Berita pengakuan anak Jokowi makan babi, karena ketidaktahuannya di awal-awal tinggal di Singapura, menjadi pembicaraan di mana-mana.
Ada yang mencaci, ada yang memahami, ada juga yang ngakak, karena menilai peristiwa itu lucu.
Saya termasuk orang yang tertarik membaca berita yang dicuplik dari blog pribadi anak Jokowi itu. Karena, hal yang sama pernah saya alami.
Dalam beberapa perjalanan ke LN, karena ketidaktahuan, saya menyantap daging babi. Kesan yang muncul pun sama: Daging babi memang enak.
Yah, tapi karena terlanjur Islam, saya memilih menghentikan menyantap daging babi (atau campuran daging babi) itu, begitu saya tahu atau ada yang memberitahu. Dan memilih makan yang lain.
Bukan persoalan dosa atau halal haram, tapi masalah konsistensi dalam beragama. Selama saya masih Islam, selama itulah konsekuensi (pilihan) untuk tidak makan daging babi, saya lakukan.
Dan itu jauh lebih mudah ketimbang konsekuensi lain: Menghindari minum bir dan kawan-kawannya. Saya penganut "Save water, drink beer" :)).
Silahkan menakar pilihan saya ini dengan kacamata sampeyan-sampeyan. Saya tidak masalah.
Kembali ke anak Jokowi. Bagi saya, dia jujur. Dan hal itu secara terbuka diakuinya, dan (mungkin), dia berharap ada pelajaran yang diambil dari peristiwa itu. Pilihan untuk terbuka ini "mahal" harganya.
Dalam pandangan saya, kejujuran itu lebih baik, ketimbang berakting agamis tapi busuk di dalam.
Soal hal-hal lain menyangkut nilai-nilai agama, saya tidak memiliki keahlian untuk menjelaskannya. Silahkan untuk anda yang tahu tentang hal ini, untuk menjelaskan di comment.
*ps. Babi itu seperti Barbie. Tidak semua cocok menikmatinya. :))
Sebagai non-muslim memang bagi saya babi bisa dimakan kapan saja, tetapi untuk masalah kesehatan memang tidak dikonsumsi terlalu banyak haha.
ReplyDeleteSave water, drink beer. Katanya ngena banget, lain waktu saya pakai ke teman saya ah. Save water, drink wine :p
Blog yang sangat bagus :)
Thank you..
ReplyDelete