ILUSTRASI | http://www.fsfla.org | |
Dengan ancaman itu, polisi bisa leluasa menggunakan upaya paksa dalam menjalankan proses hukum.
Diperkirakan, kebebasan warga negara Indonesia akan terkekang.
Hal itu terungkap dalam siaran pers Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), dalam menyambut hari Hak Asasi Manusia (HAM) 2015, 10 Desember lalu.
Pola pemerintah menabur ancaman pidana dalam produk-produk legislasi, tulis ICJR, menunjukkan adanya semangat pemerintah untuk mengontrol masyarakat secara efektif.
Apalagi, pemerintah tidak memiliki pola dalam membangun hukum pidana di Indonesia.
Hasil penelitian yang dilakukan Anugerah Rizki Akbari di Univeristas Leiden, Belanda, setidaknya ada 1.601 tindak pidana yang ditemukan dalam perundang-undangan Indonesia, sejak 1998-2014.
Sejumlah 885 di antaranya merupakan tindak pidana yang telah ada (baca: diundangankan) sebelumnya.
Sedangkan 716 sisanya merupakan tindak pidana baru yang ditemukan di 112 undang-undang.
TIDAK BERDASAR
Mengutip Aliansi Nasional Reformasi KUHP (Aliansi KUHP), ICJR menuliskan, ketiadaan pola pemidanaan, pengulangan dan naiknya ancaman pidana menunjukkan bahwa pemerintah tidak memiliki dasar yang kuat dalam merumuskan suatu perbuatan.
Dalam beberapa praktik, pengaturan seperti ini kemudian nyata-nyata menimbulkan persoalan pelanggaran hak asasi manusia yang serius.
Meskipun saat ini RKUHP tengah dibahas di DPR, yang pengaturan tindak pidananya juga tidak kalah bermasalah, pemerintah dan DPR masih saja mengajukan RUU lain yang memuat delik pidana, seakan-akan tidak mengindahkan konsep kodifikasi.
Sebagai contoh, KUHP pada dasarnya telah mengatur tentang pidana penghinaan, namun pidana ini diatur begitu sering dalam berbagai undang – undang.
Yang paling menjadi sorotan, pasal 27 ayat (3) UU ITE.
Bedanya, dalam KUHP ancaman tertinggi untuk pidana penghinaan adalah empat tahun.
Sedangkan dalam UU ITE bisa mencapai 6 tahun.
Alasannya sederhana, agar dalam hal penghinaan dilakukan di dunia maya, polisi dapat melakukan penahanan.
RUU CoC
Saat ini, bahkan pola pemidanaan yang tidak jelas terlihat dari pengaturan beberapa RUU.
Yang paling menyita perhatian, misalnya RUU Contemp of Court (RUU CoC) dan RUU Larangan Minuman Beralkohol (RUU Minol).
RUU CoC menjadi sangat mengerikan karena meskipun pada dasarnya sudah diatur dalam KUHP saat ini.
Pasal 24 RUU CoC memuat ancaman penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun atau pidana denda paling banyak Rp.1.000.000.000.00,- (satu milyar rupiah).
Hukuman itu diperuntukkan bagi orang yang mempublikasikan atau memperkenankan untuk dipublikasikan proses persidangan yang sedang berlangsung, atau perkara yang dalam tahap upaya hukum, yang bertendensi dapat mempengaruhi kemerdekaan atau sifat tidak memihak hakim.
Lain lagi dengan RUU Minol, pengaturan unsur yang buruk dibarengi dengan ancaman pidana yang sangat tinggi.
Terdapat 10 tindak pidana baru yang diusulkan pemerintah dalam Pasal 5, 6, 7 dan 18, yang mencakup tindak pidana
memproduksi, menyimpan, mengedarkan, menjual, meminum, mengganggu ketertiban umum terkait minuman beralkohol.
Untuk poin ini, ancaman 2 sampai 10 tahun penjara.
Praktis, RUU ini memiliki tingkat “keseriusan” yang sama dengan tindak pidana narkotika.
*RILIS PERS
No comments:
Post a Comment