu bersujud pada bibirnya yang merah. Merekah.

Ku rogoh telephone selular yang ku simpan dalam tas punggung. Sekedar melepas rindu pada suaranya yang manja, Seperti bergelayut di lenganku. Suara itu mengingatkanku pada suara Atik CB, penyanyi era ‘80an. Serak dan basah. Sial! Batrainya sedang lemah.

Ia pasti gelisah. Segelisah aku yang tak melihat ada tanda-tanda hujan akan berhenti dalam hitungan sepuluh. Ia pasti menunggu. Seperti aku yang sedang terpaku di ujung sendu malam tanpa gemintang. Sayang, tunggulah aku. Batinku mendesah.

Aku terkulai lemas. Melihat lebat air yang terus saja dimuntahkan dari langit. Gigilku semakin menyengat tungkai. Melorotkan badan yang tegak berdiri. Berjongkok memeluk kaki. Dingin menyapu mataku dengan mimpi. Melayang-layang (ku harap) ke barat daya.
***
“Venus? Kau kah itu?” Ku lihat paras cantik venus memakai gaun serba putih. Gaun tanpa lengan itu memperlihatkan punggung yang putih dan halus. Ia menoleh.

“Lena. Aku Lena, Sayang,” Suara manjanya mulai menggelayut di lenganku.

“Tidak, bagiku kau tetap Venus dalam mithologi Romawi. Aphrodite kekasih Hermes dalam kisah Yunani,” Jawabku. Ia tertawa. Tetap manja. Diakhiri dengan nada getir.

“Jadi, kau kah Hermes itu?” Tanyanya. Sejenak aku ragu menjawabnya. Tapi aku memang merasa menjadi Hermes. Aku mengangguk lemah.

“Hahaha,… Iya, aku Aphrodite. Yang akan menikah dengan Hefestus, si buruk rupa dan pincang itu,” Aku menyesal telah mengangguk. Sebab ku lihat kaca hendak pecah dan meluncur dari mata indahmu. Tapi aku memang merasa menjadi Hermes.

“Dan aku adalah perempuan peselingkuh,” Tambahmu.

“Cinta. Kaulah dewi Cinta. Aku tak menyalahkanmu. Karena gairah yang kau miliki,” Aku merangkum kedua tangannya yang lentik. Warnanya memang lebih gelap dibandingkan lengannya. Ah, tangan halus itu tetap tampak liat. Sekeras hatinya yang selalu teguh memegang prinsip. Tapi, keteguhan itu selalu kalah dengan kelembutan sekaligus kelemahan. Lemah, saat melihat mata ayahnya berkata tidak saat meminta restu kebersamaan kami. Sebagaimana Aphrodite yang tak bisa menolak keinginan Zeus yang telah memilihkan jodoh Hefestus, tanpa bertanya.

“Ingatlah, berapa kali Aphrodite harus berselingkuh? Aphrodite juga berselingkuh dengan Ares, sayang,” Sanggahnya.

“Itu karena Hermes meninggalkannya, Sayang. Aku tak kan mengulangi kebodohan yang dilakukan oleh Hermes dalam mithologi itu. Aku akan menjadi bayanganmu. Aku akan datang tak terduga disetiap kesendirianmu, aku akan ada lebih dekat dari nafas mu, bahkan nadimu,” Suaraku parau membakar semangatmu.

“Kerinduan tak bertepi selalu menghadirkan amarah sayang. Amarah itu dapat merobohkan ruang dan waktu. Menghantam malam. Mendobrak pagi. Karena itu, berjanjilah kau selalu merindukanku. Maka aku akan ada, di setiap jengkal ragamu,” Racauku tak terkendali. Kini bukan hanya kaca yang pecah dari matamu. Tapi Tashensini telah berpindah dari Yukon, Alaska, ke pipinya.

“Sebagaimana Hefestus, ia temperamen dan jahat, sayang. Aku tak bisa membayangkan jika dia mengetahuinya. Ia tak kan menumpahkannya padaku. Tapi aku tak mau hal buruk terjadi padamu,” Dia, Venusku, Aphroditeku itu, masih saja mencari celah kemungkinan terburuk. Dulu, aku selalu protes pada pemikirannya yang cenderung negative, seolah tak ada harapan.

“Ingtlah, sayangku, Hefestus adalah orang yang konservatif dan bodoh. Dia tak akan mencium pupuk-pucuk cinta yang terus saja bersemi menjadi rimba raya, belantara. Pohon bernama ours itu akan terus tumbuh, menemukan jalannya untuk beranak-pinak, melanjutkan kehidupan,” Aku terus menenangkan.

“Tapi,…” Tuhan, kenapa kau menciptakan kata ‘tapi’? kata itu membuatku capek untuk terus berpikir.

“Sudahlah, Venus. Aku rela menjadi kekasih yang hanya ada dalam hatimu. Aku rela menjadi kisah rahasiamu. Aku rela menunggu Hefestus tertidur. Aku rela menjadi giliran terakhir. demi cinta kita, Aphroditeku,” Aku mendesah. Mengucapkan segala janji. Meski aku tak terlalu yakin bisa melakukannya.

“Tapi bagaimana kita akan memiliki Hermaphrodite? Seorang putra sekaligus putri sebagai pengejawantahan kebersamaan kita? Sebagai harapan bahwa kita tak kan terpisah? Kita yang abadi?” Seketika eksistensiku rontok. Sebagai kekasih, sebagai laki-laki dalam kisah kita.

“Aku sangat ingin berjumpa mimpi, sayangku. Tapi kau selalu menolaknya dengan kata ‘tapi’. Kerinduan bukanlah dosa, cintaku. Bukan laku yang tercela,” Desisku. Dan berlalu.
***
“Mas, bangun, mas. Sudah pagi. Warung saya mau buka,…” Ku dengar suara seorang lelaki membangunkanku. Sedikit kasar. Aku mengerjap. Mengangkat wajah. Melihatnya sekilas.

“Oh, maaf, mbak. Saya kira laki-laki. Rambutnya cepak gitu,” Ia memperbaiki panggilannya kepadaku.

Tak ku sisakan suaraku untuk didengar gendang telinganya. Aku hanya kembali berjalan. Menyandang kembali tas yang ku peluk, ke punggung. Sedikit membuka resleting jaket hingga sebatas dada. Berjalan. Sambil mengenang mimpi semalam. Dan mengutuk keberadaanku di pulau ini, sekarang.

Aku mendesis pada pagi yang muram. Awan gelap bergerak cepat sekali. Mengingat wajah bulat bermata indah yang selalu ku rindu. Membuatku selalu ingin menancapkan layar. Mendayuh sampan. Hingga ku tautkan di depan rumah. dibawah pohon ours yang telah menjadi belantara.

Aku tiarap pada gempuran rindu yang menusuk seperti jarum. Tapi aku juga bertekuk lutut pada angin. Yang masih terus berhembus ke arah timur. Aku menyerah pada kerinduan yang menyayat.

Ku paksakan selularku bekerja. Meski dalam kondisi lemah. Gelombang selularku menghubungi satelit untuk menyambungkan ke telephon selularmu.

“Halo?” God, kenapa suamimu yang menyapa? Apakah alat itu telah disita?


15 January 2010

[ Cerita Pendek ] Cermin

Senja Madinah

Lengang. Aku bersimpuh di kebun belakang. Di depan batu nisan bertuliskan namamu. Yang sedang bersanding bersama karibmu. Ah, kalian benar-benar sehidup semati. Hanya selang hari engkau menyusul kawan yang lebih dulu menghadap ilahi. Aku iri.

