Tema “pindah agama”
dalam pemberitaan di media massa yang menjadi diskusi hangat
belakangan ini, sungguh menggelitik.
Bukan soal
boleh-tidaknya memberitakan hal itu (karena agama berada di ruang
privat dan tidak etis menjadikannya obyek berita), melainkan soal
mendiskusikan materi agama dan pernak-perniknya, dalam berbagai
dimensi. Baik secara langsung, atau melalui platform tertentu
Sebelum berbicara lebih
jauh, perlu saya mendeklarasikan, dalam hal agama, saya termasuk
miskin ilmu dan dangkal.
Saat mendiskusikan
agama, saya lebih banyak menjadi pihak yang bertanya. Sungguh-sungguh
bertanya, untuk menggali dan mengetahui tentang berbagai hal, serta
mengetahui bagaimana agama memandang sebuah persoalan.
ISLAM
Sejak kecil, saya
diperkenalkan dengan agama Islam. Semua aktivitas di lini keluarga,
sekolah dan lingkungan, salah satunya, mendasarkan pada ukuran-ukuran
seorang muslim. Namun, hal itu tidak secara otomatis membuat saya
memahami secara utuh ajaran ini.
Well, mungkin
sedikit pernah bisa membaca dan hafal ayat-ayat pendek di Quran dan
tahu artinya, tapi tidak memahami maknanya.
Hafal dan paham makna
itu dua hal yang berbeda. Dalam posisi inilah perlunya diskusi. Di
bangku sekolah, diskusi tentang makna beragama, saya rasakan sangat
minim. Bila toh ada, arahnya pada dogma dan tidak memberi ruang untuk
meragukannya.
Pertanyaan-pertanyaan
yang muncul, sering kali dibenturkan pada penyataan: “Lakukan tanpa
bertanya, karena bertanya itu merupakan sebuah bentuk keraguan, dan
keraguan adalah dosa.”
Saya tidak tahu, apakah
hal-hal itu terjadi juga di agama-agama lain yang diajarkan di
Indonesia. Yang pasti, saya merasakan suasana menjalankan perintah
agama karena takut masuk neraka dengan bayangan kengeriannya. Semua
menjadi berbeda, seiring perubahan tingkat sekolah.
Hingga-seperti juga
banyak orang-bangku kuliah membuka cakrawala berpikir. Seorang senior
mengatakan, “Bisa jadi, setan adalah makhluk Tuhan yang paling
mulia, karena menolak tunduk pada Adam, melainkan tetap tunduk pada
Tuhan.” Saya hanya manggut-manggut.
Tentu saja, senior itu
sedang bercanda. Hanya saja, itu membuat saya berpikir perlunya
pemahaman dalam beragama, bukan hanya dogma.
Buku berjudul
“Pergolakan Pemikiran Islam”-nya Ahmad Wahib, mengaduk-aduk
logika. Buku yang dipinjamkan seorang kawan jurnalis (yang kini sudah
meninggal dunia, Alfatihah) itu seolah makin membangkitkan
keingintahuan saya untuk lebih dalam mempelajari agama dalam multi
dimensinya.
Seorang kawan
berseloroh, “Agar kau tak semakin kafir, baiknya baca-baca tentang
Rabi’ah al Adawiyyah.” Benar juga, berbagai cerita tentang
Rabi’ah, sungguh menentramkan.
NEGARA
Waktu berlalu. Agama
bagi saya termanifestasikan dalam caranya sendiri. Tentu saja, saya
jauh dari ukuran muslim yang alim. Salat dan puasa masih belum
sempurna, dan acap kali terlupa oleh aktivitas hidup yang lain.
Apalagi berkali-kali menemukan fakta, penerapan agama dan hukum di
Indonesia, menurut saya kurang pas.
Indonesia adalah negara
hukum, bukan negara agama. Namun pertimbangan keagamaan masih muncul
dan terus dimunculkan, bahkan mendahului hukum yang berlaku di
wilayah. Atau, tidak sedikit peristiwa yang selalu menyertakan
pemimpin agama, walaupun peristiwa yang terjadi tidak ada hubungannya
dengan persoalan agama.
Dalam sebuah kompetisi
politik misalnya, agama menjadi salah satu faktor yang menentukan.
Seorang calon harus pandai-pandai membaca peta keagamaan, dan
menjadikannya sebagai salah satu “wilayah yang harus dikuasai”
sejak awal. Setelahnya, baru menggarap hal lain.
Di media massa,
khususnya televisi, acara dakwah agama tertentu, jauh lebih sering,
ketimbang agama yang lain. Porsinya jauh dari ukuran keberimbangan.
Bahkan, di daerah tertentu, agama dijadikan dasar “hukum positif”,
termasuk yang mengikat penganut agama lain. Bagaimana sebenarnya
agama ditempatkan dalam kehidupan bernegara? Bukankah agama lebih
memiliki keluasan dan kedalaman cakrawala, bahkan melebihi negara?
Pertanyaan-pertanyaan
itu hanya sedikit dari puluhan lain yang ada di kepala saya. Karena
itu, saya suka bicara agama, yang saya tahu tidak akan mencapai garis
finis. (* | foto: FreePic.com)
No comments:
Post a Comment