Dengan cekatan, kedua tangannya mengangkat kepala boneka yang dikenakan. Membawanya menuruni tangga, menuju kursi warung. Kebetulan, saya ada di warung itu.
"Hoi," saya menyapa.
"Hai om," balasnya.
Perjumpaan tak sengaja di warung pinggir jalan ini mengawali obrolan singkat kami. Bocil, sebut saja begitu, adalah pengamen boneka. Area di kawasan ujung flyover yang selalu macet ini adalah lokasi "kerjanya".
"Istirahat ya?"
"Iya. Nanti lagi,"
Bocil mengusap rambutnya yang lepek terkena keringat. Berjam-jam di dalam kepala boneka dan berdiri di sela-sela mobil yang macet sambil berjoget, menguras tenaga. Tak terhitung lagi berapa kali ia mengulurkan kaleng uang di setiap mobil, untuk meminta uang.
"Sampai jam berapa?"
"Gak tentu, biasanya sampai gak macet lagi. Waktunya pulang,"
Bocil tidak sendirian. Sekitar 100 meter dari tempatnya mengamen, ada pengamen boneka lain. Kakaknya. Berbeda dengan Bocil, topeng milik kakaknya lebih kecil, bertema tokoh kartun di televisi.
Setiap hari, usai sekolah, keduanya berangkat dari rumahnya di Kabupaten Bogor, Jawa Barat, untuk mengamen di wilayah Tangerang Selatan. Keluarga Bocil punya tiga topeng boneka sebagai properti mengamen.
"Punya sendiri, gak sewa lagi, alhamdulillah."
Bila menyewa, harganya lumayan. Hingga puluhan ribu rupiah perharinya. Belum lagi dipotong setoran yang juga bernilai hampir sama. Dalam sehari, rata-rata Bocil mendapatkan Rp300 ribu/hari, untuk mengamen sepanjang siang hingga malam hari, selepas adzan Isya.
Es teh manis tinggal separuh itu diminum, sebelum menghitung uang di kaleng. Kebanyakan, uang 2 ribuan, dan beberapa koin. Sekaleng lem kayu berukuran kecil di keluarkan dari balik saku baju.
"Mau nge-lem?" tanyaku.
"Gak om, ini ada bagian boneka yang copot," katanya sambil mengusap lem ke tempat yang dimaksud.
Bocil masih beristirahat, ketika saya melanjutkan perjalanan.
No comments:
Post a Comment