Pilu menyapa.
Celoteh burung perenjak terdengar dari kejauhan. Celoteh yang selalu membuatmu tenang duduk menunggu ilham. Di kursi malas, ditemani buku-buku. Saat sore semacam ini, biasanya engkau sedang minum teh. Bersamaku. Menikmati hembusan angin yang menjadi dingin di ambang sore nan layu.

Tak kan ku ubah kebiasaan itu, Mas. Karena itu, ku bawakan engkau seteko teh tubruk kesukaanmu. Menuangkannya dalam dua cangkir. Menyuguhkan satu untukmu, satu untukku.

Ah, biarkanlah sahabat karibmu, yang juga ditanam di pekarangan ini tertidur. Biarkan aku yang menemanimu sore ini. Kembali menikmati secangkir teh. Bersamamu. Ditemani kudapan yang ku beli dari pasar, siang tadi.

Mas,..
Ah, kau selalu marah saat ku panggil dengan sebutan itu. Tidak egaliter katamu. Tidak menunjukkan kesetaraan. Apalagi, katamu, aku adalah seorang yang berkesadaran, aktifis dan seniman perempuan. Tapi biarlah mas, di hadapanmu, aku tidak egaliter. Bukan untuk menganggapmu superior. Tapi lebih karena aku memujamu. Mencintaimu.

Saking cintanya aku padamu, mas, aku bahkan tak bisa berfikir normal. Bersikap normal dalam mengekspresikan rasa. Normalnya perempuan yang merasa cemburu saat melihat suaminya mengangkangi perempuan lain di sudut ruang meditasi, di semak pohon bambu dekat sungai buatan, pekarangan rumah. Tempat yang sama, saat kita mengunjungi pucuk-pucuk asmara. Asmara, yang membuatku selalu menanggung rindu. Bahkan rindu itu ada, hingga kini, saat kau telah kembali ke tanah bersama peluh.

Tapi mas, jangan dikira hatiku tak terbakar, waktu ku lihat gelagat perempuan ranum seusia kakak anak perempuan kita, bergeliat manja mencuri birahimu. Aku cemburu. Saat kau membimbingnya mengeluarkan ekspresi terjujur untuk sebuah acting seni. Aku cemburu. Saat bahasa tubuhmu memperhalus gerakannya yang masih kaku disetiap latihan-latihan. Aku cemburu, saat kau memuji keistimewaan seni perempuan itu. Aku cemburu, saat kau tak berkedip melihatnya menari dengan gemulai. Sambil berpuisi. Saat memerankan naskah terbarumu. Yang diilhami kehadirannya.

Dan tak hanya satu perempuan, mas. Tak hanya satu perempuan yang ku ketahui intim denganmu. Bahkan disetiap ada pemain baru, murid baru, matamu selalu awas dan cergas memilih. Hingga suatu ketika aku bertanya, adakah kau juga merasa birahi pada anak perempuan kita yang kini menginjak masa dewasa?

Sungguh, aku marah dan cemburu. Tapi siapalah aku ini, mas. Akupun tak jauh beda dengan perempuan-perempuan tempatmu mencari inspirasi itu. Aku adalah perempuan ketiga dalam hidupmu. Yang kau kawin sebelum istri pertamamu meninggal dunia. Bahkan aku tetap berbagi kamu, dengan istri keduamu. Ah, mas…

Kenyataan ini menamparku. Aku seolah melihat cermin saat melihat perempuan-perempuan itu. Bagaimana aku begitu sangat bergelora mendengar rayuanmu melalui puisi dan naskah-naskah cinta yang kau buat untuk ku atau juga untuk negerimu. Aku juga sumber inspirasimu kan?

Orang bilang, aku terlalu memujamu. Sehingga aku hanya diam melihat tingkahmu dengan perempuan-perempuan muda itu. Bahkan sebagian dari mereka menganggapku bodoh. Aku bukan tidak mendengar gunjingan itu. Ah, persetan dengan rasan-rasan itu. Kalau saja mereka tahu, aku hanya tak tahu caranya marah kepadamu atau kepada perempuan-perempuan itu. sehingga yang bisa ku lakukan hanya bersikap dingin pada perempuanmu yang lain. Bagaimana mungkin aku marah pada cermin diriku sendiri?

Sekarang, ijinkan aku bercerita. Mas, semalam gadis kita bercerita ia berencana menikah dengan laki-laki beristri. Seniman. Usianya lebih dari separoh usia gadis kita. Ah, mungkin kau juga mengenalnya. Ya, kau pasti mengenalnya. Kau pasti mengenal juniormu di kampus dulu, sesama pegiat kampus, pegiat seni, pegiat jalanan…

Gadis kita itu mengatakan betapa ia telah jatuh cinta. Kata cinta itu diucapkan dengan gairah muda yang juga tak bisa kubendung dulu, kepadamu. Ia bahkan tak takut-takut saat mengatakan padaku. Sama beraninya seperti saat aku bersikeras menentang larangan orang tuaku untuk menikahimu. Dengan getir harus ku katakan, anak kita itu bahkan dengan bangga memamerkan lelakinya padaku. Anak kita itu bahkan tidak meminta ijinku. Hanya memberi tahu, tanpa bertanya apakah aku berkenan atau tidak.

Tentu mas, aku tahu, aku ingat. Kita tidak pernah mendidik mereka inferior di bawah kita. Kita selalu memperlakukan anak-anak kita egaliter. Kita membiasakan mereka tidak harus meminta ijin atas apa yang mereka lakukan. Kita membuat mereka selalu harus bertanggung jawab pada keputusan pribadi dan perbuatan mereka sendiri. Tapi mas, taruhlah aku sebagai sahabat, tidakkah ia seharusnya menghitungku untuk memberikan pertimbangan?

Ah, mas,.. Sebetulnya aku tak pernah tahu harus bicara apa kalau saja gadisku itu meminta. Sejujurnya aku tak tahu harus bersikap bagaimana kalau saja ia bertanya. Inikah karma? Ah, mas. Kau tahu aku tak pernah mempercayai karma.

Aku hanya melihat cermin. Saat tanpa sengaja ku lihat ia sedang memompa adrenalin di bawah rumpun-rumpun bambu samping rumah. Bersama lelakinya. Tempat yang sama saat kau beradu cinta denganku atau dengan perempuan-perempuan lain. Meski aku tetap bernafas lega, ia tak mengambil tempat meditasimu, yang belakangan lebih sering ku gunakan untuk mengenangmu.

Tahukan engkau mas. Saat sendiri seperti ini, membuat rasa cemas lebih cepat datang. Meski aku tak pernah didamprat oleh kedua istrimu, tetapi aku bisa merasakan rasa tidak senang yang bersarang di hati mereka. Terutama oleh istri keduamu. Maka pengalaman itu membuatku was-was, kalau-kalau anak kita didatangi istri pacarnya. Kalau-kalau ia didamprat, seperti yang banyak terjadi di sinetron-sinetron murahan malas kita tonton.

Sekarang katakanlah padaku, mas. Apa yang akan kau lakukan atas kenyataan gadis kita itu? Sungguh aku tak mempunyai ide atas cermin retak yang ada di depanku kini.

“Bu,..” Oh, tidak… Mas, haruskah ku tolehkan wajahku pada gadis kita itu. Sementara mataku telah basah dan hidungku penuh dengan iluh,.. “Aku keluar dulu dengan mas Baskoro. Mungkin menginap,” Oh, Mas. Haruskah ku jawab iya? Atau bolehkan aku berkata tidak?

Di sela-sela kangen yang aku rasakan menggunung padamu, ada rasa marah, cemas dan tak nyaman, padamu juga pada diri sendiri, yang siap meledak di hatiku.

