Kembali ke 16 Agustus 1996. Hari di mana saya diculik dari rumah, dan ditahan selama 11 hari. Sungguh, itu 11 hari yang menakutkan dan menyakitkan.
**
Kisah ini tidak seujung kuku kisah para aktivis yang ditahan Orde Baru. Apalagi, dibandingkan mereka-mereka yang hilang, atau yang mengorbankan jiwa dan raganya.
Tapi bagi saya pribadi, kisah ini penting untuk dijadikan pelajaran. Paling tidak, sebagai alasan untuk terus melawan penguasa yang menindas.
Kejadian 23 tahun lalu (ditulis pada 16 Agustus 2019), seperti baru kemarin terjadi. Di benak saya masih terbayang sosok empat orang yang mendatangi rumah saya di Surabaya, Jawa Timur.
Mereka menjemput dengan lembut di awal, namun kasar di akhir. Termasuk mobil kijang putih yang digunakan. Plus, kalimat epic yang masih terngiang sampai saat ini,”Tikus sudah tertangkap.” yang dikatakan salah satu penculik melalui HT.
Empat orang yang terdiri dari satu anak muda, dua orang gempal dan seorang lain berumur sebaya sebagai driver. Kemana kalian sekarang?
Untuk petugas yang saat itu memegang kendali mobil, terima kasih sempat menawarkan cakwe dan roti goreng, beberapa saat setelah saya dilemparkan ke dalam mobil.
Ketimbang makan, saya memilih berdoa sebisanya, karena merasa saat itu adalah saat terakhir saya hidup di dunia.
DIGUNDULI
Ada perasaan sedikit lega saat mobil yang membawa saya masuk melalui pintu belakang di markas tentara di dekat bundaran Waru, Surabaya. Teriakan-teriakan intimidatif saat mobil berhenti, masih jelas terdengar. “Oh ini PKI-nya!”
Saya kebingungan. Karena seingat saya, saat PKI “dihabisi” tahun 1965, saya belum lahir. Tapi sudahlah. Tentu sebagai “tikus”, saat itu saya tidak mungkin mendebat.
Termasuk ketika seorang bertubuh gempal meminta saya berjongkok dan mulai memotong rambut panjang saya hingga plontos tak beraturan.
Masih belum cukup. Seorang petugas meminta saya duduk di kursi, mengeluarkan pistolnya di atas meja. “Bicara yang jujur ya!?” katanya. Saya mengangguk. Takut.
Katanya, saya ketua Komisariat Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (SMID) di kampus tempat saya menuntut ilmu, Stikosa-AWS. Ada semacam catatan yang ditunjukkan. Saya menolak. Karena saat itu, saya jurnalis, bukan aktivis SMID.
Tak puas dengan jawaban saya, sebuah tendangan mendarat di betis. Rasanya “lumayan”. Menunjukkan hasil olahraga kaki penendang yang berhasil. Kaki saya memerah, lalu membiru beberapa hari kemudian.
Pemeriksaan ditunda. Saya dimasukkan sel di pos depan. Kalau tahu markas tentara ini, sel itu ada di bagian dalam pos depan, dekat gerbang pintu masuk.
Tidur di sel markas tentara, seru! Tiap mau tidur, sebuah tongkat dipukulkan di teralisnya. Tang! Tang! Tang! Tang! Saya terbangun.
Keesokan harinya, saya melihat Upacara Bendera HUT Kemerdekaan RI 17 Agustus 1996. Indonesia Raya saya dengarkan dari balik jeruji. Sedih.
Mungkin bapak-bapak yang menangani saya 23 tahun lalu sudah melupakan adegan itu. Tapi saya tidak.
BUDIMAN
Sekitar satu kilometer di daerah belakang markas, adalah lokasi kedua saya diperiksa. Seperti kantor biasa. Begitu sampai di tempat itu, segera diarahkan ke sel yang terletak di belakang kantor.
