Sebuah diskusi dengan seorang kawan tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) di pertengahan Desember 2014, menyeret kembali ingatan saya pada aktivitas liputan di Komisi IX DPR, pada 2009-2010. Ketika itu, komisi yang membawahi urusan kesehatan, transmigrasi dan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) itu sedang khusus membicarakan persoalan BPJS.
Sejak mengetahui perihal program ini, saya secara pribadi mendukungnya. Dalam benak saya, melalui BPJS-lah seluruh WNI bisa mendapatkan haknya memperoleh penanganan kesehatan. Program ini juga otomatis menghapus sindiran "orang miskin dilarang sakit", yang selama ini diserukan oleh aktivis untuk mengkritik mahalnya biaya kesehatan di Indonesia.
Namun, saya menjadi saksi betapa membuat BPJS tidak semudah membalik telapak tangan. Ada gelombang "penolakan" dari pemerintah atas program ini. Meski tidak terang-terangan mengatakannya, namun berbagai hal yang terjadi dalam proses panjang pembuatan BPJS (baik di dalam gedung DPR maupun di luar gedung), tebal mengesankan hal itu.
Kelompok pendukung BPJS harus berjibaku berlawan kata dan argumentasi untuk meyakinkan pemerintah mengenai pentingnya membuat asuransi sosial sebagai perwujudan dari "kesejahteraan masyarakat", yang menjadi hak dari seluruh warga negara. Sampai akhirnya Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) berhasil ditetapkan melalui UU Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). Turunan program ini adalah BPJS.
Kini, "bola" ada di tangan publik. Perlu ada kesadaran publik untuk terlibat (baca: mendaftar) dalam BPJS. Dengan sistem ini, publik bisa menikmati pelayanan kesehatan dengan murah. Meskipun masih ada kekurangan di sana-sini, namun sistem ini jauh lebih baik dari pada tidak ada, dan menyerahkan penanganan kesehatan sesuai "pasar" yang kapitalistik.
Iman D. Nugroho
No comments:
Post a Comment