28 December 2009

Bertemu Ani Yudhoyono [bagian ke-2]

Iman D. Nugroho | Sebuah Cerpen
*Baca dulu bagian pertama, klik di sini

Bu Ani memicingkan mata. Aku merasa bersalah. "Penjelasan itu benar semua," kataku sambil "mengunci" mulutku dengan suapan soto daging. Tidak ada pembicaraan selama beberapa saat. Di kepalaku, masih menggantung tanya,"Mengapa Ani Yudhoyono menemuiku?" Tapi, sudahlah. Mungkin ini keberuntunganku. Insting jurnalistikku bekerja. "Bu Ani, apakah Ibu keberatan kalau saya wawancara untuk dimuat?" tanyaku. Dia melirikku. "Lalu, menurutmu, untuk apa aku sengaja menyapamu,.." katanya.

Wah, kesempatan emas!

Secepat Si Buta Dari Gua Hantu, kuraih ransel yang teronggok di dekat kakiku, kurogoh dan sejurus kemudian, sebuah MP3 recorder bermerk Sony sudah di tangan. "Saya rekam ya bu," kataku sambil menyorongkan MP3 hitam itu ke lebih dekat pada perempuan bernama asli Kristiani Herawati itu. Dia mengangguk. Mulutnya mengunyah pelan.

"Pertanyaan standart, apa yang membuat ibu ke pasar Tanah Abang?" tanyaku. "Saya habis ketemu Tommy,.." katanya pendek. "Tommy? Tommy Winata?" Aku meyakinkan. Dia mengangguk. Ani menjelaskan, Tommy dan dirinya adalah kawan lama. Waktu SBY "belum jadi apa-apa", Tommy dan dirinya sudah pernah berbisnis. "Waktu itu saya bisnis nener, tahukan, itu anak ikan bandeng," jelas perempuan yang menikah dengan SBY pada 30 Juli 1976 ini. Aku menggangguk.

Persahabatan itu terus berjalan, meski Ani sudah meninggalkan bisnis nener, karena SBY menjadi Presiden RI. Nah, dua hari lalu, Tommy menelepon, dan mengabarkan tentang bisnis multy level marketing (MLM). "Ah, masa orang sekata Tommy masih bermain MLM?" tanyaku. Sebuah gigitan krupuk menutup pertanyaan itu. Kresss!! Ani sedikit tertawa, sembari mengusap bibirnya dengan tisu. "Ini bukan MLM biasa, kita akan MLM helikopter, sudah lah, kalau saya omongkan semua, bisa-bisa akan muncul banyak saingan, bisa ganti topik?" katanya.

Meski ingin tahu lebih jauh, Aku memilih menghormati keinginan Ani. Dan melanjutkan wawancara? "Ini soal buku Gurita Cikeas karya George Junus Aditjondro, komentar ibu?" Ibu Ani memandangku dengan tajam. "George itu kurang ajar!" katanya. Menurutnya, isi buku yang belakangan heboh itu jelas-jelas sebuah penghinaan bagi keluarganya.

Alasanya sederhana, kalau memang SBY mau, mengapa cuma Rp.6,7 trilyun. "Pokoknya, kalau saya ketemu George, akan saya potong rambutnya yang gaya penyanyi dangdut itu!" katanya. "Lho, bukankah buku harus dibalas buku?" aku penasaran. "Eh, urusanku dong,..mau aku bayar joget kek,..potong rambut kek,..itu urusanku," Bu Ani ketus. Es teh manis yang tersisa separuh pun ditenggaknya sampai habis. "Ada bir-nggak?"

###

Hampir setengah jam sudah Aku dan Bu Ani menikmati soto dan es tawar itu. Keinginannya minum bir, aku ganti dengan es kelapa muda. Dia tidak menolak. Bahkan, menikmatinya. Kadang, dinikmatinya lonjoran kepala muda itu dengan atraktif. "Aku bisa makan kelapa muda ini lewat hidung," katanya. Dengan cekatan, dimasukkanya selonjor daging kelapa muda itu ke lubang hidung, dan sreeeeepppp! Huek!!!

"Bu,..omong-omong, katanya mau mencalonkan diri jadi Presiden RI ya,..kaya Hillary?" tanyaku. Bu Ani terbatuk-batuk. Bukan karena pertanyaanku, tapi, lonjoran daging kelapa muda itu tersangkut di kerongkongannya. Dengan terpaksa, kupukul tengkuknya. Belum ada reaksi. Dia tetap terbatuk-batuk. Kali ini, ku-jegug (ini bahasa Jawa. Artinya, kurang lebih, memukul dengan menggunakan kepalan tangan. Aku tidak menemukannya dalam bahasa Indonesia). Sebuah serpihan kelapa muda keluar dari mulutnya,..

Entah mengapa, aku gantian tersedak. Sesuatu tersangkut di tenggorokanmu. Aku terbatuk beberapa kali,..terbangun dari tidur. Kulihat seekor cicak dengan tubuh basah tergeletak di atas kasur,...jijik!!!

Bertemu Ani Yudhoyono

Iman D. Nugroho | Sebuah Cerpen

Pasar Tanah Abang, Jakarta suatu hari. Entah bagaimana, tiba-tiba motor yang lagi asyik kukendarai, terseok-seok. "Bocor,.." Yup. Seperti sebuah ritual, motor tua yang aku miliki [dengan kebanggaan karena uangnya bukan hasil korupsi], bocor lagi roda belakangnya. Sebuah angkot yang berada tepat di belakangku, membanting stirnya ke arah kanan, sambil menyalakan klaksonnya keras-keras. "Anjing lu!" teriak sopirnya.

Aku pura-pura nggak mendengar. Kalau aku sopirnya, pasti juga akan melakukan hal yang sama. Maklumlah, panas dan macet, sering membuat orang gampang emosi. Tak ada pilihan selain menuntun [serius, aku tidak menemukan kata "menuntun", dalam bahasa Indonesia]. Itu tuh,.berjalan di samping motor, sambil berpegang ada dua stir motornya. Seperti yang dilakukan orang-orang untuk mencari tambal ban. You know what I mean?

"Mas Iman ya?" Tiba-tiba seorang peremuan menyapaku. Aku terkejut. Bagaimana bisa, seorang ibu-ibu tua, yang berdiri di trotoar jalan sendirian, menyapaku. Kutepis kagetku, sambil kupandangai wajahnya. "Ibu siapa? tanyaku. Ia hanya tersenyum. Dari senyumnya, aku sempat menebak dia adalah Luna Maya, tapi kok agak gendut. Atau Miyabi? Nggak ah. Miyabi kan orang Jepang, nggak mungkin bisa bahasa Indonesia.

"Jangan kaget, saya Ibu Ani," katanya. Glodak!!! "Nggak usah pake glodak, saya memang memang Ani Yudhoyono, istrinya pak SBY," jelasnya. Aku hanya terpana. Mana mungkin, Bu Ani sendirian di tepi jalan yang panas di Tanah Abang. Sendirian lagi. "Ah, ibu bercanda," kataku pendek. Ia tersenyum. "Kok nggak ada pengawalan?" aku penasaran. "Siapa bilang saya sendirian, kamu lihat dua orang di sana itu, atau yang di sana?" katanya sambil menunjuk dua orang berjaket dan kacamata hitam di seberang jalan. "Mereka adalah Paspampres yang menjaga saya," katanya.

Aku masih tidak percaya. Kuamati wajahnya. "Iya,..memang mirip Ani Yudhoyono," kataku dalam hati. "Memang aku Bu Ani," katanya seperti mampu menebak hatiku.