Lokasinya terpisah dari bangunan utama. Kalau tidak salah ingat, di belakang parkiran mobil.
Untuk pertama kali dalam sejarah, saya tidur di sel, tanpa benang sehelaipun, alias bugil. Satu sel dihuni dua orang. Saya, dan seorang aktivis partai yang namanya tidak perlu saya sebutkan di sini.
Berdua kami meringkuk saling membelakangi, beradu punggung. Tembok dan lantai yang hitam, menyembunyikan sarang nyamuk.
Saat malam datang, nyamuk yang entah dari mana, menyerbu tanpa kendali. Saya kelelahan untuk menghalaunya.
Dua hari tanpa mandi, berakhir dengan dibukanya pintu sel secara tiba-tiba, sekitar tengah malam. Saya diminta berdiri di tengah lapangan dan disemprot air.
Saya lihat beberapa orang--akhirnya saya mengenal mereka sebagai aktivis Pergerakan Rakyat Demokratik (PRD), Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (SMID), Serikat Tani Nasional (STN) dan Jaringan Kesenian Rakyat (JAKER).
Di lapangan itu, saya diminta mencari “Budiman Sudjatmiko”. “Budiman” yang dimaksud adalah seekor katak. Saya pun merunduk-runduk di pinggir lapangan sambil berteriak,”Budiman-budiman,..”
Beruntung saya tidak menemukannya. Seingat saya, beberapa aktivis yang malam itu berhasil menemukan “Budiman”, diminta memasukkan “Budiman” ke celana dalamnya.
MENDUKUNG
Pagi hari, pemeriksaan dimulai.
“Kamu mendukung PRD?”
“Saya wartawan, tidak dukung mendukung”
“Ah, mengaku saja.” Sebuah dudukan bangku dipukulkan ke kepala.
Sekali, dua kali, tiga kali, pertanyaan yang sama diberikan. Jawaban saya pun sama. Kepala saya menerima pukulan berkali-kali.
Sampai akhirnya, kaki petugas ditempelkan di pipi sebelah kiri. “Jawab yang benar!”
Saya ketakutan membayangkan kaki itu menendang kepala.
“Apakah kamu mendukung PRD?!”
“Iya, saya mendukung,” jawab saya takut.
“Nah, jawab gitu dari tadi kan enak,”
KUNGFU
Seorang petugas yang entah dari mana, tiba-tiba menyeret saya ke teras kantor, samping lapangan upacara.
Setelah mengomel entah soal apa, tiba-tiba memukulkan tinjunya ke arah perut. Saya reflek menelak.
“Oh, pernah belajar karate kau ya!” katanya. Sejurus kemudian, dia menendang perut dengan gerakan memutar.
Saya terpental, masuk ke selokan. Saya berusaha berdiri. Sebuah pukulan mendarat ke dua telinga saya.
Saya limbung, dan kembali masuk ke selokan.
“Di sini, kamu tidak akan mengalami dua hal: cacat atau mati!” teriaknya sambil terus memukuli.
Terus terang, saya tidak merasa sakit, karena setengah tidak sadarkan diri,..
(*bersambung)
LINK:
**
Kisah ini tidak seujung kuku kisah para aktivis yang ditahan Orde Baru. Apalagi, dibandingkan mereka-mereka yang hilang, atau yang mengorbankan jiwa dan raganya.
Tapi bagi saya pribadi, kisah ini penting untuk dijadikan pelajaran. Paling tidak, sebagai alasan untuk terus melawan penguasa yang menindas.
Kejadian 23 tahun lalu (ditulis pada 16 Agustus 2019), seperti baru kemarin terjadi. Di benak saya masih terbayang sosok empat orang yang mendatangi rumah saya di Surabaya, Jawa Timur.
Mereka menjemput dengan lembut di awal, namun kasar di akhir. Termasuk mobil kijang putih yang digunakan. Plus, kalimat epic yang masih terngiang sampai saat ini,”Tikus sudah tertangkap.” yang dikatakan salah satu penculik melalui HT.
