Pada 20 Juli 2019, Presiden Joko Widodo menegaskan batas waktu tiga bulan untuk Kapolri Tito Karnavian menyelesaikan kasus Novel Baswedan. Artinya, pada 20 Oktober 2019, bersamaan hari pelantikan Jokowi-Ma'ruf Amin sebagai Presiden dan Wakil Presiden, kasus itu harus tuntas.
***
Pagi itu, 17 Juli 2019, sembari melawan kantuk setelah menjalankan shift malam, saya hadir di Mabes Polri Jakarta.
Bagi saya, penjelasan Tim Pencari Fakta (TPF) Kasus Novel Baswedan di depan publik yang rencananaya digelar pagi itu, sayang untuk dilewatkan.
Ketika TPF mulai memberikan penjelasan tentang temuannya, menyeruak optimisme kasus Novel bisa diungkap tuntas. “Inilah waktunya”.
Mendengar Ketua TGF Nur Kholis membaca delapan item siaran pers, dengan diselingi penjelasan-penjelasan tambahan, optimisme itu mendadak hilang.
Apalagi ketika masuk poin ke 5, tentang kepekatan larutan asam yang disiramkan ke arah Novel. Menurut Nur Kholis, larutan asal itu berkadar tidak pekat.
Ketidakpekatan larutan asam terlihat dari bekas yang dihasilkan. Tidak mengakibatkan luka berat permanen pada wajah korban, juga baju gamis yang dikenakan korban tidak mengalami kerusakan. Singkatnya, serangan dengan cairan asam tidak pekat, tidak mengakibatkan kematian.
“Serangan itu bisa dimaksudkan untuk membalas sakit hati atau memberi pelajaran terhadap korban,” demikian keterangan TGF.
Lalu, masuk poin ke 6. TGF menemukan fakta, kasus-kasus yang ditangani Novel ini, berpotensi menimbulkan serangan balik atau balas dendam, akibat adanya dugaan penggunaan kewenangan secara berlebihan atau excessive use of power.
Artinya, TGF menduga Novel berlebihan dalam menggunakan kewenangannya sebagai penyidik KPK, hingga memunculkan serangan balik atau balas dendam. Novel bersalah?
Kasus-kasus itu adalah:
(1) Korupsi e-KTP
(2) Korupsi Ketua MK Akil Mochtar
(3) Korupsi Sekjen MA Nurhadi
(4) Korupsi Bupati Buol Amran Batalipu
(5) Korupsi Wisma Atlet
(6) Pencurian Sarang Burung Walet.
Atas kasus-kasus itu, TGF merekomendasikan Kapolri untuk melakukan pendalaman motif.
KECEWA
Sebagai orang yang berharap banyak pada TGF, saya kecewa. Hingga konferensi pers berakhir (tanpa ada sesi wawancara doorstop dengan anggota TGF), berbagai pertanyaan atas hasil TGF tidak terjawab.
Dalam diskripsi tentang “larutan asam yang tidak pekat dan tidak mengakibatkan luka berat permanen” misalnya. Saya hanya ingin mengatakan pada TGF: Lihatlah Novel sekarang! Lihatlah matanya!
Penyiraman asam pada 11 April 2017 itu membuat sekitar 90 persen kornea mata kiri Novel Baswedan terbakar. Ada syarafnya yang mati. Karena itu, ia harus menjalani cangkok kornea mata di Singapura (Tempo, 13 Maret 2019).
Termasuk operasi membran yang untuk kedua belah matanya, yang diambil dari plasenta bayi (Tirto, 18 Mei 2017). Bahkan setelah 2 tahun kasusnya berlalu. Mata kiri Novel masih belum berfungsi dengan normal. Pada 22 Juni 2019, mata kiri itu tiba-tiba tidak berfungsi. Meski akhirnya bisa disembuhkan (Kompas, 16 Juli 2019).
Artinya, mengecilkan arti siraman asam tidak pekat pada mata Novel, sungguh tidak berdasar.