###

"Ini sotonya, dan ini es teh tawarnya," kata pemilik warung sambil menyodorkan soto daging dan es teh tawar. Pertemuan dengan Bu Ani Yudhoyono di depan Pasar Tanah Abang itu mengantarkan kami ke warung Soto Daging di belakang Plaza Indonesia. "Sudah, kita makan dulu, biar Paspampres yang menunggui tukang tambal ban, menambal roda belakang sepeda motormu," katanya.

Memang, tak lama setelah Bu Ani memperkenalkan diri, seorang pria berbadan kekar mendatangi kami, dan nawarkan diri membantuku menambal ban. Bu Ani, mengajakku naik taksi ke warung soto ini. "Kalau memang anda Ani Yudhoyono, tolong ceritakan sedikit soal sosok Anii Yudhoyono?" tanyaku menguji. Dia tersenyum. Kalau dia berbohong, aku pasti tahu. Belum lama ini, aku googling sosok Ani Yudhoyono di internet, dan menemukan banyak data tentangnya.

"Oke. Saya lahir di Jogjakarta pada 6 Juli 1952. Artinya, umur saya 57. Suami saya, Susilo Bambang Yudhoyono, presidenmu itu [Aku tersenyum], dan punya anak dua. si Agus Harimurti Yudhoyono dan Edhie Baskoro Yudhoyono, yang sering kamu olok-olok di internet [aku tersenyum lagi, kali ini senyum sinis]. Saya pernah kuliah di UKI [Universitas Kristen Indonesia], tai tidak selesai, dan melanjutkan di Universitas Universitas Merdeka samai tamat,..trusss,.." katanya.

"Sudah-sudah,.." aku menyela.

*bersambung bagian kedua, klik di sini.

13 December 2009

"Aku benci pagi hari ini, Jen,.."

Iman D. Nugroho

Belaian tanganmu mengejutkanku. Tak pernah kusangka, hembusan sejuk AC di kamar hotel ini membuat tanganmu sedingin itu. "It's time to wake up, my love?" katamu berbisik. Sial. Bagaimana aku bisa ketiduran! Wawancara pagi ini sangat penting untuk buku terakhirku. "Okay, thank you,.." Aku bangun cepat. Masuk ke kamar mandi. Kau hanya melihatku, tersenyum di balik selimut putih itu. "Don't forget to kiss me before you go," katamu.

Tak perlu aku jelaskan detil siapa Aku. Singkatnya, aku adalah seorang penulis buku. Tidak seberapa terkenal. Bukuku juga nggak pernah jadi Best Seller di toko buku. Yah, hanya beberapa kali resensinya naik di koran nasional. Itu pun karena aku meminta kawan-kawanku menulisnya untukku, dan mengirimnya ke media cetak nasional kelas dua. Orang memanggilku, Rei.

Setahun lalu, adalah awal dari kelahiran kedua bagiku. Ketika Jen menyorongkan tangannya untuk berkenalan. "I am Jennifer, you can call me Jen," katanya di depan fast food Bandara Sukarno Hatta. Kejadian itu bukan kejadian yang pantas diceritakan sebetulnya, apalagi dijadikan status facebook. Bagaimana bisa, ketika itu Jen menolongku dari keroyokan pengunjung bandara yang entah mengapa meneriakiku sebagai pencopet. Sial!

Saat itu, Jen yang ternyata sebelumnya satu pesawat denganku, melerai dan menyakinkan pada orang-orang yang marah itu atas kesalahpahaman mereka. "You are wrong! This guy is just arrived with me!" kata Jen setengah berteriak. Melihat orang bule yang bicara, orang-orang itu keder juga. Meski beberapa di antaranya masih melayangkan tinjunya padaku.

Sejak itu, kita pun akrab. Hanya teman biasa yang saling sapa di Facebook. Nothing special. Tidak seperti cerita romantis pada umumnya, Jen sama sekali tidak pernah membaca bukuku. Tapi, dia menghargai profesiku sebagai penulis. "Owesome!" katanya. "Well, even I am a book writer but your skin is whiter than me,.." kataku. Jen hanya melongo, nggak nyambung memang. Habisnya, aku bingung mau omong apa.

Ketidaknyambungan itu (ini bahasa apa sih!), yang justru membuat kami semakin dekat. Jen beberapa kali memintaku untuk mengajaknya bila aku ada rencana "belanja" bahan untuk buku baruku. Eits! Aku sempat curiga, jangan-jangan dia agen CIA atau FBI yang sengaja ditugaskan untuk membuntuti aku. Hmmmm,..Tapi untuk apa. Buku yang aku tulis pun, bukan buku berbahaya yang pantas di-intel-i. Buku terakhirku adalah resep masakan Indonesia. Apa pentingnya bagi CIA atau FBI?

Sudahlah, akhirnya aku mulai mengajakkan bekerja. Ikut wawancara, ikut jalan-jalan ke gunung, kemana saja. Jen mengaku senang. Seperti merasakan Indonesia sebenarnya, setelah tiga bulan dia ada di sini. Jen, memang bukan CIA atau FBI. Dia hanya guru bahasa Inggris di salah satu lembaga kursus bahasa Inggris di Jakarta. Teman-temannya, ya banyak orang bule. Kalau toh ada orang lokal (jadi ingat buah-buahan), itu nggak jauh-jauh dari relasi di tempat kursus, atau murid-muridnya. Aku adalah temannya yang paling aneh, baginya. "But I love you,.. I mean,..I love you as a friend," katanya.

Aku yang nggak seberapa paham bahasa Inggris, hanya mantuk-mantuk (mengangguk-angguk) saja. Sambil tersenyum. Satu hal yang aku tahu, ada kata "love" di dalamnya. Tapi aku nggak boleh GR dong. Siapa tahu "love" yang dimaksud ini, bukan cinta dalam arti romantis, tapi dalam arti lain. Misalnya: I love dog! Masa aku harus GR dengan kalimat itu! Tapi tetap saja, aku "waspada". Bagaimana tidak, nggak setiap hari bisa jalan-jalan sama perempuan berambut pirang, mancung dan cerdas banget! Sumpah!

"So, we will go to Malang of East Java for 2 days?" tanya Jen melalui SMS. "Yes, like usual, you will join with me, right?" balasku. Kringggg,...kringggg,... tiba-tiba HP-ku berbunyi. Jen menelepon. "Do you still want me to unswer it?" tanyanya. "Hahaha,..no! Okay, where is our meeting point?" jawabku dengan tanya. "I'll pick you up, bye Rei," Jen mengakhiri pembicaraan. Hmmm, Jen.

Rumit juga menjelaskan bagaimana aku dan Jen setelah hampir setahun ini bersama-sama. Memang tidak pernah ada kata cinta terucap. Tapi, apa yang kami lakukan, sepertinya melewati semuanya. Seperti ketika malam bebarapa bulan lalu itu. Entah bagaimana, Jen begitu mesra. Keringat yang menetes di sela-sela debu Jakarta, tak menghentikannya menciumiku. Dan setelah itu,... "Jen,.." desahku. Jen tidak membalas.

Detik terus berlalu. Sudah 5 sore, Jen belum juga datang. Pesawat kami harus berangkat jam 8 malam. Lima SMS-ku, tak terbalas.Teleponku pun tak diangkatnya. Email dan FB yang aku buka melalui handphone pun tak berisi pesan darinya. Dua tiket pesawat di tanganku, seperti terus memanggil. Mengingatkan betapa pentingnya perjalanan ke Malang kali ini. "Jen,.kau kemana?"

***

Aku terperanjat. Guyuran air dari shower membangunkan lamunanku. Kubuka pintu kamar mandi hotel dan melihat ke arah tempat tidur. Jen tidak ada di sana. Hanya laptop dan handphone yang menyala lampunya,..sebuah SMS masuk. "Rei. Bom meledak di JW Marriot dan Ritz Carlton. Segera ke Jakarta."

