"Saya tidak setuju perjuangan HTI, tapi saya tidak setuju HTI dibubarkan."
Kalimat di atas adalah status pertama saya, merespon pernyataan pemerintah membubarkan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), melalui jalur pengadilan. Begitu mendengar pernyataan yang dibacakan Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto itu, saya sebagai orang yang tidak setuju dengan perjuangan HTI mendirikan Khilafah, justru tidak setuju dengan Wiranto. Mengapa?
Untuk mengawalinya alasan ini, saya ingatkan lagi penjelasan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dalam Hari Kebebasan Pers Dunia atau World Press Freedom Day (WPFD) 2016, bertema "Beda itu hak!", Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (Duham) dan UUD 1945.
Pasal 20 Duham tertulis: "Setiap orang bebas berkumpul dan berserikat tanpa kekerasan."
Lalu pasal 28 E UUD 1945 yang tertulis:
(2) Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya.
(3) Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.
Saya asumsikan, kita sebagai Warga Negara Indonesia (WNI) memahami, bahwa negara kita sudah meratifikasi (mengadopsi) Duham, dan sampai kini masih menjadikan UUD 1945 sebagai Konstitusi. Artinya, tidak ada keraguan bagi kita untuk menjalankan pasal 20 Duham dan Pasal 28 E itu.
Apa yang terjadi belakangan? AJI mencatat, berbagai upaya warga untuk mengekspresikan perbedaan pendapat kerap kali gagal karena tindakan intoleran kelompok warga yang lain. Represi atas kebebasan berekspresi ini semakin menguat terkait isu-isu politik sensitif, khususnya isu terkait Tragedi Kemanusiaan 1965 dan Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat lainnya. Polisi yang seharusnya menjamin kebebasan berekspresi setiap warga justru menjadi bagian dari kelompok yang melakukan intimidasi atas upaya warga berekspresi.
Kedua, soal sebuah posting di www.nu.or.id tentang sikap Jaringan Gusdurian Indonesia. Menurut tulisan berjudul "Pernyataan Jaringan Gusdurian terhadap Pelarangan Diskusi, Buku, dan Pemutaran Film" itu, semenjak pemerintahan Orde Baru tumbang, ada upaya keras membangun demokrasi dan pemerintahan sipil demi menjamin hak-hak dasar warga negara. Yaitu: kemerdekaan berpikir, berserikat, berkumpul, dan mengemukakan pendapat.
Tulisan itu merespon maraknya kasus pembubaran diskusi, razia buku, serta penolakan pemutaran film. Hal-hal itu, sangat bertentangan dengan konstitusi yang menjamin kebebasan berkumpul dan mengemukakan pendapat sehingga pelarangan buku/film dan diskusi tersebut adalah suatu pelanggaran hak konstitusional.
Meskipun seruan AJI dan Gusdurian muncul dalam konteks yang sama sekali berbeda dengan kasus pembubaran HTI, namun secara prinsip, keduanya sama. Pelarangan yang selama ini dialami oleh kelompok yang memiliki orientasi seks berbeda (LGBT), pengusung isu 1965, Ahmadiyah, Syiah, pendirian rumah ibadah berbagai agama, dll, termasuk juga akan dialami oleh HTI adalah sebuah pelanggaran hak konstitusi.
Muncul pertanyaan: Tapi HTI menolak demokrasi, menolak Pancasila (?), dan ingin mendirikan negara Islam (baca: menolak Indonesia). Apakah itu dilindungi Duham dan Konstitusi Indonesia? Di sinilah letak perbedaan mendasar saya (yang setuju dengan Duham-konstitusi) dan orang-orang HTI. Sistem kekhilafahan yang perjuangkan HTI mungkin tidak bisa menerima perbedaan dan perlindungan pada perbedaan, tapi saya bisa.
Ketiga soal konsistensi sikap pemerintah. Entah mengapa, soal HTI tiba-tiba menjadi penting untuk direspon secara revolusioner, bahkan sampai akan dibubarkan. Kita pasti bisa menyebutkan nama organisasi-organisasi yang sering membuat rumit kondisi sosial, tidak menghargai hukum melalui aksi pembubaran diskusi, pembubarkan demonstrasi, sweeping warung saat Ramadan, menjadi backing lokasi parkir, backing bar/tempat hiburan, pelaku tawuran antar ormas kepemudaan, dan seterusnya.
Apa sikap pemerintah atas organisasi-organisasi itu? Apakah mereka masuk ke dalam prasyarat organisasi yang buruk seperti yang disebut Menkopolkam Wiranto saat akan membubarkan HTI?
Yang terakhir, tentang konsistensi sikap saya. Sejauh yang saya ingat, saya mencoba bersikap dan bertindak untuk tidak membakar lumbung, guna menangkap tikusnya. Bila ada persoalan dengan sebuah kelompok, sikap yang tepat adalah melawan "konten" dan "tindakannya", tapi tidak membubarkan organisasinya. Saya khawatir, bila tindakan pemerintah dianggap sebagai sebuah kebenaran oleh publik, maka tinggal tunggu waktu saja, organisasi yang kritis pada pemerintah atau memiliki pandangan berbeda, akan dibubarkan melalui pengadilan.
