Poster kasus Lumajang. |
Dua aktivis anti tambang di Lumajang, Jawa Timur dikabarkan diserang secara brutal, Sabtu (26 September 2015) pagi. Seorang di antaranya tewas dalam pengeroyokan itu. Sampai kini, kasus pembunuhan ini masih dalam pengusutan polisi.
Status Facebook Direktur Eksekutif Daerah Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jawa Timur, Ony Mahardika menjadi viral. Dalam status itu, Ony mengabarkan tragedi pengeroyokan dua aktivis anti tambang di Lumajang, Jawa Timur (sekitar 3,5 jam dari Surabaya).
“Tadi pagi (Sabtu, 26 September 2015-red), dua orang pejuang anti tambang dan pejuang lingkungan, dibantai saat memperjuangkan hak atas ruang hidupnya. Saat warga Desa Selo Awar-awar akan melakukan penghadangan aktifitas pertambangan pasir milik kepala desa setempat, diduga kepala desa mengerahkan 30 orang preman untuk mengintimidasi warga.
Satu orang petani diculik, dibawa ke balai desa, dikroyok dan dipukuli, setelah itu dibawa ke suatu tempat untuk dibunuh. Sedangkan seorang petani lainnya didatangi preman-preman di rumahnya, dikroyok dan dipukuli. Kondisinya saat ini tengah kritis di rumah sakit.”
Atas kebiadaban tersebut, tulis Ony, Walhi Jawa Timur mengutuk keras, dan mendesak aparat kepolisian untuk mengusut tuntas kasus ini. Walhi juga meminta polisi menangkap dalang pembunuhan.
“Mendesak Pemkab Lumajang dan Pemprov Jatim untuk menghentikan dan mencabut izin seluruh aktivitas pertambangan pasir di Desa selo awar-awar, Kecamatan Pasirian, Kabupaten Lumajang, Jawa Timur,” tulis Ony. Juga, menyerukan solidaritas nasional untuk bersama-sama menyuarakan kasus ini.
DAFTAR PANJANG
Bagai sebuah bola salju, kasus pembunuhan aktivis antitambang Lumajang itu terus membesar. Salah satu sebabnya, kasus pembunuhan itu adalah kasus besar menyangkut tambang di Jawa, yang belakangan jarang menjadi pembicaraan. Kasus terakhir yang sempat muncul adalah prokontra pembangunan pabrik semen di Rembang, Jawa Tengah.
Video Dandhy D. Laksono-Suparta yang dibuat dalam Ekspedisi Indonesia Biru memperbesar gaung penolakan warga Rembang itu. Dandhy, bahkan sempat dicari-cari oleh orang-orang yang mendukung pembangunan pabrik semen itu, dan dianggap sebagai provokator.
Beruntung, ancaman itu hanya isapan jempol belaka. Sampai kini, sikap warga Rembang untuk menolak pembangunan pabrik semen tetap berlanjut.
Dalam status Facebooknya, mengutip Walhi.or.id, Dandhy menuliskan, selama sepuluh tahun pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (2004 -2014), telah terjadi 1.391 konflik agraria di seluruh Indonesia.
Dalam konflik itu, setidaknya 70 orang tewas, dan 553 luka-luka. Di antara yang luka itu, 110 orang yang tertembak. “Hukum yang tajam ke bawah telah mengirim 1.354 orang ke tahanan,” tulis Dandhy.
Konflik agraria di era SBY ini, tulis jurnalis Indonesia Documentary Channel Watchdoc itu, meliputi 5,7 juta hektare lahan, di mana terdapat lebih dari 920 ribu kepala keluarga. Gaya "pembangunan-isme" Orde Baru yang dilakukan Presiden Joko Widodo tampaknya akan menambah panjang daftar kasus warisan SBY.
“Sepanjang perjalanan Ekspedisi Indonesia Biru ini saja, kami telah merekam kasus semen di Rembang, Teluk Benoa, Lombok Timur, dan Merauke atas nama Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE),” tulisnya.
Padahal, jelasnya, banyak kasus juga yang dilewatkan. Mulai Bayah di Banten, PLTU Batang, Jatigede, Urutsewu, Wongsorejo di Banyuwangi, termasuk Lumajang hingga Halmahera yang sedang menghadapi penambangan dan sawit atas nama Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI).
ID Nugroho
No comments:
Post a Comment