"God, please no..,"

08 December 2009

Selembar Bendera untuk Garuda

Senja Madinah

“Nda, semalam aku bermimpi,” Celoteh cempreng gadis kecil berambut sebahu itu meminta perhatian. Aku menoleh sekelebat. “Oh ya? Mimpi apa?” Tanyaku ikut bersemangat agar antusiasnya tak padam. Aku melihat wajah bulat bermata bening telaga itu sedikit berpikir. Menghentikan sejenak kegiatannya memasang kaus kaki berwarna putih ke kaki kirinya.

“Mimpi rumah panjang yang bunda ceritakan semalam,” Jawabnya menggantung. Aku tahu ini akan menjadi cerita yang sedikit panjang. Ah, anakku itu benar-benar merasukkan dongeng itu dalam benaknya. Aku menunggu. Ia melanjutkan kegiatan memasang sepatu.

Dongeng rumah betang. Tentu saja ini cerita istimewa. Berkisah tentang kehidupan suku Dayak di pedalaman Kalimantan. Ku ambil dan kuadaptasikan dari serumpun artikel dan film documenter yang pernah ku lihat. Film berjudul Long Life Though The Long House itu rencananya malah ingin ku perlihatkan padanya sepulang sekolah nanti.

“Aku bermimpi punya nenek yang suka bercerita. Bercerita sambil menggumam-gumam seperti yang bunda ceritakan itu. Aku mimpi dia bercerita langsung padaku. Di rumah betang itu,” Celotehnya tanpa mengurangi konsentrasi memasukkan kakinya pada lubang sepatu.

Dalam dongeng yang ku kisahkan semalam, aku bercerita tentang seorang nenek yang sedang dikelilingi gadis belia seusianya. Ditemani bapak dan ibu mereka masing-masing. Nenek berwajah tirus dimakan usia itu sedang bedudu (bertutur / cerita nasehat). Seluruh penghuni rumah panjang yang terdiri dari beberapa keluarga itu mendengarkan dengan hikmad. Ku katakan padanya, tradisi ini masih lestari digunakan orang-orang dayak yang tinggal di pedalaman Kalimantan Barat.

PESAN DALAM CERITA

Aku teringat, sempat memperlihatkan peta Kalimantan pada Salma, sebelum memulai cerita. Menunjuk salah satu kawasan bernama Sintang, tempat tradisi itu masih dilestarikan. Salah satu kawasan orang-orang Dayak itu tinggal dan istiadat masih disemai. Selain menunjuk beberapa tempat lain, seperti Ibu Kota Propinsi, Pontianak. Ini strategi pelajaran geografi yang selalu gagal ku nikmati dengan baik, saat di bangku sekolah dahulu.

“Bukannya nenek Salma juga suka mendongeng jika berkunjung ke sana?” Tanggapku seraya meletakkan sarapan pagi untuknya di sebuah meja kecil. Segelas susu panas yang baru saja diperah mengepul dari gelas keramik favoritnya. Gelas keramik buatan tangannya sendiri.

“Nggak Nda, dalam mimpi itu bukan Eyang yang cerita. Tapi orang lain. Nenek yang katanya bunda punya tiga kerut di wajahnya. Yang rambutnya putih seputih salju, digelung ke belakang. Yang kurus, yang suka makan rotan. Tumis rotan. Nenek yang katanya bunda suka bercerita tentang anak-anak yang suka belajar itu,” Suaranya meninggi, bersemangat. Aku mengulas senyum, mengangguk. Ku kira, aku juga sering bermimpi dongeng-dongeng yang sering diceritakan Ibu, dulu. Otak nakalku meloncat, mungkin ia bermimpi makan tumis rotan muda, atau mimpi makan kursi goyang di rumah Eyangnya yang terbuat dari rotan? Hahaha…

RUMAH PANJANG ITU,..

“Nun, jauh masuk ke dalam hutan. Di sebuah daerah bernama Sintang. Berdirilah sebuah rumah yang sangat panjang. Rumah itu ditinggali sekitar 27 keluarga. Jika satu keluarga terdiri dari 4 orang, maka berapakah jumlah seluruh orang yang ada di rumah itu?” Tanyaku memulai cerita, sambil mengusap-usap kepalanya.

Ah, ia tak kehilangan kecerdasannya meski dilanda kantuk, “Seratus delapan,” Jawabnya. Aku mengecup keningnya, seraya membisikan pujian tak berlebihan untuknya.

“Di rumah bernama Rumah Ensaid Panjang itu, seorang perempuan yang mempunyai rambut serba putih keperakan, di kelilingi oleh anak-anak kecil sepertimu. Perempuan itu memiliki tiga kerut di dahinya. Beberapa kerut lagi di dekat matanya, juga mulutnya. Usianya sekira 65 tahun. Tapi, perempuan itu masih lugas untuk berkisah. Berkisah tentang sebuah hikayat, diantara ratusan dongeng yang sering diceritakan di rumah betang,” Aku melanjutkan. Ia mendengarkan dengan khuyu’.

“Nenek-nenek?” Tanyanya polos. Aku mengangguk. “Tapi, Eyang rambutnya kok nggak putih semua, Nda? Masih legam, bagus banget. Meskipun, Salma pernah nemu ada yang warna putih? Tapi nggak banyak,” Ini distorsi yang akan memperlama proses bercerita. Tapi aku menyukai sela ini. Karena ku kira, ini menunjukkan kecakapannya mengenali sesuatu dan jeli pada sekitarnya.

Serta merta aku akan menjelaskan beberapa hal, mulai dari faktor usia, penjelasan sedikit ilmiah tentang genetika, yang dibuat seringan mungkin atau juga proses kimia yang mungkin dilakukan oleh orang-orang yang seharusnya telah berambut putih. Ia akan kembali ke topik awal, jika merasa penjelasanku cukup memuaskannya.

“Diterangi sebuah pelita, Berkisahlah nenek itu;

“Lagu ini akan terdengar di begitu banyak pintu.
Di rumah betang Ensaid panjang.
Di halaman depan dan jalan yang panjang.
Saya kasihan dengan kalian semua.
Tapi tak ada yang bisa saya katakan,
hanya melalui bedudu (cerita nasehat) ini saya berbisik,”

Aku memutar instrument Sampe’ Dayak Klasik. Instrument yang didominasi oleh alat musik petik bernama Sampe’ dengan dawai berjumlah tiga atau empat. Sesekali terdengar Kadire turut memberikan daya magis pada instrument yang diperdengarkan. Ku antarkan dia berimajinasi agar memiliki gambaran yang lebih mendalam pada kisah yang ku ceritakan. Sound system yang hanya berada di pojok-pojok kamar dengan volume yang tak terlalu keras membuatnya semakin menikmati cerita. Sejurus kemudian, Ayah Salma ikut bergabung. Turut memeluknya dari arah kanan.

SEPATU SALMA

“Terus?” Tanyaku tak ingin menyurutkan semangatnya bercerita.

“Terus, dalam mimpi itu tiba-tiba Salma mau diantar sekolah sama Ayah. Tapi Salma menolak. Karena kawan-kawan Salma nggak ada yang diantar orang tuanya,” ia melanjutkan. Kali ini ia beringsut ke meja kecil tempat sarapan paginya.

“Waktu jalan bareng teman-teman, Salma justru malu pakai sepatu. Karena semua teman Salma bertelanjang kaki.” Ceritanya terdistorsi beberapa suap nasi yang meluncur tergesa ke mulutnya.

“Nah, akhirnya, sepatu yang Salma pakai, ku lembar ke angkasa,” Intonasinya meninggi. Ia menghentikan kegiatannya mengunyah omlet dengan potongan sayur dan tomat, demi melanjutkan cerita ini.

