Setelah tes antigen Juli 2021, dengan hasil positif covid19. |
Benar, saya terinfeksi Covid19 lagi. Ini adalah kali kedua virus corona ini mendarat di tubuh saya. Sialnya, kali ini tidak sendirian. Novie, istri saya, ikut terinfeksi juga. Pijar yang negatif Covid19 pun harus ikut terimbas.
***
Kali ini, semua berawal dari kondisi tubuh yang tiba-tiba merasakan sakit, seperti kebanyakan dari kita saat akan terserang flu. Tulang agak linu, kepala sedikit pusing, terasa ada dahak di tenggorokan. Tubuh memberi sinyal, ada yang “tidak beres”.
Memang gejala yang tidak istimewa. Tapi menjadi penting, karena semuanya saya rasakan di saat jumlah orang Indonesia yang terinfeksi Covid19 sedang terus beranjak naik. Tanpa pikir panjang, saya memutuskan memeriksakan diri dengan tes swab antigen.
Lokasi tesnya hanya sekitar 4 KM dari rumah. Saya memilih gowes ke sana. Siapa tahu, setelah tubuh berkeringat, maka “flu” akan pergi. Dalam prosesnya, saya terus membangun sugesti pada diri sendiri: apa yang saya rasakan bukan Covid19.
Selain saya adalah “sarjana S1” Covid19 pada Februari 2021 lalu. Saya juga telah mendapatkan vaksin (Sinovac) dosis pertama, pada minggu terakhir Juni ini, di tempat saya bekerja. Setidaknya ada antibodi yang terbentuk di tubuhlah.
Apalagi, saya termasuk orang yang menurut saya, taat prosedur kesehatan (prokes). Masker lapis dua, dan menjadi anggota satuan tugas Covid19 di kantor. Keyakinan saya cukup besar untuk merasa, ini “flu biasa”.
Tapi saya keliru. Hasil tes itu menunjukkan, saya Covid19. Cuk!
CT VALUE
Saya menduga ini false positif atau “positif palsu”. Alat tes swab itu keliru menerjemahkan efek vaksin, sebagai Covid19. Beberapa kawan yang mengetahui hasil saya pun menduga-duga hal serupa. Meski demikian, saya minta Novie dan Pijar untuk juga melakukan tes antigen juga. Hasilnya, Novie terdeteksi positif Covid19, Pijar tidak.
Duh, virus sialan ini mulai menyerang keluarga. Dan bila benar, saya hampir pasti menjadi orang yang menularkannya.
Dengan fasilitas kantor, saya melakukan tes polymerase chain reaction atau PCR. Tes jenis ini bisa mengidentifikasi DNA virus SARS Co-2 atau Covid19. Novie pun melakukan tes yang sama.
Hasilnya, kami berdua dinyatakan positif covid19, dengan cycle threshold value atau Nilai CT 19 untuk saya, 20 untuk Novie. Semakin sedikit nilai CT, semakin banyak jumlah virus yang ada di dalam tubuh.
Kami resmi terinfeksi Covid19.
ISOLASI
Video call antar kamar, satu rumah |
“Okay, what next?”
Itu pertanyaan pertama yang ada di kepala. Tentu kami harus isolasi. Bila Februari lalu, saat kena Covid19 pertama kali saya minta dirujuk ke Rumah Lawan Covid19 Tangerang Selatan, kali ini agak berbeda. Selain ada Novie yang positif, juga ada Pijar yang negatif. Kami memutuskan untuk melakukan isolasi mandiri atau Isoman di rumah.
Ini pilihan yang sulit, karena rumah kami satu lantai, dan tidak cukup luas. Meskipun sejak setahun lalu, di rumah menerapkan protokol kesehatan sederhana. Alat-alat makan dan minum kami bertiga selalu terpisah, tetap, dan tidak bergantian.
Baju yang dipakai dari luar rumah dalam jangka waktu cukup lama, langsung dicuci. Wajib pakai masker bila keluar rumah, dan wajib mencuci masker atau membuang masker jenis medis atau sekali pakai. Setiap barang kiriman online, berhenti dulu di depan pintu dan disemprot cairan pembersih.
Peraturan diperketat selama Isoman. Kami sepakat untuk tidak berbagi ruangan. Saya dan Novie di kamar depan, Pijar fokus di kamarnya. Bila masing-masing dari kami akan melintas ruang tamu, teras, dapur, atau mau ke kamar mandi, kami cukup berteriak di balik pintu kamar.
“Ayah mau ke kamar mandi, jangan keluar kamar dulu.”
“Ho oh!”
Setiap kami memegang barang yang biasa digunakan bersamaan, seperti gagang pintu depan, alat pembersih lantai, alat masak, dll, kami wajib menyemprotnya dengan hand sanitizer di bagian yang yang dipegang. Semua kebutuhan yang harus dibeli dari toko atau warung, dilakukan oleh Pijar. Bila tempatnya jauh, dibeli secara online.
Barang atau makanan yang dibeli dari luar, kita bagi sesuai kebutuhan. Pijar mengambil dahulu barang yang dibutuhkannya, baru kemudian menaruh sisanya di depan pintu kamar Isoman kami.
Ketika tulisan ini dibuat, Isoman sudah masuk hari ke empat. Meski kesannya sederhana, tapi hidup satu rumah namun tidak bertemu fisik, “berat” rasanya. Tak jarang kami video call dari kamar sebelah hanya untuk bertanya “Pijar lagi ngapain?”. Atau, sama-sama menyalakan video call, waktu makan bareng (tapi pisah kamar).
DOKTER
Menunggu PCR di salah satu RS di Jakarta Selatan. |
Bagi pasien dengan Covid19, berbicara dengan dokter adalah hal yang penting. Setidaknya bagi Novie, yang baru pertama kali merasakannya. Berbagai pertanyaan menumpuk di kepalanya. Salah satu dokter yang kami ajak bicara adalah dokter Puskesmas di kecamatan tempat kami tinggal.
Soal nilai CT misalnya, menjadi topik utama di awal-awal kami divonis terjangkit corona. Sejauh pemahaman kami, nilai CT 19 dan 20 tergolong kecil. Jumlah yang kecil itu menunjukkan, virus corona yang ada di tubuh kami masih rentan untuk menular ke orang lain.
Penjelasan berbeda kami dapatkan dari dokter di puskesmas. Menurutnya, nilai CT tidak lagi dijadikan satu-satunya ukuran untuk menakar pasien dengan covid19. Yang lebih diperhatikan saat ini adalah kondisi umum (KU) pasien.
Saya misalnya, meskipun memiliki CT 19, namun secara umum tidak menunjukkan gejala berat. Artinya, menurut dokter, saya cukup aman kondisinya. Tidak perlu perawatan medis, dan disarankan isolasi mandiri. Sementara Novie, dengan CT 20 dan sempat panas tinggi disarankan fokus ke pengobatan panasnya.
Meski demikian, kondisi hari perhari orang dengan covid19 hendaknya dipantau dengan cermat, dilaporkan ke dokter yang menangani. (bersambung)
ID NUGROHO
No comments:
Post a Comment