Jika toh memang benar semua ukuran matematis tentang kepekatan larutan itu, apa maksud dari penyungkapan hal itu kepada publik? Apakah, dengan asam yang tidak pekat, maka penyerangan itu menjadi berkurang bobot pelanggaran hukumnya? Tentu tidak.
Kemudian tentang “dugaan penggunaan kewenangan secara berlebihan” oleh Novel. Bagi saya, poin ini seolah-olah mengatakan, peristiwa itu terjadi karena salah Novel sendiri atau victim blaming.
Senada dengan poin ini adalah pendapat menyalahkan korban perkosaan yang dianggap terlalu seksi dalam berpakaian. Korban yang sudah terpuruk harus mengalami “serangan” berulang-ulang, karena ada upaya menyalahkan korban.
Akan jauh lebih konstruktif untuk penyelesaian kasus ini bila TGF bisa memberi gambaran siapa pelaku dan dari kasus yang mana (dari 6 kasus yang disebutkan).
THEORY OF CRIME
Salah satu hal yang banyak disoroti dan tidak terungkap oleh TGF adalah teori pelaksanaan tindak kejahatan atau the theory of crime dalam kasus Novel Baswedan.
Dari yang saya pahami, theory of crime ini adalah penjelasan menyeluruh dari peristiwa penyerangan itu. Mulai sebelum terjadinya peristiwa, sampai pihak-pihak yang menjadi otak kasus.
Bila peristiwa utamanya adalah penyiraman usai sholat subuh, maka siapa pelaku adalah pertanyaan kuncinya. Tak heran bila kemudian sketsa dugaan pelaku yang sempat dirilis polisi menjadi headline dalam pemberitaan saat itu.
Apa status pelaku? Di mana dia bekerja sehari-hari? Apakah dia pernah melakukan kejahatan sebelumnya? Apakah posisinya “orang bebas” atau pelaku sedang terlilit masalah hukum (atau bahkan narapidana)?
Lalu, cerita utuh dari awal, hingga berakhir dengan penyiraman. Dari mana pelaku mendapatkan barang-barang yang digunakan untuk menyerang Novel? Bagaimana cara mereka mengintai Novel dan memastikan orang yang disiram adalah Novel Baswedan? Ke mana pelaku pergi setelah melakukan penyiraman?
Lebih jauh, siapa yang memiliki ide penyiraman itu? Apakah ada pihak lain yang membayar, atau itu murni dilakukan atas alasan tertentu? Mengapa pakai larutan asam, tidak jenis kejahatan lain? Apakah tindakan ini terkoneksi dengan peristiwa penyerangan lain yang juga dialami oleh pegawai KPK? Dan seterusnya.
Saya sangat meyakini, polisi memiliki kapasitas untuk mengungkap utuh kasus ini. Apalagi, menyerangan pada Novel bisa didekati layaknya peristiwa kriminal biasa. Kemampuan intelijen polisi, dengan sumber-sumber “bayangan” di jalanan, bisa sangat memudahkan pengungkapan kasus ini. Apalagi, di jaman ini, CCTV banyak tersebar.
Apa susahnya?
CCTV
Tentunya, setelah dua tahun berlalu, barang bukti dan rekaman CCTV menjadi tantangan tersendiri. Menurut TGF, rekaman CCTV dari rumah Novel susah diolah, lantaran beresolusi rendah. Identitas kendaraan, dan 2 orang pelaku, tidak terekam dengan jelas. Apalagi, pelaku mengenakan helm full face (menutup seluruh kepala dan wajah).
“Meskipun rekaman CCTV telah mendapatkan bantuan dari Australian Federal Police (AFP) untuk memmperjelas resolusi gambar,” tulis TGF dalam lampiran siaran pers. TGF juga telah memeriksa CCTV dari titik yang lain. Tapi nihil.