“Ternyata, Sepatu itu terlempar ke burung yang sedang terbang. Burungnya persis dengan burung yang dipajang di kelas, di sekolah. Itu lho Nda, burung yang dipajang di atas papan tulis, ada di tengah, sedikit lebih tinggi diantara gambar presiden sama wakil presiden,” Jelasnya bersemangat, sekaligus bingung.

Aku tertegun. Burung Garuda?

“Salmaaaaa, nanti terlambat,” Terdengar teriakan dari arah depan kamar.

“Sebentar yaaaahhh,” Salma ikut berteriak. Segera menandaskan susunya, menyambar tas sekolah dan berlari ke arah depan. Menuruni tangga dengan tergesa. Aku mengikutinya dari belakang sampai di ambang pintu, sebelum akhirnya ia kembali menghampiriku. Mencium pipiku.

“Tolong beri satu ciuman lagi di bibir bunda, Salma. Hadiah dari Ayah,” Lelaki itu mengerling, sambil mengaitkan kaca mata hitam ke sela bajunya. Aku tersenyum menerima ciuman bertubi-tubi dari Salma.

NASEHAT SEDERHANA

“Belajarlah, janganlah kita menjadi orang bodoh.
Jelilah dalam melihat sesuatu.
Pikirkan segala sesuatu dengan masak-masak.
Di tengah rumah aku bercerita, semoga tak sia-sia,”

“Dalam kisah yang diceritakan dengan suara sengau mendengung-dengung itu, sang nenek memberikan nasehat jika anak-anak dayak itu harus terus belajar. Karena jika mereka tidak belajar akan jadi orang bodoh. Anak-anak itu, diminta untuk selalu jeli melihat sesuatu, agar tidak mudah tertipu, selalu berpikir dalam bertindak,” Kisah ini dilanjutkan lelakiku yang kini mengikuti alur cerita. Ku lihat Salma semakin girang ditemani dua pendongeng hebat di sebelak kanan-kirinya.

“Yah, suara sengau itu seperti apa?” Demi mendengar pertanyaan ini, lelaki itu menatapku, bingung. Aku tertawa, sebelum akhirnya kami berusaha mempraktekannya, dengan beberapa catatan, tak boleh menggunakannya untuk melecehkan orang lain atau suaranya tidak benar-benar sengau.

“Kisah ini didengarkan oleh seluruh anggota keluarga yang tinggal di rumah betang itu, selepas anak-anak belajar atau mengerjakan PR dan makan malam. Beberapa orang sambil mengayun-ayunkan adik-adik bayi pada sebuah ayunan yang dibuat dengan sederhana di teras rumah betang itu. Beberapa yang lain sambil membuat kain tenun ikat tradisional,” Ia melanjutkan. Merapatkan selimut yang mulai longgar di badan Salma. Satu tangannya menelusup ke tengkukku.

“Jadi, anak-anak Dayak itu rajin sekolah. Meskipun mereka tak punya sepatu untuk sekolah. Meskipun mereka tak punya seragam merah-putih untuk belajar. Keterbatasan itu sama sekali tak menghalangi semangat mereka untuk berangkat ke sekolah,” Ku lihat matanya sedikit membesar, takjub. “Padahal, jarak rumah mereka dengan sekolah lebih dari 10 kilometer dari sekolah terdekat. Harus lewat sawah yang becek, jalan berbatu dan tak sedikit yang harus menyeberang sungai,” Imbuh sang Ayah.

“Karena hikayat yang diceritakan sang nenek itu, benar-benar mereka camkan dalam benak mereka,” keningnya berkerut mendengar kalimat terakhir dari ayahnya.

“Nggak capek jalan sepanjang itu? Nggak laper? Sepuluh kilo kan ada 10.000 meter? Kalau sekali langkah anak-anak itu sekitar setengah meter, berarti mereka harus berjalan 20.000 langkah setiap harinya. Kalau pulang pergi, jadi 40.000 langkah.” Tanyanya menggebu, penuh ingin tahu. Aku senang dengan permainan matematikanya.

“Ya Capek. Tapi mereka suka bawa bekal nasi dan lauk seadanya. Mereka tak sempat makan di rumah karena khawatir terlambat di sekolah,” Lelakiku itu menjawab dengan gemas. Mencium pipi Salma berkali-kali. Agaknya Salma sedikit terganggu, meskipun ia tidak menolak ciuman itu. Ku kira, rasa terganggu itu karena ia lebih ingin mendengar keterangan komplit dari dongeng yang baru saja diceritakan.

“Terus?” Tanyanya tak sabar.

“Nggak mau dilanjutin, beri Ayah ciuman dulu,” Ayah Salma pura-pura merajuk. Menggoda Salma yang dililit rasa penasaran. Serta merta ia bangkit dari posisi celentang. Meraih leher Ayahnya dan meluncurkan ciuman bertubi-tubi. Aku tertawa sambil membesarkan bola mata. Mengarah ke bola mata suamiku. Sedikit meresa jengkel. Usahaku untuk membuat Salma tertidur bubar berantakan akibat ulah jahilnya. Dia hanya tertawa sambil mencuri-curi mencium pipiku, tanpa malu di depan Salma.

“Terus, Yah?” Tanya Salma enggan kembali ke posisi tidur. Duduk bersila di hadapan kami berdua. Ia meraih tangan Salma. Memberi gerakan reflek yang membuat tubuh Salma kembali tumbang di antara kami.

“Nah, anak-anak cerdas itu, memakan bekalnya, di separoh perjalanan. Di sebuah jembatan kecil. Membuka kantong anyaman pandan tempat penyimpan nasi dan lauk seadanya. Mereka makan bersama. Tak ada yang saling iri, karena nasi dan lauk yang mereka bawa, nyaris sama. Ikan bakar, seperti patin dan baung, hasil pancingan mereka sendiri. Terkadang mereka melahap ayam dan babi yang mereka pelihara sendiri. Mereka lebih sering berlauk sayuran yang juga ditanam sendiri. Bahkan, nasi yang mereka makan pun hasil sawah sendiri,” Jawaban terakhir ini membuat kening Salma berkerut.

“Enak dong Yah, mereka makannya sama ikan bakar, ayam, babi,… Kita makan tempe sama tahu,” Tukasnya, kritis.

KECOMBRANG

“Eh, tapi kan semuanya dipelihara atau didapat dengan keringatnya sendiri. Ayam dan babi pun disembelih kalau ada ritual persembahan sebelum atau setelah panen. Mereka jarang menggunakan uang. Lebih sering malah makan sayuran. Nah, sayur favorit mereka adalah pojak pusung jaung atau tumis bunga kecombrang dan pojak iyur gai kotok atau tumis rotan muda,” Salma manggut-manggut.

“Kecombrang?” Salma mengulangi pernyataan ayahnya.

“Iya, kecombrang kalau di istilah bahasa Indonesia. Sebetulnya berasal dari bahasa jawa. Kalau istilah orang Sunda disebut honje. Nah, di Sumatera Utara disebut Bunga kencong atau kincug, kalau di Bali disebut bongkot. Dalam bahasa Inggris disebut torch ginger. Tapi intinya, tanaman itu mirip jahe, tetapi bunganya lebih bagus, warnanya merah muda. Sementara buahnya mirip nenas sehingga sering dipakai sebagai asam. Kadang, nenek Salma sering memakai buah kecombrang kalau sedang masak sayur asem,” Jelas sang Ayah.

“Nah, kalau dalam ilmu pengetahuan biologi, Bunga Kecombrang ini, termasuk kelas Liliopsida, memiliki ordo Zingiberales, familinya Zingiberaceae, bergenus Nicolaia, dan spesiesnya Nicolaia Speciosa Horan,” Lanjutku.

