Centre on Housing Rights and Evictions (COHRE), bersama dengan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) dan LBH Jakarta, yang juga merupakan bagian dari Koalisi Peduli Perumahan dan Permukiman untuk Rakyat (KP3R), berseru pada ASEAN. Untuk menyamakan tujuan membangun komunitas regional yang berpijak pada masyarakat dan komunitas yang "berbagi dan peduli" dengan tindakan nyata.
Seruan itu merujuk pada kegigihan isu perumahan dan hak asasi manusia, serta memperhatikan keadilan sosial dan ekonomi yang berkembang di wilayah tersebut. Sudah saatnya bagi ASEAN untuk bergerak melampaui tujuan aspirasi dan pembahasaan yang terbaik serta mengembangkan kebijakan, strategi dan rencana aksi yang konkrit, merujuk pada tantangan dalam perumahan dan hak asasi manusia yang ada di wilayah ASEAN.
Puluhan juta orang di Asia Tenggara mengalami pelanggaran hak atas perumahan dan ketidakamanan kepemilikan. Pelanggaran hak atas perumahan di Asia Tenggara terjadi sebagai hasil dari kombinasi kebijakan pemerintah tentang ekonomi dan pembangunan, kemiskinan yang meluas, marjinalisasi dan pengucilan mayoritas miskin di wilayah ini, dan kurangnya akses terhadap pemulihan yang efektif.
Perpindahan besar-besaran juga berlangsung dalam situasi konflik bersenjata, seperti di Burma di mana masyarakat diusir dari rumah dan tanahnya. Pelanggaran ini diperparah oleh iklim impunitas yang berlaku dan perilaku korupsi yang meluas dalam wilayah ini.
Pembangunan mega-proyek dan kegiatan ekstraksi sumber daya alam termasuk yang didanai atau dipinjamkan oleh IMF-Bank Dunia, Asian Development Bank dan perusahaan-perusahaan transnasional mengusir mereka yang rentan dari tanah dan rumahnya. Serta mengusir mereka jauh dari sumber penghidupan tanpa ada solusi yang baik.
Politik Retorika
ASEAN harus memastikan bahwa hak asasi manusia dan keadilan sosial harus menjadi landasan kebijakan programnya, dan pilar dari seluruh sistem ASEAN. Hal ini memerlukan tinjauan dan memungkinkan pembalikan kebijakan dan program yang merugikan rakyat, pembuatan kebijakan dan program dengan melibatkan partisipasi penuh dari masyarakat, dan sebuah reframing dari pembangunan dan kebijakan ekonomi yang menempatkan kepentingan masyarakat ASEAN
COHRE, YLBHI dan LBH Jakarta mengakui bahwa tugas utama untuk memastikan bahwa hak asasi manusia dan keadilan sosial menempati agenda, kebijakan dan program yang utama dalam masyarakat ASEAN, berada di suatu badan yang baru didirikan ASEAN. Intergovernmental Commission on Human Rights (AICHR) dan ASEAN Commission on Women and Children (ACWC).
AICHR dan ACWC harus menjamin fungsi Hak Asasi Manusia untuk melindungi, memenuhi dan mempromosikan. Kedua badan ini harus merujuk pada jangkauan luas dari hak asasi manusia termasuk hak ekonomi, sosial dan budaya. Mereka harus menjamin dan melembagakan partisipasi efektif LSM-LSM dan klien hak asasi manusia serta fungsi dan kegiatan masing-masing lembaga tersebut.
Mereka harus membantu memastikan kepatuhan pemerintah ASEAN pada komitmen hak asasi manusia internasional dan pelaksanaan yang sesuai dengan kewajiban masing-masing negara menurut Deklarasi/Perjanjian Hak Asasi Manusia yang dimilikinya. Mereka harus mengembangkan standar dan mekanisme yang efektif untuk memastikan bahwa aktor non-negara seperti perusahaan dan lembaga multi-lateral, menghormati hak asasi masyarakat di wilayah ini dan memberikan restitusi, kompensasi dan ganti rugi yang tidak mendegradasi secara ekonomi bagi individu dan masyarakat yang dirugikan dengan kegiatan mereka.