Masih menyangkut CCTV, Indopos edisi 16 April 2017 pernah memberitakan, penyidik Direktorat Reserse Kriminal Umum (Ditresmum) Polda Metro Jaya mengaku mengantongi identitas dua orang yang diduga mengintai Novel Baswedan.
Hal itu didapatkan setelah polisi memeriksa CCTV. ”Awalnya, rekaman CCTV menunjukkan motor yang dipakai terduga pelaku pengintaian, seperti nomor plat, jenis motor bebek,” ujar Kepala Bidang Humas (Kabidhumas) Polda Metro Jaya Kombes Argo Yuwono.
Kecanggihan polisi dalam mengungkap kejahatan, hanya berbekal CCTV, pernah dilakukan saat membongkar kasus perampokan di kawasan Kelapa Gading, Jakarta Utara. Tak jauh dari rumah Novel Baswedan. Peristiwa itu terjadi dua minggu sebelum penyiraman.
ENAM KASUS
Kini, polisi sudah membentuk Tim Teknis, sebagai follow up hasil TGF. Salah satu yang menjadi fokus Tim Teknis adalah enam kasus yang diduga terkait penyerangan Novel.
Apakah hanya enam kasus yang difollow up? Entahlah. Yang pasti, kewenangan ada di polisi. Hanya saja, dalam keterangan pers TGF sempat mencuat satu kasus lain di luar enam kasus itu. Yakni, kasus Simulator SIM, yang menyeret mantan Kakorlantas Polri Irjen Djoko Susilo (CNNIndonesia, 18 Juli 2019).
"Kasus simulator SIM itu juga ada diskursus itu dalam tim," ujar Nur Kholis.
Sekali lagi, “bola” ada di pihak polisi. Tanggal 20 Oktober 2019 adalah batasnya, bersamaan dengan pelantikan Joko Widodo-Ma'ruf Amin sebagai Presiden dan Wakil Presiden RI.
Bila kasus Novel berhasil diungkap sesuai tenggat waktu, bisa jadi Kapolri Jenderal Polisi Tito Karnavian akan terus menjadi Kapolri.
Bila tidak, maka posisi “bola” berpindah ke tangan Presiden Joko Widodo. Silakan diputuskan, pak.
(* | foto: Viva, Khazanah)
***
Pagi itu, 17 Juli 2019, sembari melawan kantuk setelah menjalankan shift malam, saya hadir di Mabes Polri Jakarta.
Bagi saya, penjelasan Tim Pencari Fakta (TPF) Kasus Novel Baswedan di depan publik yang rencananaya digelar pagi itu, sayang untuk dilewatkan.
Ketika TPF mulai memberikan penjelasan tentang temuannya, menyeruak optimisme kasus Novel bisa diungkap tuntas. “Inilah waktunya”.
Mendengar Ketua TGF Nur Kholis membaca delapan item siaran pers, dengan diselingi penjelasan-penjelasan tambahan, optimisme itu mendadak hilang.
Apalagi ketika masuk poin ke 5, tentang kepekatan larutan asam yang disiramkan ke arah Novel. Menurut Nur Kholis, larutan asal itu berkadar tidak pekat.
Ketidakpekatan larutan asam terlihat dari bekas yang dihasilkan. Tidak mengakibatkan luka berat permanen pada wajah korban, juga baju gamis yang dikenakan korban tidak mengalami kerusakan. Singkatnya, serangan dengan cairan asam tidak pekat, tidak mengakibatkan kematian.
“Serangan itu bisa dimaksudkan untuk membalas sakit hati atau memberi pelajaran terhadap korban,” demikian keterangan TGF.
Lalu, masuk poin ke 6. TGF menemukan fakta, kasus-kasus yang ditangani Novel ini, berpotensi menimbulkan serangan balik atau balas dendam, akibat adanya dugaan penggunaan kewenangan secara berlebihan atau excessive use of power.
Artinya, TGF menduga Novel berlebihan dalam menggunakan kewenangannya sebagai penyidik KPK, hingga memunculkan serangan balik atau balas dendam. Novel bersalah?
