Pada tanggal 7-8 Mei 2011, pemimpin negara-negara ASEAN bertemu ASEAN Summit ke-18 di Jakarta, Indonesia. Sebelumnya, pada tanggal 3-5 Mei 2011, lebih dari 1300 delegasi masyarakat sipil dari 10 negara Asia Tenggara terlibat di dalam ASEAN Civil Society Conference/ASEAN People Forum 2011 di Jakarta. Namun, hak-hak perempuan gagal diperjuangkan.
Secara spesifik, berbagai elemen gerakan perempuan di Asia Tenggara, termasuk Solidaritas Perempuan dari 10 daerah di Indonesia – terlibat aktif dalam mengkritisi berbagai kebijakan ASEAN. Kritik Solidaritas Perempuan (SP) berbasiskan pada pengalaman-pengalaman perempuan akar rumput yang mengalami ketidakadilan dan penindasan berlapis akibat peran gender sebagai perempuan, warga negara, buruh migran perempuan, perempuan petani, perempuan nelayan, perempuan dalam konflik bersenjata dan konflik sumber daya alam, perempuan yang hidup di dalam hukum syariah, serta kelompok perempuan lainnya yang mengalami penindasan akibat identitas politik, seksualitas dan kepercayaan tertentu.
Solidaritas Perempuan menilai negara-negara ASEAN telah gagal dalam memastikan penghormatan, pemenuhan dan perlindungan hak-hak perempuan Asia Tenggara dan Indonesia, pada khususnya. Kegagalan tersebut tercermin dalam beberapa pandangan Solidaritas Perempuan di bawah ini.
Regionalisasi Politik Ekonomi Pro-Pasar
Negara-negara ASEAN secara terbuka melayani kepentingan politik ekonomi global yang ditunjukkan dalam Pilar Ekonomi, Pilar Sosial dan Budaya, serta Pilar Politik dan Keamanan ASEAN. ASEAN telah gagal melindungi hak-hak perempuan dari berbagai kebijakan yang mendukung eksploitasi lingkungan dan sumber daya alam dan liberalisasi perdagangan.
ASEAN Economic Community Blueprint (AEC) secara jelas berorientasi pada pasar global dan meminggirkan perempuan adat, perempuan pedesaan dan kelompok minoritas. Praktik-praktik perdagangan bebas yang mematikan produksi dan konsumsi lokal terus menguatkan peran Asia Tenggara sebagai produsen dan konsumen pasar global, yang menghilangkan kedaulatan perempuan atas lahan, pangan, pekerjaan, dan lingkungan hidupnya. Perempuan kehilangan lahannya, tidak berdaulat atas pangannya, dan dipaksa bermigrasi dalam upaya mempertahankan kehidupan diri dan keluarganya. Bahkan, ketika bermigrasi, perempuan masih juga tidak mendapatkan pemenuhan dan perlindungan hak-haknya sebagai manusia, warga negara, perempuan dan pekerja, termasuk dalam hal kesehatan, khususnya kesehatan reproduksi dan HIV/AIDS.
Konsistensi ASEAN mendorong kebijakan neoliberal secara terbuka terlihat dalam politik perdangangan bebas melalui FTA dengan melupakan prinsip pelibatan masyarakat, dan upaya memenuhi keadilan sosial-ekonomi rakyat, termasuk perempuan. Liberalisasi perdagangan melalui FTA secara nyata melanggar hak-hak perempuan dalam mengelola sumber-sumber produksi pangan mereka, dan bertentangan dengan upaya rakyat dalam merebut kembali hak-haknya dalam mengelola sumber-sumber produksi yang selama ini diabaikan oleh pemerintah.
Proyek-proyek sumber daya alam, khususnya terkait energi, mineral, migas, kehutanan, perkebunan, pertanian, perikanan, hingga pengelolaan sumber daya air yang dirancang oleh ASEAN justru semakin memiskinkan perempuan dengan hilangnya lahan-lahan penghidupan, hilangnya akses atas air bersih, kerusakan lingkungan, dan akibatnya terhadap kesehatan. Bahkan, berpotensi mempercepat pemanasan global dan perubahan iklim.
Asia Tenggara merupakan kawasan yang rentan terhadap dampak perubahan iklim. Namun, ASEAN tidak juga mempunyai posisi politik yang kuat di dalam negosiasi perubahan iklim untuk mendesakkan negara-negara industri bertanggung jawab terhadap kerusakan lingkungan, eksploitasi sumber daya alam dan pelanggaran HAM. ASEAN justru terjebak di dalam skenario perubahan iklim yang dirancang oleh negara-negara industri dan lembaga keuangan internasional seperti Bank Dunia dan Bank Pembangunan Asia (WB/ADB) untuk terus menguatkan perekonomian mereka dan menyerahkan tanggung jawab merespon dampak perubahan iklim lebih kepada negara-negara berkembang melalui proyek-proyek iklim. Pendanaan iklim yang seharusnya merupakan tanggung jawab dari negara-negara industri sebagai pihak yang paling berperan dalam mengeluarkan emisi gas rumah kaca tidak dikelola untuk kepentingan negara-negara berkembang. Bahkan, negara berkembang dijadikan arena perdagangan, investasi dan jebakan hutang iklim melalui model Green Economy yang diskenariokan Amerika Serikat dan Uni Eropa.
