Dalam penculikan selama 11 hari, 16-26 Agustus 1996, saya menjadi “saksi” perjuangan para aktivis prodemokrasi yang saat itu juga ditahan. Saya pastikan, mereka-mereka adalah pahlawan. Ini sekelumit yang bisa saya ceritakan.
**
Bendera merah putih yang berkibar sore itu gagah sekali. Menyaksikannya bergoyang ditiup angin, sejenak melupakan rasa sakit yang muncul belakangan, usai saya dihajar sampai masuk selokan.
Saya diminta berdiri di tengah terik matahari, sambil menghormat pada bendera itu. Kaki yang telanjang menahan aspal panas.
Bagi saya, menuruti perintah adalah pilihan terbaik daripada dipukuli.
Dalam sebuah pemeriksaan-pemeriksaan selanjutnya, saya memilih meng-iya-kan semua tuduhan yang dialamatkan pada saya.
Satu hal yang ada di benak saya ketika itu, setiap pemeriksaan harus segera berakhir. Kalau toh akhirnya harus dihukum atas apa-apa yang tidak saya lakukan, saya akan terima.
Dipukuli dan ditendang sungguh tidak enak.
Sialnya, materi pemeriksaan butuh kronologi. Itu yang tidak bisa saya berikan, karena memang tidak melakukan apa yang dituduhkan.
“Bagaimana ceritanya sampai kamu ikut rapat ketika itu?”
Saya diam sejenak.
“Saya tidak tahu,” jawab saya.
“Lho kok tidak tahu?!”
Memang saya tidak tahu. Dalam sebuah acara diskusi (yang disebut sebagai “rapat” oleh petugas pemeriksa), saya hadir sebagai peliput. Saya jurnalis.
Diskusi dan rapat itu dua hal yang berbeda.
“Sudah, gini saja pak. Saya akan menyetujui semua yang bapak tuliskan,” kata saya tanpa perlawanan.
Lalu, Berita Acara Pemeriksaan atau “BAP” versi mereka pun selesai. Dan saya menandatanganinya, tanpa membacanya lagi. Saya hanya ingin semua ini cepat berakhir.
LANTAI DUA
Suatu hari, pemeriksaan yang melelahkan itu berakhir “manis”. Saya tidak lagi disel, melainkan diminta tidur di salah satu ruangan di lantai dua.
Di tempat itu, saya bertemu dengan para aktivis yang saat itu juga ditangkap.
Suasana masih canggung. Karena kami hanya kenal wajah, tak tahu nama. Saya melihat beberapa di antara mereka hadir dalam demonstrasi, entah di mana.
Setiap malam, di sela-sela suara seperti cambuk yang melecut, terdengar pula suara teriakan kesakitan terdengar. Menyeramkan.
“Ampunnnn,.. ampunnn,.. akhhhhrrrgggg,..”
Bila ada langkah kaki yang datang menuju ruangan, jantung kami berdetak kencang. Kami hanya bisa berpandangan sambil menebak siapa yang akan dipanggil untuk “diperiksa”.
Suatu pagi tiba, kami diminta berjejer di selasar lantai dua. Seorang petugas bertanya soal agama.
“Apa agamamu?”
“Islam,”
“Coba bacakan satu ayat-ayat pendek.”
Kami pun membaca ayat-ayat pendek yang terlintas. Al Fatihah, Al Kautsar, Al Kafirun, Al Ikhlas, dll.
Untuk yang beragama Kristen-baik Katolik maupun Protestan- diminta membaca doa juga. Saya tidak tahu itu doa apa.
Saat makan menjadi momen yang tak terlupakan. Kami diminta duduk melingkar dengan masing-masing menerima sebuah nasi bungkus. Lalu kami diminta memilih.
“Mau makan dulu, atau minum dulu?”
Bila pilihan kami makan dulu, maka minumnya setelah makan. Sebaliknya, bila minum dulu, maka dilanjutkan dengan makan, dan tidak tidak boleh minum lagi setelahnya.
Kami sepakat minum dulu sebelum makan, lalu sedapat mungkin menahan rasa haus.
Strategi saya, izin buang air kecil ke kamar mandi lalu minum air mentah dari bak mandi berlumut.
