Dimuat di 'Fokus' Jurnalparlemen.com
Tujuh tahun lalu, tahun 2004, saat UU Sistem Jaminan Sosial Nasioal (SJSN) didok, masyarakat seperti punya harapan baru. Untuk pertama kalinya, Negara itu punya sebuah UU yang menanggung semua persoalan dasar kehidupan warganya. Tujuh tahun berlalu, sampai akan dibuat UU Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS), asuransi sosial itu belum juga menjadi nyata.
Suatu hari di ruang rapat Komisi IX DPR. Hang Ali Syah Pahan menahan geram. Anggota Panitia Kerja (Panja) BPJS DPR dari Fraksi PAN itu tidak bisa percaya, rekan kerja Eselon I dari delapan kementrian di hadapannya meminta DPR untuk mempertimbangkan kembali transformasi empat BUMN asuransi, Jamsostek, Askes, Asabri dan Taspen. Padahal hal itu sudah disepakati sebelumnya.
“Saya mau menegaskan lagi, apakah hasil rapat yang lalu-lalu itu menjadi ketetapan yang terus disepakati, atau tidak? Kalau memang tidak, untuk apa kita di sini, bubar saja!” katanya dengan nada tinggi. Mitra kerja delapan kementrian yang dikomandoi oleh Sekretaris Jenderal (Sekjen) Kementrian Keuangan, Mulia Nasution itu hanya terdiam.
Kejengkelan Hang Ali itu adalah gambaran, betapa alot perjalanan panjang asuransi sosial pertama di Indonesia itu. Bila ditilik kembali, perjalanan berliku itu mulai terasa saat SJSN mulai digagas, delapan tahun lalu, saat Presiden Megawati Soekarno Putri masih berkuasa. Saat itu, nada sinis mulai terdengar. Namun, Mega bersikukuh untuk melanjutkannya, dan berhasil.
Mega yang berlalu dan digantikan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sebagai Presiden RI, menyisakan UU SJSN sebagai ‘pekerjaan rumah’. UU itu mengamanatkan agar pemerintah segera membuat Peraturan Presiden dan Peraturan Pemerintah sebagai pedoman praktis pelaksanaan SJSN. “Tapi, karena UU itu dibuat di jaman Mega, pemerintah saat ini tidak sepenuh hati melakukannya,” kata Sumber Jurnalparlemen.com di DPR.
BUMN Bukan Asuransi Sosial
Tentu saja, keengganan itu tidak muncul ke permukaan. Yang tampak justru upaya mengalihkan ‘perintah’ SJSN untuk membuat organisasi nirlaba dan mengelola dana amanat, dengan badan ‘jaminan sosial’ lain berbentuk Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Jaminan Sosial Tenaga Kerja atau Jamsostek (dulu bernama Asuransi Tenaga Kerja atau Astek), Asuransi Kesehatan atau Askes, Asuransi Anggota ABRI/TKI (Asabri) dan Tabungan Sosial Pensiun (Taspen).
Tidak hanya itu, pemerintah di bawah Presiden SBY juga menyelenggarakan progam Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) dan Jaminan Persalinan (Jampersal) yang ‘dicangkokkan’ di bawah Kementrian Kesehatan RI. Melalui program-program itulah, masyarakat ‘dijinakkan’ dengan ‘jaminan sosial’ yang seolah-olah merupakan manivestasi dari SJSN.
Tentu saja, karena berbagai BUMN dan program-program bantuan kesehatan itu bukan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) sebagaimana diamanatkan SJSN, manfaat yang diperoleh masyarakat pun jauh berbeda. Dari sekitar 210 juta penduduk Indonesia, tidak sampai seperempatnya merasakan manfaat dari BUMN Asuransi dan program-program ‘jaminan sosial’ itu.
Karena itulah, ketika DPR mengambil alih pelaksanaan UU SJSN dengan menggagas UU BPJS, pemerintah pun tidak bisa ‘berkutik’. Beban Pekerjaan Rumah itu pun beralih dari pemerintah ke DPR. Ironisnya, itu pun tidak berjalan mulus.
Ganas Melibas BPJS
Di tengah image lembaga yang merosot drastis, di sudut belakang Nusantara I, di Komisi IX DPR, perjuangan DPR untuk merealisasikan RUU BPJS, terus berjalan. Seluruh Fraksi di DPR yang ada di Komisi IX, officially selalu mengatakan berkomentar pentingnya UU ini segera dibentuk. Apalagi, masyarakat semakin dipojokkan dengan mahalnya biasanya kesehatan, dan tidak adanya kepastian hukum ketika mereka beranjak tua, bahkan mati.