Lemahnya Akses Keterlibatan Masyarakat Sipil dalam Proses ASEAN
Masyarakat sipil telah diakui keberadaannya di dalam Piagam ASEAN. Bahkan, jargon pemerintah negara-negara ASEAN mengatakan bahwa kebijakan dan mekanisme ASEAN berpusat pada rakyat. Tapi pada kenyataannya, rakyat dijadikan sasaran pasar untuk kepentingan perdangangan. Yang menyedihkan, tidak ada keterlibatan rakyat yang penuh dan berarti dalam seluruh proses ASEAN.
Tidak ada suatu mekanisme yang jelas untuk pelibatan masyarakat sipil di dalam proses pengambilan keputusan di tingkat ASEAN. Proses konsolidasi masyarakat sipil belum juga menjadi bagian dari proses ASEAN. Negara-negara Anggota ASEAN tidak pernah secara serius menindaklanjuti hasil-hasil dari ACSC/APF sebelumnya. Hingga kini, hak-hak petani, nelayan, dan buruh migran perempuan di kawasan Asia Tenggara terus dilanggar dan tidak ada jaminan perlindungan yang dapat memastikan penghormatan, pemenuhan dan perlindungan hak-hak perempuan. Perempuan terus menjadi pihak yang termarjinalisasi serta mengalami penindasan dan ketidakadilan. Oleh karena itu, masyarkat sipil tidak akan pernah berhenti mempertanyakan prinsip ASEAN yang berpusat pada kepentingan rakyat.
Desakan Solidaritas Perempuan
Atas dasar situasi tersebut, Solidaritas Perempuan mendesak agar:
1. KTT ASEAN 2011, sebagai proses pengambilan keputusan tertinggi di ASEAN, menghasilkan mekanisme partisipasi dan keterlibatan aktif masyarakat sipil, khususnya perempuan.
2. ASEAN merevisi ASEAN Economic Community Blueprint menjadi model pembangunan komunitas ekonomi ASEAN yang berpusat pada kepentingan rakyat ASEAN.
3. ASEAN memastikan dan menjamin implementasi dari reforma agraria yang berkeadilan jender, mencakup pengelolaan sumber-sumber produksi pangan serta perdagangan yang adil dan berpihak pada kepentingan perempuan.
4. ASEAN membangun instrumen tentang perubahan iklim yang berperspektif keadilan iklim dan keadilan jender, serta memastikan adanya standar perlindungan hak-hak perempuan dalam pendanaan, kebijakan dan proyek-proyek iklim
5. ASEAN mendesak negara-negara industri untuk memenuhi tanggung jawabnya menurunkan emisi gas rumah kaca secara drastis serta menyediakan dukungan teknologi dan pendanaan bagi negara berkembang dalam upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim yang inklusif, sensitif, dan responsif jender.
6. Negara-negara anggota ASEAN segera meratifikasi konvensi PBB tentang perlindungan hak-hak buruh migran dan anggota keluarganya, serta menghapuskan kebijakan pemutusan kontrak dan deportasi atas dasar kehamilan dan penyakit menular, khususnya HIV/AIDS, dan menyediakan jaminan perlindungan sosial termasuk ketentuan untuk pelayanan kesehatan dan asuransi medis, serta mempromosikan lingkungan kerja yang aman bagi buruh migran dan anggota keluarganya.
7. ASEAN segera melahirkan Instrumen ASEAN tentang Promosi dan Perlindungan hak-hak buruh migran pada tahun 2011 sebagai instrumen yang mengikat secara hukum, mencakup perlindungan bagi seluruh buruh migran dan anggota keluarganya tanpa memperhatikan status hukum mereka, mampu menghapuskan praktik-praktik kekerasan, diskriminasi dan segala bentuk stigmatisasi terhadap buruh migran perempuan dan anggota keluarganya, serta harus sentisitif jender di dalam proses dan praktik migrasi, termasuk mengimplementasikan rekomendasi umum No. 26 dari CEDAW tentang pengakuan atas buruh migran perempuan.
8. ASEAN membangun instrumen untuk melindungi keragaman masyarakat sipil, termasuk di dalamnya kebebasan berkeyakinan dan keragaman budaya, serta perlindungan hak otonomi tubuh dan seksualitas perempuan. | Press Release
No comments:
Post a Comment