Organisasi jurnalis Reporters Without Borders (RSF), mengutuk pengadilan dengan ancaman hukuman lima tahun penjara bagi jurnalis Inggris, Neil Richard George Bonner (31) dan Rebecca Bernadette Margaret Prosser (30).
Keduanya disidang Senin, 28 September 2015 karena aktivitasnya melakukan syuting tanpa visa jurnalis di Selat Malaka, 29 Mei 2015 lalu. Karena aktivitas itu juga, keduanya ditangkap TNI AL.
Dalam rilis persnya, RSF menyerukan kepada pemerintah Indonesia untuk menghentikan penggunaan undang-undang imigrasi yang kejam, untuk menjatuhkan sanksi terhadap dua jurnalis yang sedang mengerjakan aktivitas jurnalisnya.
Pengadilan pada Rebecca dan Neil di Pengadilan Batam dilakukan setelah keduanya ditahan selama 125 hari di Batam. Keduanya didakwa melanggar UU Keimigrasian, dengan ancaman hukuman lima tahun penjara.
"Dua jurnalis itu dicabut kebebasannya, dan dijauhkan dari orang-orang yang mencintainya selama lebih dari empat bulan, hanya karena ketidakteraturan birokrasi. Ini tidak dapat diterima," kata Benjamin Ismaïl, kepala Reporters Without Borders Asia-Pasifik.
Apalagi, kata Benjamin, keduanya hanya melakukan pekerjaan mereka sebagai jurnalis investigasi dalam sebuah pemberitaan tentang pembajakan di lautan Asia Tenggara.
AJI: BEBASKAN MEREKA!
Sebelumnya, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia menuntut pemerintah Indonesia membebaskan Rebecca dan Neil. Bagi AJI, penahanan pada keduanya adalah tindakan berlebihan, mengingat pelanggaran yang dilakukan keduanya tergolong ringan, yakni kesalahan administratif keimigrasian.
“Tidak ada alasan untuk menahan apalagi memidanakan dua jurnalis karena ketidaklengkapan administrasi. Proses hukum yang dilakukan pihak Imigrasi sangat berlebihan. AJI menuntut pemerintah agar segera membebaskan Neil dan Rebbeca,” kata Suwarjono, Ketua Umum Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, Selasa (18/8/2015) di Jakarta.
Suwarjono mengaku heran dengan upaya pemerintah menyeret keduanya ke kasus pidana. Padahal sesuai UU nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian, pelanggaran Pasal 75 dan Pasal 122 , yakni penyalahgunaan ijin masuk ke Indonesia untuk melakukan kegiatan jurnalistik di daerah Selat Malaka adalah pelanggaran administratif. “Seharusnya pihak imigrasi segera memproses, dan memulangkan kedua jurnalis itu ke negaranya (deportasi),” kata dia.
Langkah pihak Imigrasi dengan menahan kedua jurnalis, Suwarjono menambahkan, hanya menambah kesan buruk Indonesia sebagai negara yang membatasi kerja jurnalis dan menciderai kebebasan pers di Indonesia. Padahal Presiden Joko Widodo telah bertekad membuka akses jurnalis asing di seluruh Indonesia. Baik di wilayah konflik maupun wilayah lainnya di seluruh Indonesia.
“Mana komitmen Presiden yang berjanji akan membuka akses jurnalis asing. Langkah pihak Imigrasi bertentangan dengan pernyataan Presiden, apabila masih menahan jurnalis asing karena kesalahan administrasi. Informasi yang kami peroleh, kedua jurnalis sudah mengajukan visa ke kedutaan Indonesia di Inggris, namun tidak ada jawaban,” kata Suwarjono.
Sidang Neil dan Rebecca akan dilanjutkan 1 Oktober 2015.
Keduanya disidang Senin, 28 September 2015 karena aktivitasnya melakukan syuting tanpa visa jurnalis di Selat Malaka, 29 Mei 2015 lalu. Karena aktivitas itu juga, keduanya ditangkap TNI AL.
Dalam rilis persnya, RSF menyerukan kepada pemerintah Indonesia untuk menghentikan penggunaan undang-undang imigrasi yang kejam, untuk menjatuhkan sanksi terhadap dua jurnalis yang sedang mengerjakan aktivitas jurnalisnya.
Pengadilan pada Rebecca dan Neil di Pengadilan Batam dilakukan setelah keduanya ditahan selama 125 hari di Batam. Keduanya didakwa melanggar UU Keimigrasian, dengan ancaman hukuman lima tahun penjara.
"Dua jurnalis itu dicabut kebebasannya, dan dijauhkan dari orang-orang yang mencintainya selama lebih dari empat bulan, hanya karena ketidakteraturan birokrasi. Ini tidak dapat diterima," kata Benjamin Ismaïl, kepala Reporters Without Borders Asia-Pasifik.
Apalagi, kata Benjamin, keduanya hanya melakukan pekerjaan mereka sebagai jurnalis investigasi dalam sebuah pemberitaan tentang pembajakan di lautan Asia Tenggara.
AJI: BEBASKAN MEREKA!
Sebelumnya, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia menuntut pemerintah Indonesia membebaskan Rebecca dan Neil. Bagi AJI, penahanan pada keduanya adalah tindakan berlebihan, mengingat pelanggaran yang dilakukan keduanya tergolong ringan, yakni kesalahan administratif keimigrasian.
“Tidak ada alasan untuk menahan apalagi memidanakan dua jurnalis karena ketidaklengkapan administrasi. Proses hukum yang dilakukan pihak Imigrasi sangat berlebihan. AJI menuntut pemerintah agar segera membebaskan Neil dan Rebbeca,” kata Suwarjono, Ketua Umum Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, Selasa (18/8/2015) di Jakarta.
Suwarjono mengaku heran dengan upaya pemerintah menyeret keduanya ke kasus pidana. Padahal sesuai UU nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian, pelanggaran Pasal 75 dan Pasal 122 , yakni penyalahgunaan ijin masuk ke Indonesia untuk melakukan kegiatan jurnalistik di daerah Selat Malaka adalah pelanggaran administratif. “Seharusnya pihak imigrasi segera memproses, dan memulangkan kedua jurnalis itu ke negaranya (deportasi),” kata dia.
Langkah pihak Imigrasi dengan menahan kedua jurnalis, Suwarjono menambahkan, hanya menambah kesan buruk Indonesia sebagai negara yang membatasi kerja jurnalis dan menciderai kebebasan pers di Indonesia. Padahal Presiden Joko Widodo telah bertekad membuka akses jurnalis asing di seluruh Indonesia. Baik di wilayah konflik maupun wilayah lainnya di seluruh Indonesia.
“Mana komitmen Presiden yang berjanji akan membuka akses jurnalis asing. Langkah pihak Imigrasi bertentangan dengan pernyataan Presiden, apabila masih menahan jurnalis asing karena kesalahan administrasi. Informasi yang kami peroleh, kedua jurnalis sudah mengajukan visa ke kedutaan Indonesia di Inggris, namun tidak ada jawaban,” kata Suwarjono.
Sidang Neil dan Rebecca akan dilanjutkan 1 Oktober 2015.
No comments:
Post a Comment