Tulisan ini menjadi sangat tidak menarik, bila hanya menyuguhkan wacana tentang kerakyatan. Meskipun tidak ada satu pun dari kita yang membantah, bahwa secara ‘normal’, negara sudah seharusnya menjadikan rakyat sebagai ukuran pembangunan (baca: perbaikan) yang dilakukan di Indonesia. Dengan bahasa lain, setiap detak pembangunan di Indonesia, harus menjadikan kesejahteraan rakyat sebagai tujuannya. Tidak usah bertanya ‘rakyat yang mana?’, karena pertanyaan itu hanya mengaburkan definisi rakyat sebenarnya.
Apa yang terjadi di sekitar kita adalah jawaban. Apakah rakyat menjadi tujuan pembangunan selama ini? Mari merinci persoalan di tiap-tiap bidang: keuangan, industri, eksprolasi sumber daya alam, pendidikan, kesehatan, perhubungan, pertanian, ketatanegaraan, keagamaan sampai politik. Di mana posisi rakyat? Menjadi tolak ukur semua pembahasan-pembahasan itu? Well, bila kita tanya pada pejabat pemerintahan, pasti jawabannya ‘iya’. Namun realita berkata lain. Di setiap jengkal kita menjadikan rakyat sebagai ukuran, di saat itulah kita harus ‘makan ati’, karena rakyat terabaikan.
Tragedi semburan lumpur Lapindo di Porong, Sidoarjo adalah bukti. Rakyat menjadi omong kosong yang nyata. Ribuan rakyat yang tinggal di Porong harus dipindahkan, tapi Aburizal Bakrie yang ‘bos’-nya Lapindo Brantas Inc malah berkibar dalam politik dan leluasa melebarkan sayap ekonomi dan media. Eh, omong soal lumpur Lapindo, tanpa ada yang mempersoalkan, Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) baru saja mengajukan menambahan anggaran dalam APBN 2012. Kalau tidak salah, usulannya Rp. 1,3 triliun, dan dimuat di poin ke 205 usulan APBN 2012 yang diberikan kepada DPR-RI.
Belum lagi soal pembahasan Rancangan UU Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) yang saat ini sedang dibahas di DPR. Untuk orang mengikuti dengan intens pembahasan ini, akan bisa merasakan betapa ‘sulit’ menjadikan rakyat sebagai obyek yang harus dijamin dalam kehidupannya. Full coverage dalam persoalan kesehatan pun, menjadi hal yang mustahil, dengan alasan dana pemerintah tidak mencukupi. Lho, tidak cukup utuk BPJS, tapi cukup untuk menjadi penopang Lapindo Brantras Inc dalam tragedi lumpur Lapindo.
Ilustrasi kecil yang itu menjadi peneguh, berkali-kali reshuffle yang akan dilakukan di pemerintahan, tidak akan membawa dampak apa pun, bila rakyat tidak dijadikan ukuran pembangunan. Apalagi, sudah tidak ada lagi yang mau “mendengarkan suara jerit makhluk terluka” (diadaptasi dari salah satu puisi alm WS Rendra). | Iman D. Nugroho
No comments:
Post a Comment