ILUSTRASI | Url: http://gkkd-enchristo.org/wp-content/uploads/2015/03/prajurit.jpg |
Penyerangan yang dilakukan aparat keamanan pada jemaah pengajian Cihideung mendapat restu dari pejabat militer. Sebuah pembantaian yang dilegalkan.
Masyarakat seolah tidak percaya ketika berita penyerangan di kampung Cihideung beredar pertama kali.
Apalagi, pada awalnya disebutkan, penyerangan itu adalah kesuksesan aparat keamanan memberangus kelompok bersenjata yang akan mengganti Pancasila dan UUD 1945, dengan keyakinan mereka.
Kelompok Warsidi disebut-sebut melakukan penolakan terhadap kebijakan asas tunggal Pancasila.
Namun lama kelamaan, ketika kronologis peristiwa terungkap, publik mulai mempertanyakan peristiwa itu. Apalagi, jumlah korban yang tewas dan hilang dalam penyerangan malam hari itu mencapai lebih dari 200 orang.
Perlahan-lahan, operasi militer yang dikomandoi oleh Kolonel Hendropriyono mulai mendapatkan sorotan.
Haruskah dilakukan operasi militer untuk menumpas kelompok Warsidi? Apakah penyerangan sudah sesuai prosedur?
KEJAHATAN LUAR BIASA
Bagi KontraS, peristiwa Lampung tidak bisa dilihat sebagai kasus kejahatan biasa atau ordinary crime. Tapi merupakan kejahatan luar biasa yang termasuk dalam kategori pelanggaran berat hak asasi manusia (HAM) atau gross violation of human rights.
Kekerasan militer yang terjadi dalam peristiwa Talangsari merupakan tindakan eksesif, yang dilakukan sebagai kelanjutan dari kebijakan-kebijakan pemerintahan Orde Baru di bawah Suharto.
Kebijakan tersebut amat terlihat sebelum terjadinya penyerbuan aparat militer (ABRI) terhadap warga sipil di wilayah perkampungan Talangsari.
Apalagi, peristiwa ini diikuti dengan pernyataan pembenar atas penangkapan, penyiksaan, penahanan dan pengadilan terhadap korban dan masyarakat yang dianggap terkait dengan kasus tersebut.
Penilaian KontraS tidak berlebihan. Ketika peristiwa itu meletus untuk pertama kali, jajaran militer di Lampung buru-buru membuat pernyataan yang mendukung aksi militer itu. Pernyataan Pangdam II Sriwijaya, R. Sunardi adalah salah satunya.
Menurutnya, kasus Talangsari, Lampung adalah kasus yang harus dituntaskan. “Kasus Lampung harus segera dituntaskan. Sampai saat ini, sudah 19 orang ditahan, 250 orang dilacak,” katanya.
Senada, dalam buku biografinya “Pangkopkamtib Soemitro dan Peristiwa 15 Januari 1974”, Alm. Jenderal Soemitro menuliskan, terhadap Islam, pemerintah Orde Baru dan Angkatan Darat (AD) khususnya, sejak awal menyadari tentang kemungkinan naiknya pamor politik kekuatan Islam.
Jatuhnya kekuatan ekstrim kiri PKI-yang kemudian secara formal diperkuat dengan keputusan pembuabaran PKI,- secara politis mengakibatkan naiknya pamor politik Islam, sehingga terjadilah ketidakseimbangan (imbalance).
Sayap Islam yang sedang mendapat angin kemudian cenderung hendak memperkuat posisinya. Padahal disadari oleh Angkatan Darat ketika itu, bahwa di dalam sayap Islam masih terdapat bibit ekstrimisme yang amat potensial.
Sehingga policy (kebijakan) umum militer ketika itu sebenarnya adalah menghancurkan kekuatan ekstrim kiri PKI, dan menekan (bukan menghancurkan) sayap Soekarno pada umumnya, “sambil amat berhati-hati untuk mencegah naiknya Islam”. (Jakarta: Sinar Harapan, 1998), hal.46.
PENYATAAN SOEHARTO
Pernyataan itu dikuatkan oleh statemen Presiden Soeharto pada Munas Persatuan Putra Putri ABRI (Pepabri), 30 Juni 1977. Pimpinan Orde Baru itu menyatakan, prajurit ABRI dan setiap purnawirawan adalah warga negara kesatuan Republik Indonesia yang bersendikan Pancasila.