Kasus-kasus itu adalah:
(1) Korupsi e-KTP
(2) Korupsi Ketua MK Akil Mochtar
(3) Korupsi Sekjen MA Nurhadi
(4) Korupsi Bupati Buol Amran Batalipu
(5) Korupsi Wisma Atlet
(6) Pencurian Sarang Burung Walet.
Atas kasus-kasus itu, TGF merekomendasikan Kapolri untuk melakukan pendalaman motif.
KECEWA
Sebagai orang yang berharap banyak pada TGF, saya kecewa. Hingga konferensi pers berakhir (tanpa ada sesi wawancara doorstop dengan anggota TGF), berbagai pertanyaan atas hasil TGF tidak terjawab.
Dalam diskripsi tentang “larutan asam yang tidak pekat dan tidak mengakibatkan luka berat permanen” misalnya. Saya hanya ingin mengatakan pada TGF: Lihatlah Novel sekarang! Lihatlah matanya!
Penyiraman asam pada 11 April 2017 itu membuat sekitar 90 persen kornea mata kiri Novel Baswedan terbakar. Ada syarafnya yang mati. Karena itu, ia harus menjalani cangkok kornea mata di Singapura (Tempo, 13 Maret 2019).
Termasuk operasi membran yang untuk kedua belah matanya, yang diambil dari plasenta bayi (Tirto, 18 Mei 2017). Bahkan setelah 2 tahun kasusnya berlalu. Mata kiri Novel masih belum berfungsi dengan normal. Pada 22 Juni 2019, mata kiri itu tiba-tiba tidak berfungsi. Meski akhirnya bisa disembuhkan (Kompas, 16 Juli 2019).
Artinya, mengecilkan arti siraman asam tidak pekat pada mata Novel, sungguh tidak berdasar.
Jika toh memang benar semua ukuran matematis tentang kepekatan larutan itu, apa maksud dari penyungkapan hal itu kepada publik? Apakah, dengan asam yang tidak pekat, maka penyerangan itu menjadi berkurang bobot pelanggaran hukumnya? Tentu tidak.
Kemudian tentang “dugaan penggunaan kewenangan secara berlebihan” oleh Novel. Bagi saya, poin ini seolah-olah mengatakan, peristiwa itu terjadi karena salah Novel sendiri atau victim blaming.
Senada dengan poin ini adalah pendapat menyalahkan korban perkosaan yang dianggap terlalu seksi dalam berpakaian. Korban yang sudah terpuruk harus mengalami “serangan” berulang-ulang, karena ada upaya menyalahkan korban.
Akan jauh lebih konstruktif untuk penyelesaian kasus ini bila TGF bisa memberi gambaran siapa pelaku dan dari kasus yang mana (dari 6 kasus yang disebutkan).
THEORY OF CRIME
Salah satu hal yang banyak disoroti dan tidak terungkap oleh TGF adalah teori pelaksanaan tindak kejahatan atau the theory of crime dalam kasus Novel Baswedan.
Dari yang saya pahami, theory of crime ini adalah penjelasan menyeluruh dari peristiwa penyerangan itu. Mulai sebelum terjadinya peristiwa, sampai pihak-pihak yang menjadi otak kasus.
Bila peristiwa utamanya adalah penyiraman usai sholat subuh, maka siapa pelaku adalah pertanyaan kuncinya. Tak heran bila kemudian sketsa dugaan pelaku yang sempat dirilis polisi menjadi headline dalam pemberitaan saat itu.
Apa status pelaku? Di mana dia bekerja sehari-hari? Apakah dia pernah melakukan kejahatan sebelumnya? Apakah posisinya “orang bebas” atau pelaku sedang terlilit masalah hukum (atau bahkan narapidana)?
Lalu, cerita utuh dari awal, hingga berakhir dengan penyiraman. Dari mana pelaku mendapatkan barang-barang yang digunakan untuk menyerang Novel? Bagaimana cara mereka mengintai Novel dan memastikan orang yang disiram adalah Novel Baswedan? Ke mana pelaku pergi setelah melakukan penyiraman?