Masyarakat pekerja, buruh, mahasiswa hingga professional melebur dalam Komite Jaminan Sosial Nasional (KAJS). Setidaknya ada 20-an lebih organisasi masyarakat, Serikat pekerja dll, mendeklarasikan diri untuk mendukung BPJS melalui KAJS. Secara berkala, mereka menggelar pertemuan dengan hampir seluruh Fraksi di DPR untuk memberikan dukungan. Beberapa kali, KAJS juga menggelar demonstrasi di depan Kompleks Parlemen Senayan, untuk itu.
Meski tak banyak muncul di media massa, namun Panitia Khusus (Pansus) BPJS pun mulai bekerja untuk merealisasikan itu. “Sulit menyadarkan media massa tentang arti penting BPJS, dan meminta mereka ikut mengawasi RUU BPJS ini,” kata Anggota Pansus BPJS dari Fraksi PDIP, Rieke Dyah Pitaloka.
Rieke pun harus rela bergerilya mendekati media massa, atau setidaknya personal wartawan untuk menyadarkan betapa penting RUU BPJS. Termasuk, mendekati organisasi profesi, Aliansi Jurnalis Independen(AJI) Jakarta untuk memberikan ‘kuliah umum’ soal BPJS. Jurnalparlemen.com pun pernah diminta KAJS untuk berbicara dalam forum yang diselenggarakannya. Dalam sebuah survey otomatis di Jurnalparlemen.com, dari semua Berita, soal BPJS dan KAJS paling sedikit dibaca pengunjung Jurnalparlemen.com.
Tidak Tulus di Forum Pansus
Di tengah minimnya dukungan public itulah, Pansus BPJS bersidang pertama kali dengan delapan menteri pemerintah. Mungkin, inilah pembahasan UU pertama kali yang menghadirkan delapan menteri sekaligus. Menteri Keuangan, Menteri Hukum HAM, Menteri Tenaga Kerja, Menteri BUMN, Menteri PAN dan Reformasi Birokrasi, Menteri Kesehatan, Menteri Sosial dan Bappenas.
SBY seperti ingin menunjukkan bahwa pemerintah pun berkeinginan untuk merealisasikan UU BPJS, atas nama kesejahteraan rakyat. DPR mempercayakan Ahmad Nizar Shihab, Wakil Komisi IX dari Fraksi Demokrat yang menjadi ketuanya. Namun lacur. Justru terseoknya perjalanan RUU BPJS semakin tampak. Dan pemerintah menjadi beban terbesar.
Apa yang ditunjukkan pemerintah saat bertemu dengan DPR, dan dalam kenyataannya, sungguh berbeda. “Kami dan kedelapan menteri yang lain siap untuk membahas BPJS,” kata Menteri Keuangan Agus Marto Wardojo dalam rapat Pansus BPJS. Namun, saat bertemu dengan peneliti NGO asal Jerman GTZ, justru dia mengatakan lain.
“Tidak mungkin BPJS terealisasi, karena masalah fiscal,” kata salah satu peneliti GTZ, seperti yang ditirukan anggota Pansus BPJS dari PDIP, Surya Chandra Surapaty pada Jurnalparlemen.com. Peneliti itu bertemu dengan Surya Chandra setelah bertemu Menkeu. Tidak hanya itu, pada sebuah forum lobby di DPR, tidak satu pun dari delapan menteri (yang notabene diperintahkan presiden itu), hadir.
Menkeu Agus Marto sakit mata, sementara ketujuh lainnya entah kemana. “Belakangan saya tahu, satu diantara menteri yang tidak hadir itu sedang live di televisi untuk sebuah wawancara, ini contempt of parliament,” kata Rieke Dyah Pitaloka dari Fraksi PDIP. DPR pun protes keras atas hal itu. Selesaikah ‘permainan’ tarik ulur pemerintah? Tidak.
Dalam pembahasan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) RUU BPJS, pemerintah kembali memainkan perannya. Dari 150 lebih DIM yang diberikan kepada DPR, pemerintah ‘mengunci’ pembahasan hanya sampai DIM ke 11. Yang intinya mempertanyakan kemungkinan SJSN bertentangan dengan UU BUMN, bila melakukan ‘transformasi’ empat BUMN Asuransi yang ada.
Pemerintah bahkan mengusulkan untuk meminta fatwa Mahkamah Agung (MA) untuk itu. Namun, berberapa minggu berjalan, permintaan Fatwa MA oleh pemerintah itu tidak kunjung dilakukan. Pansus BPJS pun mengirim surat kepada pimpinan DPR, untuk bisa bertemu dengan Presiden SBY, dan membicarakan itu secara langsung. Para menteri dianggap tidak ada keseriusan membahas hal ini.