Ini berarti bahwa, kita tidak akan membiarkan Pancasila diselewengkan. (Sekneg RI, Himpunan Pidato Presiden RI, Triwulan ke-II th. 1977, hal. 201-203).
Setahun kemudian, Soeharto memperbaharui struktur Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) dengan mengeluarkan Keputusan Presiden (Keppres) no.47/1978.
Dalam struktur itu, Kopkamtib memiliki dua tugas pokok, yaitu:
(1) Memulihkan keamanan dan ketertiban dari akibat-akibat peristiwa pemberontakan G-30S PKI, kegiatan-kegiatan ektrim dan kegiatan-kegiatan subversi lainnya.
(2) Ikut mengamankan kewibawaan pemerintah beserta alat-alatnya, dari pusat sampai daerah, dalam rangka mengamankan pelaksanaan Pancasila dan UUD 1945. (Vademecum Pengetahuan Hankam, Seskoad TNI AD, Cetakan ke II 1982).
Untuk itu, Kopkamtib memiliki empat fungsi utama yang harus dijalankan. Mengkoordinasikan pelaksanaan kebijaksanaan dalam pemeliharaan stabilitas keamanan dan ketertiban nasional, mencegah kegiatan dan menumpas sisa-sisa G 30 S PKI, subversi dan golongan ekstrim lainnya yang mengancam keamanan dan ketertiban masyarakat yang membahayakan keselamatan dan keutuhan negara, bangsa yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
Juga, mencegah pengaruh moral dan mental yang di timbulkan oleh peristiwa G 30 S PKI dan aliran kebudayaan lainnya yang bertentangan dengan moral, mental dan kebudayaan berdasarkan Pancasila.
Dan terakhir, membimbimg masyarakat untuk lebih aktif berpartisipasi dan ikut bertanggung jawab dalam memelihara keamanan dan ketertiban.
Pada kesempatan lain, Soeharto juga terus mengingatkan ABRI (kini TNI) atas hal ini. Pada Rapat Pimpinan (Rapim) ABRI di gedung Dang Merdu, Riau, 27 Maret 1980, Soeharto menegaskan bahwa ABRI menghendaki tidak ingin adanya perubahan (Pancasila dan UUD 1945). Bila dirasakan ada upaya untuk mengubah, maka ABRI wajib menggunakan senjata.
“Dari pada kita menggunakan senjata dalam menghadapi perubahan UUD 45 dan Pancasila, lebih baik kami menculik seseorang, daripada dua pertiga yang ingin mengadakan perubahan,” kata Soeharto seperti dimuat Kompas, 8 April 1980.
PPP WALK OUT
Bahkan lembaga tertinggi negara juga turut serta dalam membangun landasan politik yang membenarkan tindakan represif terhadap pelaksanaan kebijakan pemerintahan Suharto. Dalam hal ini, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) RI pada Sidang Umum tahun 1978.
Dalam rapat yang berlangsung panas itu, MPR-RI mengeluarkan Ketetapan MPR Nomor. II/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan Dan Pengamalan Pancasila (Ekaprasetia Pancakarsa).
Tap MPR ini mengarah menjadi tafsir tunggal dari Pancasila. Tak heran bila kemudian partai berazas Islam, Partai Persatuan Pembangunan (PPP) mereaksi keras dikeluarkanya Tap MPR No. II/MPR/1978 ini. Mereka walk out.
Gelombang politik yang “mendukung” penyerbuan tentara di Talangsari, direspon pula di sisi hukum. Anggota jamaah pengajian yang ditangkap dan diajukan ke pengadilan, berhadapan dengan sistem pengadilan yang tidak independen dan fair.
Tuntutan para Jaksa terhadap seluruh korban umumnya adalah tuduhan makar ingin mengganti Pancasila dengan Al-Qur’an dan Hadits, dengan menggunakan UU No.11/PNPS/1963 (UU Subversif) terhadap seluruh korban peristiwa Lampung yang berada di Lampung, Jakarta, Bandung, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Nusa Tenggara Barat.
Tuntutan ini, patut diduga berkaitan dengan pernyataan Menkopolkam Soedomo di harian Pelita sepekan setelah peristiwa lampung terjadi 14 Februari 2001. Sudomo menyebut “Pelaku Kasus Lampung Subversif”. Sementara, tentara pelaku penyerangan dan pembantaian, lolos dari jeratan hukum.
Semakin sah. Pembantaian Talangsari adalah pembantaian yang dilegalkan. (KontraS)
No comments:
Post a Comment