Ini adalah era keterbukaan dan transparansi. Orang bisa berkata apa saja, pada siapa saja melalui social media. Kabar buruknya adalah, semua itu sama sekali tidak cukup tanpa tindakan real di dunia nyata.
Tengoklah sekali lagi 'status' rekan-rekan ada di Facebook atau timeline di Twitter. Hampir pasti, di antara status dan twit itu ada kritik. Mulai dari kritik untuk diri sendiri, pasangan, kawan, pemerintah, DPR, polisi, kehakiman dll. Temanya pun beragam. Dan yang paling seru, bila menyangkut kebutuhan diri sendiri atau orang banyak. Semakin seru kritik itu, semakin banyak pula comment atau tanggapan atau 'RT' retwit yang didapatkan dari status atau twit itu.
Seru memang, karena kritik adalah salah satu materi yang tidak bisa ditolak oleh situs jejaring sosial semacam Facebook dan Twitter. Ingat kasus Luna Maya yang curhat dalam account Twitter-nya? Saat Luna marah dengan aksi pekerja infotainment yang menabrak anak Ariel Peterpan, yang saat itu ada digendonganya. Atas itu, Luna menuliskannya di Twitter. Karena saat itu kasus Ariel lagi booming, 'ocehan' Luna pun ikut menjadi bagian dari berita itu.
Kasus Luna hanya satu kasus di social media yang memunculkan reaksi. Masih banyak kasus-kasus lain yang juga berawal dari kritik, kemudian menjadi gerakan riil di dunia nyata. Untuk mengingatkan, kasus Cicak vs Buaya, sebagai simbolisasi kasus Kriminalisasi KPK oleh Irjen Pol Susno Duadji adalah contoh lain. Dari bayang 'maya' di internet, menjadi 'nyata' di kehidupan.
Apakah cukup mengkritik di social media? Jelas tidak. Karena keefektifitasan social media tergantung elemen-elemen pendukung yang kita miliki. Pertama popularitas yang terkolerasi dengan jumlah friends atau follower. Lalu, materi kritik yang tertulis di status atau timeline. Hal itu menentukan apakah kritik yang tertulis itu akan membawa reaksi atau tidak. Minimal membawa comment atau RT. Dan yang terakhir adalah popularitas isu.
Semakin populer pemilik account, maka semakin 'memungkinkan' status atau twit-nya dibaca. Semakin populer orang juga, mendorong orang-orang yang ingin kenal dengan sosok yang bersangkutan untuk menulis comment atau meretwit. Apalagi bila materi kritiknya sangat bagus, plus membawa isu-isu yang dekat dengan kehidupan masyarakat. Bisa jadi, gelombang kritik dunia maya pun akan terjadi.
Pertanyaan yang paling mendasar kemudian adalah, apakah kritikan atau respon atas kritik dalam social media itu akan juga terealisasi di kenyataan? Jawaban jujur atas petanyaan ini adalah: BELUM TENTU. Cobalah tengok status atau timeline milik kita. Sudah berapa kali anda melontarkan kritik pada seseorang atau sesuatu. Apakah ada yang menjadi kenyataan?
Adalah naif bila merasa sudah 'selesai' tanggungjawab kita sebagai masyarakat atau bahkan parahnya, merasa sebagai aktivis, bila sudah mengkritik di social media. Karena hal itu sama sekali tidak berarti apa-apa selain beropini. Selebihnya, menurutku, cuma fun saja. Lalu bagaimana Mesir dan Tunisia bisa menggalang revolusi dari social media? Hei,..bukankah selalu ada tindakan real ketimbang cuma menulis status atau ngetwit? | Iman D. Nugroho
No comments:
Post a Comment