ID NUGROHO
Kalimat di atas adalah status pertama saya, merespon pernyataan pemerintah membubarkan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), melalui jalur pengadilan. Begitu mendengar pernyataan yang dibacakan Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto itu, saya sebagai orang yang tidak setuju dengan perjuangan HTI mendirikan Khilafah, justru tidak setuju dengan Wiranto. Mengapa?
Untuk mengawalinya alasan ini, saya ingatkan lagi penjelasan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dalam Hari Kebebasan Pers Dunia atau World Press Freedom Day (WPFD) 2016, bertema "Beda itu hak!", Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (Duham) dan UUD 1945.
Pasal 20 Duham tertulis: "Setiap orang bebas berkumpul dan berserikat tanpa kekerasan."
Lalu pasal 28 E UUD 1945 yang tertulis:
(2) Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya.
(3) Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.
Saya asumsikan, kita sebagai Warga Negara Indonesia (WNI) memahami, bahwa negara kita sudah meratifikasi (mengadopsi) Duham, dan sampai kini masih menjadikan UUD 1945 sebagai Konstitusi. Artinya, tidak ada keraguan bagi kita untuk menjalankan pasal 20 Duham dan Pasal 28 E itu.
Apa yang terjadi belakangan? AJI mencatat, berbagai upaya warga untuk mengekspresikan perbedaan pendapat kerap kali gagal karena tindakan intoleran kelompok warga yang lain. Represi atas kebebasan berekspresi ini semakin menguat terkait isu-isu politik sensitif, khususnya isu terkait Tragedi Kemanusiaan 1965 dan Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat lainnya. Polisi yang seharusnya menjamin kebebasan berekspresi setiap warga justru menjadi bagian dari kelompok yang melakukan intimidasi atas upaya warga berekspresi.
Kedua, soal sebuah posting di www.nu.or.id tentang sikap Jaringan Gusdurian Indonesia. Menurut tulisan berjudul "Pernyataan Jaringan Gusdurian terhadap Pelarangan Diskusi, Buku, dan Pemutaran Film" itu, semenjak pemerintahan Orde Baru tumbang, ada upaya keras membangun demokrasi dan pemerintahan sipil demi menjamin hak-hak dasar warga negara. Yaitu: kemerdekaan berpikir, berserikat, berkumpul, dan mengemukakan pendapat.
Tulisan itu merespon maraknya kasus pembubaran diskusi, razia buku, serta penolakan pemutaran film. Hal-hal itu, sangat bertentangan dengan konstitusi yang menjamin kebebasan berkumpul dan mengemukakan pendapat sehingga pelarangan buku/film dan diskusi tersebut adalah suatu pelanggaran hak konstitusional.
Meskipun seruan AJI dan Gusdurian muncul dalam konteks yang sama sekali berbeda dengan kasus pembubaran HTI, namun secara prinsip, keduanya sama. Pelarangan yang selama ini dialami oleh kelompok yang memiliki orientasi seks berbeda (LGBT), pengusung isu 1965, Ahmadiyah, Syiah, pendirian rumah ibadah berbagai agama, dll, termasuk juga akan dialami oleh HTI adalah sebuah pelanggaran hak konstitusi.
Muncul pertanyaan: Tapi HTI menolak demokrasi, menolak Pancasila (?), dan ingin mendirikan negara Islam (baca: menolak Indonesia). Apakah itu dilindungi Duham dan Konstitusi Indonesia? Di sinilah letak perbedaan mendasar saya (yang setuju dengan Duham-konstitusi) dan orang-orang HTI. Sistem kekhilafahan yang perjuangkan HTI mungkin tidak bisa menerima perbedaan dan perlindungan pada perbedaan, tapi saya bisa.
Ketiga soal konsistensi sikap pemerintah. Entah mengapa, soal HTI tiba-tiba menjadi penting untuk direspon secara revolusioner, bahkan sampai akan dibubarkan. Kita pasti bisa menyebutkan nama organisasi-organisasi yang sering membuat rumit kondisi sosial, tidak menghargai hukum melalui aksi pembubaran diskusi, pembubarkan demonstrasi, sweeping warung saat Ramadan, menjadi backing lokasi parkir, backing bar/tempat hiburan, pelaku tawuran antar ormas kepemudaan, dan seterusnya.
Apa sikap pemerintah atas organisasi-organisasi itu? Apakah mereka masuk ke dalam prasyarat organisasi yang buruk seperti yang disebut Menkopolkam Wiranto saat akan membubarkan HTI?
Yang terakhir, tentang konsistensi sikap saya. Sejauh yang saya ingat, saya mencoba bersikap dan bertindak untuk tidak membakar lumbung, guna menangkap tikusnya. Bila ada persoalan dengan sebuah kelompok, sikap yang tepat adalah melawan "konten" dan "tindakannya", tapi tidak membubarkan organisasinya. Saya khawatir, bila tindakan pemerintah dianggap sebagai sebuah kebenaran oleh publik, maka tinggal tunggu waktu saja, organisasi yang kritis pada pemerintah atau memiliki pandangan berbeda, akan dibubarkan melalui pengadilan.
ID NUGROHO
No comments:
Post a Comment