“Tumis rotan?” Pertanyaan itu telah diucapkannya dengan mata terpejam dan bergumam. Sejurus kemudian, ia telah pergi ke alam mimpi.
***
Aku melihat layar selularku, seusai siaran pagi; Solusi cerdas bagi perempuan cergas! Ada sebuah pesan masuk, saat aku beranjak dari kursi dan keluar dari studio. Tak sengaja membentur tangan kanan Damian, penyiar berikutnya. Penyiar berusia 23 tahun yang membawakan acara jazzy jazz itu membuatku betah di kantor satu jam lebih lama. Selain karena aliran musik yang dibawakan, aku juga menyukai informasi yang disisipkannya dalam setiap siaran, tentang lagu-lagu jazz.

Ah, meskipun aku mengaku penyuka jazz tapi aku tak pernah tahu jika awalnya musik jazz lahir dengan dasar Blues. Kemudian pada sekitar tahun 1987 mulai dikenal bentuk Rag Time, yang pada waktu itu berupa permainan piano di bar-bar. Blues dan Rag Time berkembang menjadi Boogie - Woogie. Bentuk-bentuk tersebut selain merambah pada jalurnya sendiri, juga berkembang menelusuri perjalanan musik jazz. Aku tak pernah tahu tentang itu, sampai mendengar informasi yang disampaikannya. Yang aku tahu, musik jazz hanyalah berasal dari Amerika Serikat sekitar tahun1868.

Yang ku tahu hanyalah beberapa musikus atau penyanyi yang terkenal di dunia jazz, seperti Syahrani yang memiliki kualitas vocal yang ok, Tompi seorang dokter muda dengan improvisasi yang full, Glenn Fredly, Maliq & D’Essentials, Bunglon, January Christy, Dian Pramana Putra, Ermi Kulit, Mus Mujiono, Fariz RM, Gilang Rahamdhan, Indra Lesmada dan ayahnya almarhum. Atau juga beberapa penyanyi jazz barat seperti Norah Jones, Nat King Cole, Al Jareau, Diana Krall, Michael Frank, Boby Caldwell dan juga Manhattan transfer, atau Lee Ritenour. Sementara bagaimana mereka ada, berkenalan dengan musik jazz dan memberi jejak di dunianya, aku tak pernah tahu. Sampai mendengar ceramah ringan dari Damian.

Aku membaca pesan: Tadi Salma minta aku tidak lagi mengantarnya ke sekolah.

Segera ku pencet tombol OK untuk menjawab SMS itu melalui telephon.

“Sayang? Sudah selesai siaran? Atau masih mendengar penyiar pujaanmu itu mengulas tentang jazz?” Sapa suara di seberang. Sepertinya dia sedang berada di rumah. Suara riuh lima ribu ekor ayam menjadi backsound suaranya. Aku mengangguk, lupa jika kami terpisah oleh ruang. Sekaligus tergelak menyadari tambahan kalimat terakhirnya. Sedikit tersanjung. GRku, dia sedang bermain-main dengan jawaban berbahayaku. Untuk menyakiti dirinya sendiri; Jealous. Haha,…

“Tidakkah dia menceritakan tentang mimpinya padamu?” Tanyaku setelah memperbaiki jawabanku atas pertanyaan yang hanya ku jawab dengan anggukan tadi. Ia berkata seperti menggumam. Sedikit tak terdengar karena kokok ribuan ayam itu lebih ribut daripada suara tenornya. Ku raba, ia bertanya tentang isi mimpi Salma.

Ku ceritakan mimpi unik Salma. Tentang rumah betang dan lemparan sepatu mengenai burung garuda. Terdengar suara oh, saat aku mengakhiri ceritanya. Dalam pembicaraan itu, aku baru mendengar informasi jika siang kemarin, saat aku menggantikan siaran siang kawanku, mereka, Salma dan Ayahnya, menyaksikan film documenter: Indonesiaku di Tepi Batas (My Indonesia at The Edge of Border).

BATAS NEGARA

Berjalan tertatih. Sendiri, menyusuri hutan. Dengan sebatang tongkat sebagai penyangga badan yang telah bergeser tiga puluh derajad ke arah depan. Kulitnya yang telah layu dibiarkan dikibas lambaian angin dari tanaman keras yang masih tersisa. Kulit itu membungkus sekerat daging yang masih menempel pada tulang. Matanya yang tidak lagi awas sesekali menyandung kerikil atau juga akar pohon yang menonjol ke permukaan tanah. Ia berhenti. Sesekali istirahat melepas lelah dengan menyandarkan tubuhnya pada sebuah pohon besar. Sebelum akhirnya melanjutkan perjalanan. Menerobos perbatasan.

Perbatasan itu hanya ditandai sebuah patok. Sungguh aneh, pikirnya. Karena perbatasan ini bukanlah sekedar batas desa atau kecamatan. Tapi ini batas antara dua Negara. Ia hanya menggeleng. Sambil membayangkan bagaimana wajah Negara saat mebahas tentang Ambalat atau Sipadan dan Ligitan diakui Negara lain.

Tapi ia merasa beruntung, karena batas itu tak disertai kawat berduri atau penjaga perbatasan. Kalau tidak, maka ia merasa akan lebih menderita lagi. Betapa tidak, usianya yang telah renta tak menggerakkan hati para dokter atau penjaga kesehatan di puskesmas desanya tergerak untuk sekedar mengobatinya. Sehingga ia terpaksa berjalan lebih dari 8 jam untuk menerobos perbatasan dan memohon pengobatan gratis di sana. Ah, ia hanya berpikir, ingin mati dengan cara yang lebih baik, jika Tuhan memang memanggilnya. Tidak dalam kondisi mengerang saat meregang nyawa.

“Saya harus berjalan sekitar 8 jam untuk berobat ke Negara tetangga. Sebab puskesmas yang ada di desa kami sering tutup karena dokter yang tidak datang,” Mata tua itu tak kehilangan semangat untuk hidup. Setidaknya itu terpancar dari usahanya pergi berobat meski harus menempuh jarak berpuluh kilo meter.

Mata bening itu tak berkedip. Melihat setiap adegan yang terekam dalam film documenter karya seorang sineas spesialis film documenter, Deny Sofyan, sahabatku. Sesekali berkomat-kamit seperti merapal mantra. Atau menghafal kata? Ia hanya bergerak dari posisi tiduran di pangkuanku ke posisi duduk. Meski kepalanya tetap menyandar di dadaku. Sesekali ku hapus keringat yang menetes dari keningnya. Kemarau kali ini terasa lebih panjang. Entahlah, mungkin karena badai elnino yang banyak dibicarakan pakar itu. Atau juga karena manusia telah melupakan jantung mereka hingga terus membalak secara liar.

“Sebagaian besar masyarakat yang tinggal di perbatasan belum sepenuhnya mengetahui bahwa mereka bagian dari wilayah Indonesia. Baru kemarin, di bulan Agustus, saat dikibarkan bendera merah putih, mereka baru sadar jika merekapun Indonesia. Tapi, saya kira kalau sekedar bendera tidak bisa mensejahterakan masyarakat,” Ujar seorang Perangkat Desa di Sintang.

Gadisku itu, tampak sangat meresapi cerita. Matanya semakin berbinar saat melihat gumpalan awan yang bergerak begitu dramatis di langit Borneo bagian barat. Mata itu juga berkaca-kaca saat melihat anak-anak sekolah seusianya bertelanjang kaki dan hanya sebagian kecil yang mengenakan seragam. Mimiknya juga berubah miris manakala melihat sang saka merah putih yang telah pudar warnanya dan tercabik tinggal separoh, berkibar ditiup angin, pada sebatang bamboo yang dipancang di atas pohon.