Empat orang yang terdiri dari satu anak muda, dua orang gempal dan seorang lain berumur sebaya sebagai driver. Kemana kalian sekarang?
Untuk petugas yang saat itu memegang kendali mobil, terima kasih sempat menawarkan cakwe dan roti goreng, beberapa saat setelah saya dilemparkan ke dalam mobil.
Ketimbang makan, saya memilih berdoa sebisanya, karena merasa saat itu adalah saat terakhir saya hidup di dunia.
DIGUNDULI
Ada perasaan sedikit lega saat mobil yang membawa saya masuk melalui pintu belakang di markas tentara di dekat bundaran Waru, Surabaya. Teriakan-teriakan intimidatif saat mobil berhenti, masih jelas terdengar. “Oh ini PKI-nya!”
Saya kebingungan. Karena seingat saya, saat PKI “dihabisi” tahun 1965, saya belum lahir. Tapi sudahlah. Tentu sebagai “tikus”, saat itu saya tidak mungkin mendebat.
Termasuk ketika seorang bertubuh gempal meminta saya berjongkok dan mulai memotong rambut panjang saya hingga plontos tak beraturan.
Masih belum cukup. Seorang petugas meminta saya duduk di kursi, mengeluarkan pistolnya di atas meja. “Bicara yang jujur ya!?” katanya. Saya mengangguk. Takut.
Katanya, saya ketua Komisariat Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (SMID) di kampus tempat saya menuntut ilmu, Stikosa-AWS. Ada semacam catatan yang ditunjukkan. Saya menolak. Karena saat itu, saya jurnalis, bukan aktivis SMID.
Tak puas dengan jawaban saya, sebuah tendangan mendarat di betis. Rasanya “lumayan”. Menunjukkan hasil olahraga kaki penendang yang berhasil. Kaki saya memerah, lalu membiru beberapa hari kemudian.
Pemeriksaan ditunda. Saya dimasukkan sel di pos depan. Kalau tahu markas tentara ini, sel itu ada di bagian dalam pos depan, dekat gerbang pintu masuk.
Tidur di sel markas tentara, seru! Tiap mau tidur, sebuah tongkat dipukulkan di teralisnya. Tang! Tang! Tang! Tang! Saya terbangun.
Keesokan harinya, saya melihat Upacara Bendera HUT Kemerdekaan RI 17 Agustus 1996. Indonesia Raya saya dengarkan dari balik jeruji. Sedih.
Mungkin bapak-bapak yang menangani saya 23 tahun lalu sudah melupakan adegan itu. Tapi saya tidak.
BUDIMAN
Sekitar satu kilometer di daerah belakang markas, adalah lokasi kedua saya diperiksa. Seperti kantor biasa. Begitu sampai di tempat itu, segera diarahkan ke sel yang terletak di belakang kantor.
Lokasinya terpisah dari bangunan utama. Kalau tidak salah ingat, di belakang parkiran mobil.
Untuk pertama kali dalam sejarah, saya tidur di sel, tanpa benang sehelaipun, alias bugil. Satu sel dihuni dua orang. Saya, dan seorang aktivis partai yang namanya tidak perlu saya sebutkan di sini.
Berdua kami meringkuk saling membelakangi, beradu punggung. Tembok dan lantai yang hitam, menyembunyikan sarang nyamuk.
Saat malam datang, nyamuk yang entah dari mana, menyerbu tanpa kendali. Saya kelelahan untuk menghalaunya.
Dua hari tanpa mandi, berakhir dengan dibukanya pintu sel secara tiba-tiba, sekitar tengah malam. Saya diminta berdiri di tengah lapangan dan disemprot air.
Saya lihat beberapa orang--akhirnya saya mengenal mereka sebagai aktivis Pergerakan Rakyat Demokratik (PRD), Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (SMID), Serikat Tani Nasional (STN) dan Jaringan Kesenian Rakyat (JAKER).
