***
Tidur di Mapolsek Cikalong Kulon, Cianjur, adalah obat mujarab setelah seharian dihajar panas, hujan, plus tanjakan “setan” tanpa turunan sepanjang 5 KM di perbatasan Bogor-Cianjur. Jam dinding menunjukkan pukul 06.00 WIB saat saya terbangun, Sabtu (8/1/22). Kursi jaga dari kayu di Mapolsek itu laksana kasur rancangan Stuart Hughes, yang harganya milyaran rupiah.
“Jam enam! Duh kesiangan!,”
Saya bergegas menyiapkan diri, untuk melanjutkan perjalanan ke Bandung. Setidaknya, kurang lebih terbentang 70 km lagi jarak yang harus digowes menuju Kota Kembang. Kondisi tubuh cukup vit untuk segera mengayuh. Usai pamitan pada petugas jaga Mapolsek, saya cus menuju Bandung.
Pagi di perbukitan, luar biasa segarnya. Udara di sela-sela dedaunan yang masih berembun, membangkitkan mood menggowes. Apalagi, jalan ke arah perbatasan Cianjur-Bandung Barat banyak turunan. Truk, mobil dan motor juga belum terlalu sering melintas. Sebuah start yang asyik.
Semua keasyikan berakhir saat melintas di Jl Raya Cianjur Bandung. Di jalan provinsi ini, truk, bus antar kota, mobil pribadi, seolah tak ada henti-hentinya melintas. Yang menghibur adalah gerombolan pesepeda lain, yang pagi itu gowes dari arah Bandung ke Cianjur. Kita saling menyapa dengan anggukan kepala, atau dentingan bel. “Ting-ting!”
Sampai kemudian melintas di lokasi wisata kuliner cincau hijau, tak jauh dari Jembatan Rajamandala, batas wilayah Cianjur dan Bandung barat. Saya sempatkan berhenti sejenak di salah satu lapak. Es cincaunya enak, penjualnya baik.
Penjual es cincau |
Ada energi baru mengalir ketika melihat tanda bertuliskan “Bandung Barat”. Kota Bandung seolah sudah di depan mata. Sudah terbayang kongkow di Braga, Dago, Cihampelas, Cibaduyut, dan berbagai tempat lainnya. Namun semua bayangan itu perlahan menghilang ketika tanjakan menuju Padalarang mulai menyapa. Turun, naik, turun, naiiikkkk,.. belok kanan, belok kiri, gitu terus seolah tak ada habisnya.
Belum lagi mobil dan truk pembawa batu yang melintas juga memenuhi jalan. Tak sedikit truk tua yang berjalan pelan di tanjakan. Dengan asap knalpot yang menghitam. Sesekali, saya berhenti di pinggir jalan untuk membiarkan “raksasa” itu melintas. Hingga kota Padalarang tampak di depan mata, lalu Cimahi dan akhirnya: Kota Bandung! Yeay!
Saya tidak akan bercerita banyak soal kota ini. Semua keren! Saya tenggelam dalam kehangatan pertemuan dengan kawan-kawan. Catur Ratna, jurnalis perempuan sang “Digitalmamaid”, Zaky Yamani penulis buku dan keluarga, Adi Marsiela sang jurnalis gondrong, Fauzan aktivis, Palupi Tobucil dan Prajnamu jagoan data. Komplet!
Minitouring Tangerang Selatan-Jakarta-Bandung, berakhir seperti yang sudah terbayangkan: saya tertidur pulas dipeluk dingin malam Kota Bandung. (*)
Saya dan Catur Ratna |
No comments:
Post a Comment