DEMO JURNALIS | URL BERITASATU |
Aliansi Jurnalis Independen (AJI) berpendapat, pengadilan terhadap dua jurnalis ini adalah puncak dari tindakan berlebihan Pemerintah Indonesia, pada kasus ditangkapnya dua jurnalis itu ketika sedang melaksanakan tugas jurnalistiknya. Apalagi, sebelum pengadilan itu digelar, keduanya telah menjalani penahanan pihak imigrasi selama empat bulan.
Hal itu dikatakan Ketua Umum AJI Indonesia, Suwarjono dalam siaran persnya, Kamis (1/10/2015). Menurut Jono, pemerintah harusnya bisa segera mendeportasi Neil dan Rebecca, bila keduanya dinilai bersalah.
"Mengapa Neil dan Rebecca barus menunggu empat bulan lamanya dalam tahanan imigrasi, dan kemudian dilanjutkan dengan proses pengadilan. Itu puncak dari tindakan berlebihan Pemerintah RI," kata Suwarjono.
Lebih jauh Jono mengingatkan, pemerintah seharusnya cukup memberikan sanksi administratif yang ditetapkan pejabat Imigrasi terhadap orang asing, sesuai UU Keimigrasian, bukan proses pidana seperti yang saat ini dijalani. Sesuai UU nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian, pelanggaran Pasal 75 dan Pasal 122 , yakni penyalahgunaan ijin masuk ke Indonesia untuk melakukan kegiatan jurnalistik di daerah Selat Malaka adalah pelanggaran administratif.
“Sama sekali tidak ada alasan untuk melakukan penahanan yang begitu lama, apalagi memberikan sanksi pidana," tegasnya. Karena itulah, AJI Indonesia, tambah Jono menuntut pengadilan segera memutus bebas kedua jurnalis.
Langkah imigrasi memproses hukum kedua jurnalis, hanya menambah kesan buruk Indonesia sebagai negara yang membatasi kerja jurnalis dan menciderai kebebasan pers di Indonesia. Padahal Presiden Joko Widodo telah bertekad membuka akses jurnalis asing di seluruh Indonesia. Baik di wilayah konflik maupun wilayah lainnya di seluruh Indonesia.
“Mana komitmen Presiden yang berjanji akan membuka akses jurnalis asing. Langkah pihak Imigrasi bertentangan dengan pernyataan Presiden, apabila masih menahan jurnalis asing karena kesalahan administrasi. Informasi yang kami peroleh, kedua jurnalis sudah mengajukan visa ke kedutaan Indonesia di Inggris, namun tidak ada jawaban”, kata Jono.
Neil Richard George Bonner (31) dan Rebecca Bernadette Margaret Prosser (30) ditangkap Jumat (29/5/2015) lalu bersama 11 orang lain oleh tim Reaksi Cepat TNI Angkatan Laut Batam yang terdiri dari pasukan Lantamal IV Tanjungpinang, Lanal Batam, dan Batalyon Marinir 10 SBY.
Saat itu, Neil dan Rebecca sedang melakukan aktivitas pembuatan film dokumenter bertema perampokan di Selat Malaka, yang rencananya akan ditayangkan di sebuah stasiun televisi internasional National Geographic (NG). Keduanya diduga menyalahgunakan izin, dan melakukan aktivitas pembuatan film dokumenter.
Sementara itu, Ketua AJI Batam, Zuhri Muhammad menyayangkan sikap Kejaksaan Negeri Batam yang tidak mengakui Neil dan Rebecca sebagai jurnalis. Padahal, Internasional Federation Journalists (IFJ) Asia Pasific jelas-jelas mengakui keduanya sebagai jurnalis yang sedang bekerja di Indonesia. Neil dan Rebecca adalah anggota National Union of Journalist, Inggris.
"Seharusnya penegak hukum di Batam tidak perlu memidanakan dan mengkriminalisasi jurnalis yang sedang bekerja," katanya. Karena itulah, AJI Batam menolak pengadilan atas Neil dan Rebecca. Dengan memidanakan keduanya adalah melanggar semangat UU Pers 40 tahun 1999.
Dalam catatan AJI Indonesia, sebelum kasus Neil dan Rebecca, Pemerintah RI juga menangkap dua jurnalis asal Prancis, Thomas Dandois (40) dan Valentine Bourrat (29) di Wamena, Papua. Keduanya ditetapkan sebagai tersangka pelanggaran keimigrasian dan akhirnya dideportasi ke Perancis.
#RilisPers
No comments:
Post a Comment