Aliansi untuk Pendidikan dan Keselamatan Anak mengirimkam somasi terbuka kepada Presiden RI Joko Widodo. Somasi ini terkait dengan dimulainya penyelenggaraan pembelajaran tatap muka (PTM) yang melanggar sejumlah aturan perundangan.
Aliansi yang berisi delapan lembaga ini juga mengirimkan somasi terbuka ini kepada Menteri Kesehatan, Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi, Menteri Dalam Negeri, dan Menteri Agama. Somasi terbuka dilayangkan pada Jumat (3/9/2021).
Delapan lembaga yang tergabung dalam aliansi ialah Arek Lintang (ALIT) Indonesia, AMAR Law Firm & Public Interest Law Office (AMAR), Forum Aksi Guru Indonesia (FAGI), Forum Orang Tua Siswa (Fortusis), Hakasasi, Laporcovid19, Lokataru, dan Surabaya Children Crisis Center (SCCC). Melalui somasi ini, koalisi memina pemerintah meninjau kembali kebijakan PTM dalam waktu 14 hari.
Somasi ini dibuat karena kebijakan dimulainya PTM yang melibatkan peserta didik, para pendidik dan para tenaga pendidikan di beberapa wilayah dilakukan berdasarkan ijin dari lembaga kementerian terkait tanpa mempertimbangkan fakta di lapangan yang menunjukkan masih rendahnya angka vaksinasi anak. Bahkan kebijakan ini tidak mengatur persyaratan terkait kewajiban vaksinasi bagi para peserta didik untuk mengikuti PTM. Syarat dilakukannya PTM hanya adanya persetujuan dari orang tua peserta didik.
Alghiffari Aqsa dari AMAR Law Firm & Public Interest Law Office (AMAR) menyatakan, prinsip yang penting dalam pemenuhan hak anak adalah memastikan kepentingan terbaik untuk anak. Dalam kondisi pandemi, kesehatan anak lebih utama dibandingkan dengan pembelajaran tatap muka. "Pemerintah harus pastikan pembelajaran jarak jauh tetap berkualitas sepanjang pandemi dan tingkat positif Covid-19 masih tinggi," katanya.
Yemiko Happy mewakili LaporCovid19 menyatakan, meski diberlakukan di wilayah yang menerapkan Pembatasan Pergerakan Kegiatan Masyarakat (PPMM) level 1 sampai 3, pembelajaran tatap muka berpotensi menimbulkan persoalan karena dilaksanakan di tengah kondisi penularan Covid-19 yang belum terkendali dan capaian vaksinasi yang relatif masih rendah.
Alih-alih melakukan inovasi terhadap dilematika pendidikan jarak jauh, Kemendikbudristek menganggap pembelajaran tatap muka sebagai solusi akhir persoalan pendidikan di Indonesia. Keadaan ini kemudian semakin diperparah dengan pesan kebijakan yang tidak jelas, koordinasi dan sinergi antar aktor kebijakan yang lemah, serta infrastruktur pendidikan yang lemah dalam menghadapi bencana.
LaporCovid19 berpendapat, pada tataran regulasi, pemerintah harus menyiapkan roadmap pendidikan yang mampu beradaptasi pada situasi kebencananaan. Pendidikan harus menjadi prioritas, sebagaimana pemerintah memrioritaskan sektor lain dalam penanganan pandemi. Sekolah bisa dibuka jika positivity rate mencapai dibawah 5%. "Membangun kesadaran warga sekolah dan orang tua siswa bahwa sekolah tatap muka tidak melulu tentang pendidikan daring," katanya.
Direktur Eksekutif Surabaya Children Crisis Center (SCCC) Edward Dewaruci mengatakan, pemerintah tidak konsisten dengan kebijakan yang dibuatnya. Terkait anak sekolah, sebaiknya menunggu semua wilayah sudah zona hijau dan PPKM level 0 bukan seperti sekarang. "Terasa sekali keputusan ini sangat tergesa gesa diambil. Kenapa susah sekali mengikuti anjuran ahli kesehatan. Buat anak kok coba-coba. Menyesal pasti datangnya belakangan," ucapnya.
Senada dengan Edward, Direktur Eksekutif Yayasan Arek Lintang Indonesia Yuliati Umrah juga menilai pemerintah nekat mengambil kebijakan ini. PTM seharusnya mempetimbangkan semua risiko, terutama bagi anak-anak. "Apalagi usia di bawah 12 tahun belum ada yang divaksin. Usia 13-15 tahun saja masih banyak yang belum vaksinasi. Ini termasuk tindakan yg nekat," katanya.