Lebih jauh, siapa yang memiliki ide penyiraman itu? Apakah ada pihak lain yang membayar, atau itu murni dilakukan atas alasan tertentu? Mengapa pakai larutan asam, tidak jenis kejahatan lain? Apakah tindakan ini terkoneksi dengan peristiwa penyerangan lain yang juga dialami oleh pegawai KPK? Dan seterusnya.
Saya sangat meyakini, polisi memiliki kapasitas untuk mengungkap utuh kasus ini. Apalagi, menyerangan pada Novel bisa didekati layaknya peristiwa kriminal biasa. Kemampuan intelijen polisi, dengan sumber-sumber “bayangan” di jalanan, bisa sangat memudahkan pengungkapan kasus ini. Apalagi, di jaman ini, CCTV banyak tersebar.
Apa susahnya?
CCTV
Tentunya, setelah dua tahun berlalu, barang bukti dan rekaman CCTV menjadi tantangan tersendiri. Menurut TGF, rekaman CCTV dari rumah Novel susah diolah, lantaran beresolusi rendah. Identitas kendaraan, dan 2 orang pelaku, tidak terekam dengan jelas. Apalagi, pelaku mengenakan helm full face (menutup seluruh kepala dan wajah).
“Meskipun rekaman CCTV telah mendapatkan bantuan dari Australian Federal Police (AFP) untuk memmperjelas resolusi gambar,” tulis TGF dalam lampiran siaran pers. TGF juga telah memeriksa CCTV dari titik yang lain. Tapi nihil.
Masih menyangkut CCTV, Indopos edisi 16 April 2017 pernah memberitakan, penyidik Direktorat Reserse Kriminal Umum (Ditresmum) Polda Metro Jaya mengaku mengantongi identitas dua orang yang diduga mengintai Novel Baswedan.
Hal itu didapatkan setelah polisi memeriksa CCTV. ”Awalnya, rekaman CCTV menunjukkan motor yang dipakai terduga pelaku pengintaian, seperti nomor plat, jenis motor bebek,” ujar Kepala Bidang Humas (Kabidhumas) Polda Metro Jaya Kombes Argo Yuwono.
Kecanggihan polisi dalam mengungkap kejahatan, hanya berbekal CCTV, pernah dilakukan saat membongkar kasus perampokan di kawasan Kelapa Gading, Jakarta Utara. Tak jauh dari rumah Novel Baswedan. Peristiwa itu terjadi dua minggu sebelum penyiraman.
ENAM KASUS
Kini, polisi sudah membentuk Tim Teknis, sebagai follow up hasil TGF. Salah satu yang menjadi fokus Tim Teknis adalah enam kasus yang diduga terkait penyerangan Novel.
Apakah hanya enam kasus yang difollow up? Entahlah. Yang pasti, kewenangan ada di polisi. Hanya saja, dalam keterangan pers TGF sempat mencuat satu kasus lain di luar enam kasus itu. Yakni, kasus Simulator SIM, yang menyeret mantan Kakorlantas Polri Irjen Djoko Susilo (CNNIndonesia, 18 Juli 2019).
"Kasus simulator SIM itu juga ada diskursus itu dalam tim," ujar Nur Kholis.
Sekali lagi, “bola” ada di pihak polisi. Tanggal 20 Oktober 2019 adalah batasnya, bersamaan dengan pelantikan Joko Widodo-Ma'ruf Amin sebagai Presiden dan Wakil Presiden RI.
Bila kasus Novel berhasil diungkap sesuai tenggat waktu, bisa jadi Kapolri Jenderal Polisi Tito Karnavian akan terus menjadi Kapolri.
Bila tidak, maka posisi “bola” berpindah ke tangan Presiden Joko Widodo. Silakan diputuskan, pak.
(* | foto: Viva, Khazanah)
No comments:
Post a Comment