“Yah, orang-orang diperbatasan masih menyedihkan begitu. Tapi kenapa pak polisi sama om-om di KPK meributkan soal siapa cicak, siapa buaya? Memangnya Cicak sama Buaya musuhan ya, Yah? Padahal, dalam sejarah rantai makanan kan, mereka tidak tergabung dalam satu lingkaran? Buaya bukan predatornya cicak kan Yah? Terus kenapa semua orang jadi pada ribut saling membela atau mencerca Cicak atau Buaya?” Tanyanya dengan mimic inosens. Saat itu, aku kehilangan kata untuk menjelaskan pertanyaan kritisnya

PUISI BENDERA

Siang yang pekat. Panasnya menyengat hingga menembus pori-pori. Aku memasuki pelataran halaman sekolah Salma dengan penuh tanda tanya. Sebuah surat memanggil kami untuk segera menemui guru Salma. Saat kami masuk ke ruang guru, seorang guru setengah baya menunggu.

“Saya mengundang bapak dan ibu untuk menunjukkan PR menulis puisi yang ditulis Salma,” Suara lembut keibuan itu keluar dari bibir tipis sang guru. Mengawali pembicaraan serius, setelah beberapa saat berbasa-basi. Keningku berkerut. PR? Aku menoleh. Suamiku juga sama tidak mengertinya.

Selembar Bendera untuk Garuda

Karya: Salma Andalucia

Bunda, apakah kita sudah cukup merasa Indonesia
Hanya dengan selembar bendera?
Sementara kawan-kawanku di perbatasan bertelanjang dada
Hanya untuk belajar Bahasa.

Ayah, apakah kita sudah cukup merasa Indonesia
Hanya dengan seekor burung Garuda?
Sementara seorang bapak tua hampir melata
Hanya untuk merasa sentosa.

Tapi, pak polisi dan om KPK itu,
Masih Ribut urusan Cicak dan Buaya
Yang sebetulnya tak pernah bertemu
Dalam satu lingkaran rantai makanan


Ah, aku tak mengerti dengan pikiran orang dewasa,
Yang mengaku cinta Negara tapi tak pernah berpikir tentang manusia.

Aku tertegun. Membaca larik-larik sajak yang ditulis jagoan kecilku itu. Tak bisa ku gambarkan perasaanku kini. Antara bangga, miris, sekaligus merasa tertampar. Ku lirik, Ayah Salma pun terpekur. Sebelum berkomentar pada sang guru.

“Saya kira, anda adalah seorang guru. Dan anda lebih tahu apa yang harus dilakukan,” Ujar ayah Salma yang diikuti dengan longo sang guru bahasa Indonesia.
***

09 November 2009

[ Cerita Pendek ] Jatuh

Iman D. Nugroho

Sore itu, Anisa tak banyak bicara. Ia memilih terus memandangi angkasa, sambil sesekali bergoyang mengikuti irama angin yang meniupnya. Tanganku yang terus digenggamnya, seperti enggan untuk dilepaskan. "Setelah sekian lama, baru kali ini kita bisa berdekatan begitu lama," kataku dalam hati. Jelas, Anisa tidak bisa mendengarnya.


Aku sendiri lebih suka melihat ke bawah. Meski tampak kecil, kehidupan yang tampak di mataku lebih menarik ketimbang angkasa yang luas membentang. Tak jarang aku menjadi saksi hiruk pikuk manusia yang entah mengapa, begitu percaya diri pada kehidupannya. "Anisa, coba kau lihat itu,..kehidupan mereka begitu berwarna," kataku dalam hati. Lagi-lagi, Anisa jelas tidak mendengarnya.

Aku dan Anisa adalah teman lama. Pertemuan pertamaku dengan dia terjadi di Hutan Aceh. Tak jauh dari Daerah Ladong, Aceh Besar. Aku yang sudah menunggu lama di bawah pohon akasia itu, dikejutkan oleh kedatangan Anisa. Dia tampak bening di mataku. Sangat jarang bicara, tapi tidak pernah berhenti bergerak. Saat hujan datang dan menjadi banjir, Anisa memilih ikut kemana arus membawa. Aku selalu ada di belakangnya. "Tak bisakah kau mendengar jeritan hatiku, Nisa,.."

Pernah suatu kali, nasib membawa kamu ke Kota Banda Aceh. Sungai besar yang melintas di provinsi paling barat di Indonesia itu, mengantar kami ke sebuah rumah reyot. Aku dan Anisa menjadi saksi, ketika pemilih rumah itu menangis karena seluruh perabotannya terendam air. "Rusak semua! Rusak semua!," kata perempuan itu sambil mengangkat radio dan televisi butut miliknya. Aku dan Anisa hanya terdiam.

Wusssssss,...angin kencang menghentikan lamunanku. Anisa tampak memejamkan mata. Aku pun begitu. Genggaman tangan Anisa begitu keras. Seperti tak mau melepaskanku. Diam-diam, aku melirik ke arahnya. Dalam takut, aku melihat wajahnya bekilau. Goyangan angin membuatnya memicing. Tak kusangka, Anisa membuka matanya. Melihat ke arahku,..dia tersenyum. Aku tersentak. Angin kembali bertiup kencang.

"Akuuuu selaluuu bisaaa mendengarrr kataaaa hatimuuuu,....!!"

Anisa berteriak. Suaranya terdengar di sela-sela hembusan angin. Aku tertegun. Hatiku tertampar.

"Apaaaaa??"

Aku mencoba memastikan, kali ini aku tidak bermimpi. Anisa tersenyum. Dia tahu pasti, aku bisa mendengar kata-katanya. Dia tidak berkata-kata. Hanya tersenyum. Aku membalas senyumnya. Tangan kami berpegangan semakin erat.

"Jangan pernah pergi dariku, Nisa," kataku dalam hati.

Sial. Anisa pasti bisa mendengarnya. Meski angin bertiup semakin kencang. Benar saja. Anisa kembali tersenyum. Memandangku. Aku melihat matanya berkaca-kaca. Lalu, airmata itu pun tumpah. Tapi segera hilang tersapu angin yang sangat kencang,...wussss,.

"Kalau Dia mengijinkan, kita akan bertemu lagi. Biar nasib yang menjawabnyaaaa..!!!"

Kalimat itu bersamaan dengan gelegar petir yang menggetarkan sekeliling kami. Kilatnya menerangi langit, memperjelas mata Anisa yang memerah. Angin semakin kencang. Aku berusaha mencengkeram tangan Anisa. Angin semakin kuat,...Anisa pun terjatuh,..

"Tidaaaakkkkkk,...."

Anisa meluncur ke bawah. Menembus langit, menembus angin. Menembus petir dan kilat yang menyambar. Anisa terjatuh! Aku memilih untuk mengejarnya. Meluncur ke bawah dengan kencang. Kemana Anisa? Angin membawanya entah kemana. Aku terus meluncur.

"Anisaaaaa,..."

"Anisaaaaa,..."

Aku terus berteriak.

Aku meluncur. Menyibak langit. Menerjang apapun yang di depanku. Sekilas kulihat langit-langit hotel semakin dekat. Aku berharap tidak terjatuh di atasnya. Angin memihakku. Menghempaskanku ke arah kanan. Aku tidak peduli. Di benaknya hanya ada Anisa. Sampai semuah benda datar menghempas tubuhku.

Aku mendarat di atas jalanan. Di sana Anisa sudah menunggu sambil tersenyum,..

"Meski hanya setetes air hujan, aku sangat mencintaimu, Anisa,.."