Saya dan "Geert Wilders", pentolan oposisi Belanda
yang anti-Islam. | foto: Arfi Bambani |
Intinya, mereka tidak setuju dengan apa yang saya katakan di video itu. Saya diminta untuk tidak mencari sensasi dengan mengkritik pembantaian di Paris pada kantor penerbitan Charlie Hebdo.
Salah satu komentar mengumpamakan serangan itu sebagai serangan balasan, seperti halnya balasan bila orang yang saya hormati diolok-olok.
Mungkin, video yang saya buat di atap sebuah gedung di Jakarta itu kurang jelas mendiskripsikan apa yang saya maksud.
Secara sederhana, dalam video itu saya ingin mengatakan ketidaksetujuan saya pada serangan brutal atas Charlie Hebdo, sekaligus ketidaksetujuan saya pada isi penerbitan satir itu.
Dua sisi, sama-sama tidak saya setujui.
I AM NOT CHARLIE
Esensi yang sama saya temukan di status Facebook milik Megi Margiyono, mantan pengurus AJI Indonesia dan jurnalis Voice of Human Right (VHR).
"I am not Charlie. Aku suka kebebasan, tapi bukan humor yang rasis, anti migrant, Islamophobic, selera humor rendah lain yang bukan lagi satire tapi sudah ridiculing. Aku tak membela Charlie Hebdo tapi bukan berarti mendukung kekerasan terhadap mereka. Ada spektrum politik yang amat luas diantara kutub ekstrim Charlie Hebdo dan terorisme, tanpa harus membela satu diantara keduanya."
Memang, saya tidak setuju pada keduanya.
Soal Charlie Hebdo. Ketidaksetujuan saya pada penerbitan itu ada pada muatan-muatan yang tersaji dalam produk yang mereka terbitkan.
Silahkan cari di Google mengenai hal itu. Salah satunya seperti gambar di bawah ini. "Dieu N'Existe Pas...", kurang lebih dalam bahasa Indonesia berarti, "Tuhan tidak ada".
Sejauh yang saya pelajari, muatan-muatan seperti ini, bukan sebuah produk media (baca: pers) yang benar.
Karenanya, produk pers-termasuk karikatur pun memiliki batasan-batasan etika yang harus ditaati.
Di Indonesia, Kode Etik Jurnalistik mengaturnya. Lalu, apakah Charlie Hebdo "bersalah" dengan produknya?
Dalam diskusi dengan kawan-kawan jurnalis, kurang lebih ada argumentasi semacam ini: "Charlie Hebdo terbit di Prancis, dengan sistem nilai ala Prancis, yang menomorsatukan kebebasan berekspresi. Mungkin bagi orang Prancis, Charlie Hebdo, adalah hal yang biasa."
Artinya, terbitan Charlie Hebdo tidak "bermasalah" bila hanya hadir di Prancis. Namun persoalannya, kondisi dunia sudah berbeda. Hadirnya internet, membuat produk penerbitan tidak terbatas ruang dan waktu.
Apa yang biasa di sebuah daerah, mungkin bisa berarti lain di daerah lain. Itu juga yang terjadi dalam kasus Charlie Hebdo. Orang Prancis, mungkin tidak mempersoalkan olok-olok penerbitan itu, sejauh tidak melanggar hak orang lain.
Namun, itu tidak berarti di wilayah lain, yang mungkin berada di luar Prancis, namun bisa mengakses Charlie Hebdo. Bukan tidak mungkin, orang Indonesia misalnya, marah dan tidak menerima dengan olok-olok itu.
Dalam sebuah kunjungan ke Berlin, Jerman, saya sempat berdialog dengan seorang pengacara. Dia mengatakan, di Jerman, orang bisa berpendapat apa saja, kecuali meragukan atau bahkan menolak Holocaust-pembantaian Yahudi oleh Nazi. Ancamannya, penjara.
Bahkan, meskipun upaya menolak Holocaust itu dilakukan di luar negara Jerman, maka pihak yang melakukan itu akan ditangkap bila berada di dalam wilayah Jerman.
"Menolak Holocaust dari luar Jerman itu seperti menembakkan peluru ke arah Jerman. Artinya, tetap "melukai" orang Jerman, " kata pengacara ini.
Jaman ini memang tanpa batas. Sistem nilai yang saling menghormati secara universal penting untuk dipahami, dan dijalankan.
PEMBANTAIAN YANG BARBAR
Tapi-mengutip Megi- "tak membela Charlie Hebdo tapi bukan berarti mendukung kekerasan terhadap mereka."
Serangan membabi buta yang dilakukan tiga orang pada kantor penerbitan Charlie Hebdo dan menewaskan 12 orang-termasuk dua polisi yang satu di antaranya muslim-, adalah tindakan yang pantas dikutuk.
Dalam pandangan saya, tidak ada pembenar apa pun dalam serangan itu. Kemarahan atas sesuatu, bagaimana pun bentuknya, tidak lantas membenarkan sebuah tindakan pelanggaran hukum. Apalagi pembunuhan.
Selain hilangnya nyawa, pembantaian memunculkan hal lain yang mungkin tidak diperhitungkan, yakni pendeskreditan kelompok yang dianggap "segaris". Dalam hal ini, kelompok Islam.
Sudah banyak diketahui, kelompok Islam radikal (sebagaimana kelompok radikal dari agama-agama lain di seluruh dunia), menoreh imej buruk. Muncul istilah "islamophobia".
Betapa orang yang beragama, bertingkah laku atau bahkan memiliki simbol "Islam", kemudian menjadi sosok yang dicurigai, pasca serangan di WTC New York, 9 September 2001.
Masih teringat di benak saya, ketika harus menjalani tes khusus oleh Homeland Security AS di 5 dari 7 bandara yang saya kunjungi di negara Paman Sam itu. "You are the "lucky" person," kata petugasnya.
Meskipun diklam sebagai random, namun jumlah pemeriksaan yang tidak sebanding dengan jumlah kunjungan, memunculkan dugaan: saya diperiksa karena beragama Islam, dan berasal dari Indonesia (negara tempat bom Bali meledak).
Tentu saja, semakin jauh dari 9/11, islamophobia makin menurun. Bahkan, ada kesepahaman baru tentang Islam, di kalangan penduduk global. Islam tidak berarti terorisme, dan begitu juga sebaliknya.
Sayangnya, belakangan ini, kedamaian kembali terkoyak dengan simbol-simbol "Islam". Jaringan Al-Qaida di Afrika-Boko Haram- misalnya, melakukan penculikan dan pemaksaan bahkan pembunuhan atas nama Islam.
Kelompok ISIS pun demikian. Aksi-aksi dramatis yang dipublikasi sedemikian rupa, mau tidak mau dikaitkan dengan Islam. Dan beberapa hari lalu di Paris, teriakan berbau "Islam" juga terdengar saat penyerangan di Charlie Hebdo.
Duh,.. :((
Iman D. Nugroho
This comment has been removed by a blog administrator.
ReplyDelete