Komjen Budi Gunawan | *foto URL Tempo.co |
Keputusan pengadilan kasus Komjen
Budi Gunawan (BG) mampu mengubah wajah hukum di Indonesia.
Bila pengadilan menerima praperadilan
yang diajukan BG, maka seluruh warga negara (termasuk para tersangka) di Indonesia memiliki hak hukum yang
sama untuk melakukan praperadilan.
Peringatan itu disampaikan Institute for Criminal
Justice Reform atau ICJR, dalam siaran pers yang disampaikan menjelang putusan
sidang praperadilan BG di PN Jakarta Selatan.
Putusan praperadilan itu diketok pada Senin (16/2/2015) ini.
“Tidak hanya nasib BG yang dipertaruhkan, namun seluruh warga
negara Indonesia yang bisa jadi sewaktu-waktu berhadapan dengan Praperadilan,”
tulis ICJR dalam siaran persnya.
ICJR menjelaskan, bila hakim mengabulkan
permohonan pengujuan penetapan tersangka BG, maka hal itu berarti ada
penerobosan hukum.
Lantaran, Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana atau KUHAP, tidak
memberikan kewenangan pada Praperadilan untuk menguji penetapan tersangka.
Dengan mengabulkan permohonan Praperadilan BG, maka hak yang
sama haruslah dimiliki oleh seluruh warga negara Indonesia, tanpa terkecuali.
Sebaliknya, apabila Hakim menolak, maka hal itu berarti adanya
kekosongan hukum dalam ranah Praperadilan.
DPR dan Pemerintah harus duduk bersama untuk merancang regulasi
yang mampu menambal celah dalam hukum acara pidana tersebut.
“Entah dalam bentuk revisi KUHAP, atau pembentukan Perppu,”
demikian ICJR.
Inisiatif yang sama juga harus diambil oleh MA, sebagai
lembaga tertinggi dalam cabang kekuasaan yudikatif.
MA memiliki instrumen Peraturan Mahkamah Agung untuk menambal
kekosongan hukum yang terdapat dalam KUHAP khususnya pengaturan mengenai hukum
acara dari lembaga praperadilan.
ANAK TIRI
Dalam catatan ICJR, selama ini lembaga Praperadilan diperlakukan
laiknya “anak tiri” dalam sistem peradilan pidana Indonesia.
Padahal, Praperadilan memiliki fungsi penting sebagai bagian
dari mekanisme perlindungan hak asasi manusia atau HAM.
“Praperadilan sama sekali tidak disebut dalam Laporan Tahunan
MA.” Demikian tertulis dalam siaran pers.
Selama ini, kewenangan penyidik dalam menentukan bukti permulaan
untuk menetapkan seseorang menjadi tersangka tidak dapat diuji.
Padahal efek dari penentuan bukti permulaan dan penetapan
tersangka sangatlah besar.
Bahkan sampai mampu merampas kemerdekaan dan pembatasan hak
dasar yang dimiliki oleh warga Negara dalam bentuk penangkapan dan juga
penahanan.
ICJR menilai, absennya pengawasan horizontal yang
dilakukan oleh Pengadilan terhadap kewenangan aparat penegak hukum adalah salah
satu sumber utama terjadinya peradilan sesat atau rekayasa kasus.
Padahal, selain untuk memberikan perlindungan terhadap warga, pengawasan
pengadilan dalam setiap tahapan proses yang dilakukan penyidik dan penuntut
umum, memberikan legitimasi lebih kepada penuntut umum untuk melakukan pembuktian
pada pokok perkara.
Sehingga tidak ada lagi keraguan terhadap proses penyidikan yang
dilakukan.
“Termasuk pengumpulan bukti dan penggunaan kewenangan lainnya
pada tahapan penyidikan dan penuntutan.”
Press Release
No comments:
Post a Comment