MENGETIK
Karena saya jurnalis, ada “tugas” lain yang diberikan. Yakni, mengetik pengakuan aktivis dalam proses pemeriksaan.
Alasannya sederhana: “Cara mengetikmu cepat”
Tentu saya tidak membantah. Lokasinya di ruang interogasi.
Ruang interogasi itu ada di lantai dua, dan tersekat menjadi dua bagian. Dihubungkan dengan pintu (yang selalu tertutup), dan lubang kecil berukuran 20x20 cm.
Di depan lubang itu ada meja kecil, tempat saya mengetik semua pengakuan yang terdengar dari ruang sebelah.
“Jadi apakah kamu terlibat?!” kata petugas pada seorang aktivis yang diperiksa.
“Ampun pak, tidak,”
“Yang benar kamu!” Plak! Buk! Buk!
“Ampun pak,..”
Saya merinding mendengar suara-suara itu, membayangkan apa yang terjadi di balik tembok. Semua pengakuan dalam proses pemeriksaan, saya ketik seadanya.
Tak lama berselang, tiba-tiba pintu yang selalu tertutup itu terbuka. Seorang aktivis yang baru diperiksa merayap keluar. Kulitnya membiru di banyak tempat.
Saya tak tega melihatnya. Tapi tak berani juga untuk menolong.
Maafkan saya.
PULANG
Kira-kira hari kesepuluh, saya diminta pindah ruang tidur. Kali ini, tidur di sebuah ruangan di lantai satu.
Dalam pemeriksaan dijelaskan, seluruh “BAP” yang sudah terkumpul akan diteruskan ke proses selanjutnya.
Bila saya dianggap bersalah dan memenuhi syarat, maka saya akan dipindah, entah ke mana. Saya cuma mengangguk.
Sampai tiba siang yang terik pada Senin 26 Agustus 1996. Saya diminta menuju pos depan, dekat gerbang.
Di sana, ibu saya sudah menunggu sendirian. Dia tersenyum melihat saya. Saya tahu, itu bukan senyum yang sebenarnya.
Saya dibebaskan tepat di hari ke sebelas. (*| grafis Eluniversal)
LINK:
Mengenang penculikanku 23 tahun lalu (1)
**
Bendera merah putih yang berkibar sore itu gagah sekali. Menyaksikannya bergoyang ditiup angin, sejenak melupakan rasa sakit yang muncul belakangan, usai saya dihajar sampai masuk selokan.
Saya diminta berdiri di tengah terik matahari, sambil menghormat pada bendera itu. Kaki yang telanjang menahan aspal panas.
Bagi saya, menuruti perintah adalah pilihan terbaik daripada dipukuli.
Dalam sebuah pemeriksaan-pemeriksaan selanjutnya, saya memilih meng-iya-kan semua tuduhan yang dialamatkan pada saya.
Satu hal yang ada di benak saya ketika itu, setiap pemeriksaan harus segera berakhir. Kalau toh akhirnya harus dihukum atas apa-apa yang tidak saya lakukan, saya akan terima.
Dipukuli dan ditendang sungguh tidak enak.
Sialnya, materi pemeriksaan butuh kronologi. Itu yang tidak bisa saya berikan, karena memang tidak melakukan apa yang dituduhkan.
“Bagaimana ceritanya sampai kamu ikut rapat ketika itu?”
Saya diam sejenak.
“Saya tidak tahu,” jawab saya.
“Lho kok tidak tahu?!”
Memang saya tidak tahu. Dalam sebuah acara diskusi (yang disebut sebagai “rapat” oleh petugas pemeriksa), saya hadir sebagai peliput. Saya jurnalis.
Diskusi dan rapat itu dua hal yang berbeda.
“Sudah, gini saja pak. Saya akan menyetujui semua yang bapak tuliskan,” kata saya tanpa perlawanan.
Lalu, Berita Acara Pemeriksaan atau “BAP” versi mereka pun selesai. Dan saya menandatanganinya, tanpa membacanya lagi. Saya hanya ingin semua ini cepat berakhir.
LANTAI DUA
Suatu hari, pemeriksaan yang melelahkan itu berakhir “manis”. Saya tidak lagi disel, melainkan diminta tidur di salah satu ruangan di lantai dua.
