Siapa tak kenal organisasi bernama Negara Islam Irak dan Suriah atau ISIS? Hampir seluruh dunia membicarakannya.
Dialah organisasi teroris beraliran Islam garis keras yang belakangan melambung namanya, setelah Al Qaeda berlalu.
Ada yang bilang, ISIS adalah reinkarnasi dari Al Qaeda di Irak, yang kocar-kacir setelah pimpinannya, Osama Bin Laden, disebut-sebut tewas oleh serangan pasukan AS.
Siapapun ISIS, yang pasti kelompok ini dikenal kejam. Gemar memenggal kepala orang, menembak mati, bahkan membakar orang-orang yang dianggap bukan bagian dari kelompoknya.
Siapa yang berada di balik ISIS? Siapa penyokong dananya? Siapa pelatih perangnya?
Untuk menjawab berbagai hal itu, sebuah website berita Storm Clouds Gathering membuat analisa mendalam.
MUAMAR KHADAFI
Analisa itu diawali dari Libya, ketika masih di bawah kendali Muamar Khadafi. Sejarah mencatat, serangan AS ke Libya adalah serangan pertama pasukan AS di bawah Presiden Barack Obama.
Menurut Storm Clouds Gathering, lembaga intelijen AS, CIA aktif membangun dan melatih kelompok pemberontak di Lybia
Pemberontak itu juga yang akhirnya berhasil menangkap Khadafi, lalu mengeksekusinya di jalanan.
Apakah Libya membaik setelah Khadafi terbunuh? Berdasarkan Human Development Index PBB, standart hidup di negara itu tertinggi dibanding negara lain di Afrika.
Libya juga terjebak ke dalam situasi chaos, dengan jumlah kelompok ekstrem yang meningkat berikut kekerasan yang terjadi di banyak tempat.
Secara umum, Libya saat ini adalah negara gagal.
Yang terjadi selanjutnya sungguh mengejutkan. Pemberontak Libya menjadi pemasok senjata ilegal ke Suriah. Khususnya untuk pasukan pemberontak Suriah atau dikenal dengan Pasukan Pembebasan Suriah atau FSA.
Senjata berat itu melewati Turki-yang tak lain adalah pendukung NATO. Dua media barat, The Times dan New York Times memberitakan hal ini.
Jurnalis pemenang Pulitzer, Seymour Hersh menulis sebuah artikel pada April 2014 yang mengabarkan tentang perjanjian rahasia antara CIA, Turki dan pemberontak Suriah.
Perjajian itu disepakati adanya “jalur tikus” untuk melewatkan senjata-senjata berat dan amunisinya dari Libya, melalui Turki selatan, melewati batas Suriah.
Dalam laporan Sound Cloud Gathering, semua pembiayaan itu didapatkan dari Turki, Arab Saudi dan Qatar.
Saat proses itu berlangsung, tidak hanya persenjataan saja yang lolos ke Suriah, melainkan juga para pemberontak itu sendiri.
Kejadian ini bersamaan dengan langkah pemerintah AS dan sekutunya yang saat itu sedang fokus untuk menurunkan Pemerintahan Suriah di bawah Bashar al-Assad.
Sama seperti pemerintahan Libya, Assad dituduh melakukan berbagai pelanggaran HAM.
AL NUSRA
Dalam sebuah wawancara pada April 2014, Komandan Tentara Pembebasan Suriah (FSA) Jamal Maarouf mengatakan pasukan yang dipimpinnya melakukan operasi militer bersama-sama dengan pasukan Al-Nusra.
Al-Nusra adalah jaringan Al-Qaeda di Suriah.
Dalam wawancara yang lain, Kolonel Abdel Basset Al-Tawil, salah satu komandan FSA menyatakan, pihaknya setuju dengan pelaksanaan hukum syariah di Suriah.
Tidak mengherankan bila kemudian, kantor berita Reuters memberitakan, mayoritas pentolan FSA adalah bagian dari kelompok Islam garis keras.
Sementara New York Times menemukan fakta, persenjataan yang dikirim dari Lybia ke Suriah berakhir dalam penguasaan kelompok ekstrem.
Selama dua tahun, Pemerintah AS disebut-sebut mengetahui hal ini, tapi tidak berbuat apa-apa.
Puncaknya terjadi pada Juni 2014. Al Nusra, yang tak lain sekutu FSA, menyatakan bergabung dengan ISIS. Deklarasi itu dilakukan di kawasan perbatasan Irak dan Suriah.
Jadi, paparan singkat dari laporan Storm Clouds Gathering ini adalah, Pemerintah AS bekerjasama dengan FSA, sementara FSA bekerjasama dengan Al Nusra, dan Al Nusra bergabung dengan ISIS.
ID Nugroho
*sumber: Link: Strom Clouds Gathering | untuk lebih jelasnya, silahkan lihat video di atas.
No comments:
Post a Comment