Presiden pun luluh. DIM lama (yang berhenti pada DIM no.11) dianggap tidak ada, dan munculkan DIM baru pemerintah. Tidak tanggung-tanggung, DIM baru itu berisi 263 DIM, dan harus dibahas di masa sidang awal 2011 ini. Ada tujuh hal krusial yang harus dibahas tuntas DPR dan pemerintah. Definisi BPJS, Jumlah BPJS, Badan Hukum BPJS, Organ/struktur BPJS, Masa Peralihan dan Implikasinya, Kepesertaan dan Iuran dan Sanksi.
Bisakah RUU BPJS tuntas pada waktunya, hingga deadline 15 Juli mendatang? Hingga tanggal 12 Juni ini, hanya sekitar 100 DIM dibahas. Itu pun belum sebuah pembahasan yang tuntas. DPR dan Pemerintah belum menemukan solusi untuk beberapa hal; Organ/Struktur, Masa Peralihan dan Implikasinya, serta Kepesertaan dan Iuran (lihat tabel selengkapnya).
Posisi Menentukan ‘Prestasi’
Dalam pembahasan RUU BPJS, DPR dan pemerintah beberapa kali sampai dalam perdebatan yang berputar-putar. Setiap argumentasi yang diberikan DPR, secara general menginginkan adanya sosok BPJS yang independen, tidak ‘terikat’ dengan pemerintah, serta dikelola oleh Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN). DPR juga menginginkan adanya transformasi secara menyluruh pada BUMN Asuransi (Jamsostek, Askes, Taspen dan Asabri). Dan keharusan persamaan hak dan kewajiban untuk seluruh peserta.
Sementara pemerintah berada dalam sisi yang berlawanan. Pemerintah di bawah Menkeu Agus Marto Wardojo itu menginginkan adanya penghapusan empat hal/kata dalam BPJS: Dana Amanat (untuk dana yang dikelola), Bantuan Iuran (untuk peserta yang tidak mampu), Dewan Jaminan Sosial Nasional dan penyebutan Pemerintah Pusat (untuk pemerintah). Adanya sosok menteri , untuk membawahi BPJS juga terus diperjuangkan. Pemerintah tidak menginginkan adanya transformasi secara menyeluruh pada Jamsostek, Askes, Taspen dan Asabri.
Hal itu berarti, dana yang dikelola oleh BPJS versi pemerintah itu nantinya tidak cuma mengelola dana amanat yang nirlaba, melainkan ada ‘sektor’ lain yang bisa dikelola untuk tidak nirlaba. Gambaran yang paling sederhana adalah seperti yang dilakukan oleh BUMN Asuransi selama ini. Sosok menteri, menurut pemerintah penting mengingat digunakannya dana APBN dalam BPJS. Menteri (khususnya Menkeu) berhak untuk mengawasi penggunaan uang APBN.
Soal penolakan transformasi BUMN Asuransi berarti keengganan untuk meleburkan Jamsostek, Askes, Taspen dan Asabri menjadi BPJS. Kok? “Karena kami menginginkan BUMN Asuransi tetap bisa mengelola dana asuransi lain, sebagai asuransi tambahan (plus) bagi orang-orang yang menginginkannya,” jelas Mulia Nasution, Sekjen Kemenkeu.
Tentu saja, DPR menolak semua usulan pemerintah itu. Karena UU SJSN jelas mengatur BPJS yang menggunakan dana amanat, nirlaba, berlaku untuk semua orang dan memperlakukan seluruh peserta dengan sederajat. Pembahasan a lot, hingga tulisan ini diturunkan, masih terus berlangsung, untuk sebuah keberhasilan membuat BPJS tentunya.
Semoga.
TABEL KESEPAKATAN TUJUH HAL KRUSIAL
I. Definisi tentang BPJS:
- Disesuaikan persis sama dengan SJSN
II. Jumlah BPJS:
- Disepakati dua BPJS (BPJS 1 dan BPJS 2).
- Nama BPJS Belum ada.
III. Badan Hukum BPJS:
- Disepakati Badan Hukum Publik
IV. Organ / Struktur BPJS:
- Disepakati dalam masing-masing BPJS terdiri dari dua ‘kotak’ yang berisi pelaksana dan pengawas.
- Belum dibahas siapa yang ada dalam ‘kotak’ pelaksana, dan siapa di ‘kotak pengawas.
V. Masa Peralihan dan Implikasinya:
- Disepakati adanya transformasi dari Jamsostek, Askes, Taspen dan Asabri menjadi dua BPJS.
- Belum disepakati berapa lama transformasi itu akan dilakukan.
- Belum disepakati apakah transformasi itu hanya berupa transformasi program atau lembaga.
VI. Kepesertaan:
- Disepakati ada di UU BPJS.
- Belum ada kesepakatan lebih lanjut.
VII. Sanksi:
- Disepakati adanya sanksi
No comments:
Post a Comment