Di tempat itu, saya bertemu dengan para aktivis yang saat itu juga ditangkap.
Suasana masih canggung. Karena kami hanya kenal wajah, tak tahu nama. Saya melihat beberapa di antara mereka hadir dalam demonstrasi, entah di mana.
Setiap malam, di sela-sela suara seperti cambuk yang melecut, terdengar pula suara teriakan kesakitan terdengar. Menyeramkan.
“Ampunnnn,.. ampunnn,.. akhhhhrrrgggg,..”
Bila ada langkah kaki yang datang menuju ruangan, jantung kami berdetak kencang. Kami hanya bisa berpandangan sambil menebak siapa yang akan dipanggil untuk “diperiksa”.
Suatu pagi tiba, kami diminta berjejer di selasar lantai dua. Seorang petugas bertanya soal agama.
“Apa agamamu?”
“Islam,”
“Coba bacakan satu ayat-ayat pendek.”
Kami pun membaca ayat-ayat pendek yang terlintas. Al Fatihah, Al Kautsar, Al Kafirun, Al Ikhlas, dll.
Untuk yang beragama Kristen-baik Katolik maupun Protestan- diminta membaca doa juga. Saya tidak tahu itu doa apa.
Saat makan menjadi momen yang tak terlupakan. Kami diminta duduk melingkar dengan masing-masing menerima sebuah nasi bungkus. Lalu kami diminta memilih.
“Mau makan dulu, atau minum dulu?”
Bila pilihan kami makan dulu, maka minumnya setelah makan. Sebaliknya, bila minum dulu, maka dilanjutkan dengan makan, dan tidak tidak boleh minum lagi setelahnya.
Kami sepakat minum dulu sebelum makan, lalu sedapat mungkin menahan rasa haus.
Strategi saya, izin buang air kecil ke kamar mandi lalu minum air mentah dari bak mandi berlumut.
MENGETIK
Karena saya jurnalis, ada “tugas” lain yang diberikan. Yakni, mengetik pengakuan aktivis dalam proses pemeriksaan.
Alasannya sederhana: “Cara mengetikmu cepat”
Tentu saya tidak membantah. Lokasinya di ruang interogasi.
Ruang interogasi itu ada di lantai dua, dan tersekat menjadi dua bagian. Dihubungkan dengan pintu (yang selalu tertutup), dan lubang kecil berukuran 20x20 cm.
Di depan lubang itu ada meja kecil, tempat saya mengetik semua pengakuan yang terdengar dari ruang sebelah.
“Jadi apakah kamu terlibat?!” kata petugas pada seorang aktivis yang diperiksa.
“Ampun pak, tidak,”
“Yang benar kamu!” Plak! Buk! Buk!
“Ampun pak,..”
Saya merinding mendengar suara-suara itu, membayangkan apa yang terjadi di balik tembok. Semua pengakuan dalam proses pemeriksaan, saya ketik seadanya.
Tak lama berselang, tiba-tiba pintu yang selalu tertutup itu terbuka. Seorang aktivis yang baru diperiksa merayap keluar. Kulitnya membiru di banyak tempat.
Saya tak tega melihatnya. Tapi tak berani juga untuk menolong.
Maafkan saya.
PULANG
Kira-kira hari kesepuluh, saya diminta pindah ruang tidur. Kali ini, tidur di sebuah ruangan di lantai satu.
Dalam pemeriksaan dijelaskan, seluruh “BAP” yang sudah terkumpul akan diteruskan ke proses selanjutnya.
Bila saya dianggap bersalah dan memenuhi syarat, maka saya akan dipindah, entah ke mana. Saya cuma mengangguk.
Sampai tiba siang yang terik pada Senin 26 Agustus 1996. Saya diminta menuju pos depan, dekat gerbang.
Di sana, ibu saya sudah menunggu sendirian. Dia tersenyum melihat saya. Saya tahu, itu bukan senyum yang sebenarnya.
Saya dibebaskan tepat di hari ke sebelas. (*| grafis Eluniversal)
LINK:
Mengenang penculikanku 23 tahun lalu (1)
No comments:
Post a Comment