Menurut Yuli, anak-anak punya kerentanan yang tinggi karena mereka punya beban ganda. Pertama untuk ketahanan tubuh, kedua untuk pertumbuhan tubuhnya. Kerentanan itu setiap saat mengikuti masa pertumbuhan ( growing paint).
"Mestinya orang dewasa sudah pertimbangkan hal ini. Bila memang tuntutan orangtua karena anak-anak bosan sekolah daring, maka jalan keluarnya bukan nekat membuka sekolah yang sifatnya masif, meskipun 50%. Siapa yang bisa jamin mereka tidak bergerombol dan tidak mampir-mampir saat pulang sekolah lalu melepas maskernya. Kenapa tidak dipikirkan mendorong munculnya kelas-kelas di komunitas kecil di tiap wilayah semisal di balai RW dengan jumlah murid terbatas 5-10 orang dengan pengawasan guru bantu yang dpt memanfaatkan kemampuan warga untuk ikut mengajar sebagai tutor komunitas. Anak-anak bisa tetap berkegiatan secara sosial tapi dengan pengawasan orang dewasa di sekitarnya," tutur Yuli.
Ketua Fortusis Dwi Subawanto mengatakan, selama tidak ada percepatan vaksinasi untuk anak, pemerintah sebaiknya menghentikan PTM. Apalagi bagi anak usia di bawah 12 tahun yang sampai saat ini belum menjadi kelompok target vaksinasi.
Pemerintah wajib meningkatkan kualitas pembelajaran daring. Menurut Wanto, seharusnya ini bukan hal baru bagi Indonesia. "Universitas Terbuka sudah jalan bertahun-tahun. Kenapa tidak belajar dari sana, modulnya, kapasitas pengajarnya, infrastrukturnya bisa diadopsi," ujarnya.
Iwan Hermawan dari Forum Aksi Guru Indonesia (FAGI), dimulainya PTM rentan menimbulkan masalah baru. Perlu upaya berlapis untuk memastikan protokol kesehatan berjalan baik. Sekolah perlu melakukan pemeriksaan berkala bagi tenaga pendidik. "Jangan coba-coba di situasi seperti ini, satu anak saja yang kena bisa berbahaya," ujarnya.
Haris Azhar dari Lokataru mengatakan, pemerintah telah melanggar setidaknya lima hukum perundangan, antara lain Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 jo Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, dan Konvensi Hak Anak yang telah diratifikasi dengan Keppres Nomor 36 Tahun 1990.
Berdasarkan pelanggaran itu, koalisi meminta dalam waktu 14 hari Presiden RI dan menteri terkait untuk melakukan enam hal penting, yaitu:
1. Membuka data positivity rate di setiap daerah secara transparan;
2. Melakukan percepatan vaksinasi dan memastikan segera tercukupinya kuota vaksin bagi seluruh anak usia 12-17 tahun di Indonesia;
3. Mewajibkan kepada seluruh satuan tingkat pendidikan agar peserta didik yang belum menerima vaksin untuk tetap melakukan pembelajaran secara daring;
4. Melakukan tinjauan lapangan terhadap seluruh satuan tingkat pendidikan terkait kepatuhan syarat-syarat penyelenggaraan pembelajaran tatap muka berdasarkan rekomendasi WHO dan Ikatan Dokter Anak Indonesia;
5. Menghentikan pembelajaran tatap muka pada satuan tingkat pendidikan yang tidak mematuhi rekomendasi tersebut secara akumulatif;
6. Menghentikan seluruh rangkaian pembelajaran tatap muka pada seluruh satuan tingkat pendidikan di Indonesia apabila terdapat satu sekolah yang terkonfimasi menjadi cluster COVID-19. (*)
Aliansi Pendidikan dan Keselamatan Anak (PKA):
Arek Lintang (ALIT)
AMAR Law Firm & Public Interest Law Office (AMAR)
Forum Aksi Guru Indonesia (FAGI)
Forum Orang Tua Siswa (Fortusis)
Hakasasi
Laporcovid19
Lokataru
Surabaya Children Crisis Center (SCCC)
*foto: Humas | 2015
No comments:
Post a Comment