Di lapangan itu, saya diminta mencari “Budiman Sudjatmiko”. “Budiman” yang dimaksud adalah seekor katak. Saya pun merunduk-runduk di pinggir lapangan sambil berteriak,”Budiman-budiman,..”
Beruntung saya tidak menemukannya. Seingat saya, beberapa aktivis yang malam itu berhasil menemukan “Budiman”, diminta memasukkan “Budiman” ke celana dalamnya.
MENDUKUNG
Pagi hari, pemeriksaan dimulai.
“Kamu mendukung PRD?”
“Saya wartawan, tidak dukung mendukung”
“Ah, mengaku saja.” Sebuah dudukan bangku dipukulkan ke kepala.
Sekali, dua kali, tiga kali, pertanyaan yang sama diberikan. Jawaban saya pun sama. Kepala saya menerima pukulan berkali-kali.
Sampai akhirnya, kaki petugas ditempelkan di pipi sebelah kiri. “Jawab yang benar!”
Saya ketakutan membayangkan kaki itu menendang kepala.
“Apakah kamu mendukung PRD?!”
“Iya, saya mendukung,” jawab saya takut.
“Nah, jawab gitu dari tadi kan enak,”
KUNGFU
Seorang petugas yang entah dari mana, tiba-tiba menyeret saya ke teras kantor, samping lapangan upacara.
Setelah mengomel entah soal apa, tiba-tiba memukulkan tinjunya ke arah perut. Saya reflek menelak.
“Oh, pernah belajar karate kau ya!” katanya. Sejurus kemudian, dia menendang perut dengan gerakan memutar.
Saya terpental, masuk ke selokan. Saya berusaha berdiri. Sebuah pukulan mendarat ke dua telinga saya.
Saya limbung, dan kembali masuk ke selokan.
“Di sini, kamu tidak akan mengalami dua hal: cacat atau mati!” teriaknya sambil terus memukuli.
Terus terang, saya tidak merasa sakit, karena setengah tidak sadarkan diri,..
(*bersambung)
LINK:
***
Keterangan Foto:
Foto 1: Foto ini diambil tahun 1996, bersama para senior Stikosa-AWS. Saya paling kiri, berbaju hitam (dokumentasi M.Zurqoni)
Foto 2: Saat meliput di Aceh, 2007. (Dokumentasi Abu Chaider Mahyuddin)
keren cak...
ReplyDeletesalut
Makasih kak. Ayo ngeblog lagi. Aktif di Equatorial ya?
DeleteWhuo... Arèk AWS tha awakmu Man. Salam tutug Djarot and Achmad Subecki bro. Gak sempat ditendang ndèk Menur tha. Nyang penting slamet-segho liwet
ReplyDeleteSuwun-suwun. Sego liwet mas. Sala gawe para senior.
DeleteSalut, Man ✊��
ReplyDeleteMakasih :)
ReplyDeleteHalo mas Iman, baru tahu kisan ini. Smoga tak terjadi lagi ya mas Iman. Aih, lama tak berjumpa ya
ReplyDeleteHi Alidaaaa. Aminn. Semoga gak ada lagi.
DeleteHebat Saudaraku....
ReplyDeletehttp://tragedy27july.blogspot.com/2008/05/perburuan-kambing-hitam.html
ReplyDeleteIni aku tuliskan, kisar 3 hari stlah aku keluar dari penjara
http://tragedy27july.blogspot.com/2008/06/penghakiman-otak-12-jam-sehari-2.html
ReplyDeleteDisitu jg ada secuil ttg kamu...
Hahaha. Hormat untuk kak David Kris. Semoga sehat selalu.
DeleteIkut tercekam Man
ReplyDeleteIya mas. Apalagi yang mengalami. Semoga gak ada lagi ya mas. Amiinn
ReplyDeleteRezim laknat
ReplyDelete