Setelah Partai Nasdem, muncul lagi Partai Sarikat Rakyat Independen (SRI). Dua partai baru yang memiliki cita-cita yang sama dengan partai-partai sebelumnya: Membangun Indonesia lebih baik. Dan ini seperti mengulang sejarah lalu-lalu, yang semuanya berakhir pada kondisi tidak adanya perubahan, masyarakat tetap tidak sejahtera dan mandiri. Mari bertanya kembali, maka yang lebih penting, partai baru atau kesejahteraan masyarakat?
Coba tanyakan hal itu pada pengurus partai, jawaban mereka bisa ditebak. Untuk yang aktif di partai lama, mereka akan cenderung menyalahkan keadaan, dan meminta masyarakat untuk menerima semua kenyataan ini sebagai proses panjang. Orang-orang partai lama, akan menunjukkan progress yang sedang berjalan. Tidak lupa, mereka akan menyalahkan partai tetangga, karena dinilai menjadi ganjalan cita-cita suci yang sedang mereka perjuangkan.
Lalu, orang-orang dari partai lama akan dengan tegas mengatakan bahwa partai-partai lama tidak bisa dipercaya. Semua sudah terkotori dengan kepentingan politik yang menjerat dan menjadikan Indonesia makin terpuruk. Saat itulah, orang-orang partai baru akan mengklaim, partai baru yang didirikan akan coba memperbaiki hal itu. Dengan program, dengan orang-orang baru yang diyakinkan, memiliki kemampuan untuk itu.
Aha! Memang sudah menjadi tabiat para politisi untuk menawarkan hal baik, dan enggan untuk mengakui bahwa dirinya (dan kelompoknya) memiliki kans yang sama untuk berbuat busuk dan buruk. Semuanya akan menyalahkan orang lain, karena orang lain bukanlah dirinya (kelompoknya). Hingga pada akhirnya, ‘jualan’ program itu akan dilakukan. “Sudahlah, pilih partai kami, kami mampu untuk memperbaiki Indonesia, dengan satu keadaan: kami menang dalam Pemilu mendatang.”
Orang-orang partai itu tidak sadar, masyarakat Indonesia tidak bodoh, tidak percaya Pemilu, apalagi dengan bualan yang mereka katakana. Lihat saja orang-orang yang datang saat kampanye itu. Mereka mendapatkan uang dan hura-hura semata. Bila ada penyanyi dangdut dan goyang yang ditawarkan, justru itu yang menjadi tujuan saat kampanye. Soal orasi politik? Prek! Siapa yang percaya dengan itu semua. Bukankah lebih baik mengambil uang Rp.10 ribu-Rp.30 ribu dan kaos warna-warni yang ditawarkan oleh ‘event organizer’ pencari massa itu?
Mengapa seperti itu? Apakah masyarakat Indonesia tidak melek politik? Justru karena masyarakat melek politik, maka masyarakat tidak peduli. Masyarakat sudah sadar betul, apa yang diomongkan politisi, pemerintah dan seluruh jajarannya adalam omong kosong belaka. Buktinya, tidak ada perubahan berarti di masyarakat selama ini. Sebelum reformasi atau sesudahnya. Kenapa? Karena partai politik dan underbownya, menurut mereka, lebih penting ketimbang kesejahteraan masyarakat yang riil!
Sudahlah, golput tetap menjadi pilihan. Dari pada suara kita dimainkan di Komisi Pemilihan Umum (KPU), atau dipakai sebagai legitimasi yang sama sekali tidak menguntungkan masyarakat. Dan pada ujungnya, tidak ada kesejahteraan.
Iman D. Nugroho
No comments:
Post a Comment