Indonesia Ketua ASEAN
Dalam perannya sebagai ketua ASEAN, Indonesia mengatakan isu Hak Asasi Manusia merupakan prioritas utamanya. Selama 2011 setelah Davos Summit yang diadakan baru-baru ini, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono melemparkan tantangan retorika dan mengumumkan rencana Indonesia untuk menjadi pemain global sejati. Dia dengan penuh keyakinan memuji demokrasi dan hak asasi manusia sebagai pilar kunci bagi pengaruh Indonesia.
Namun, untuk menjadi efektif secara global, Indonesia harus memperkuat institusinya sendiri dan memimpin dengan memberi contoh. Meski pun Indonesia telah membuat langkah besar pada sejumlah isu hak asasi manusia sejak kemunculannya dari pemerintahan sebelumnya yang otoriter, tantangan serius tetap ada yang dapat merusak stabilitas dan demokrasi di Indonesia dengan tidak adanya reformasi kelembagaan yang nyata. Kepemimpinan yang kuat diperlukan untuk melembagakan dan menerapkan nilai-nilai fundamental HAM dalam praktek.
Laporan dari UN Human Settlements Program memperkirakan 26 persen dari kehidupan perkotaan di Indonesia tinggal di daerah kumuh, dengan lebih dari lima juta penduduk kumuh di wilayah Jakarta. Banyak penggusuran di Jakarta diakibatkan adanya Peraturan Daerah Nomor 8 tentang 2007 tentang Ketertiban Umum, yang menggusur penduduk miskin karena tidak memiliki KTP Jakarta dan di anggap sebagai warga Jakarta yang ‘ilegal’.
KTP sulit atau tidak mungkin untuk diakses oleh warga miskin kota, karena persyaratan dalam Perda tersebut dan maraknya praktek korupsi. Perda ini bertentangan dengan UUD 1945 Pasal 28H ayat (1) serta beberapa Kovenan Internasional Hak asasi Manusia. Kewajiban Negara untuk menahan diri dari, dan melindungi terhadap, penggusuran paksa terhadap rumah dan tanah. Penggusuran paksa merupakan pelanggaran Hak Asasi Manusia yang diakui secara internasional, di antaranya hak atas perumahan yang layak, makanan, air, kesehatan, pendidikan, pekerjaan, keamanan orang, keamanan rumah dan kebebasan dari perlakuan kejam, tidak manusiawi dan merendahkan.
Awal tahun 2011 telah disahkan UU No. 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman tanpa konsultasi publik yang memadai, sudah tentu UU ini lahir dengan sarat pesanan Pemodal buktinya UU ini sangat berpihak kepada bisnis properti di banding akses perumahan yang layak tuk rakyat, UU ini diperparah lagi dengan ancaman kriminalisasi, Akibatnya, UU tersebut tidak mengacu pada pokok ketentuan hak atas 'perumahan yang layak' sebagaimana tercantum dalam Komentar Umum Nomor 4 Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya.
Termasuk keamanan hukum kepemilikan, ketersediaan layanan, keterjangkauan, kelayakan, aksesibilitas, lokasi dan ketercukupan budaya. UU tidak memuat ketentuan spesifik yang memastikan perlindungan terhadap kelompok rentan seperti masyarakat adat. YLBHI dan LBH Jakarta yang merupakan bagian dari KP3R, dengan bantuan dari COHRE pada tingkatan internasional, saat ini sedang mempersiapkan Judicial Review terhadap UU tersebut melalui Mahkamah Konstitusi.
Komunitas Global yang Adil
Untuk membantu memastikan bahwa hak atas perumahan dan hak asasi manusia ditempatkan dalam agenda masyarakat sipil ASEAN, COHRE, YLBHI dan LBH Jakarta secara aktif berpartisipasi dalam the 11th ASEAN Civil Society Conference (ACSC) /ASEAN People's Forum (APF) 2011, yang berlangsung dari tanggal 3-5 Mei 2011 di Jakarta. Tema ACSC/APF 2011 adalah "Mengklaim ASEAN yang berpusat pada masyarakat untuk suatu Komunitas Global yang Adil".
Sebuah lokakarya yang diselenggarakan oleh COHRE, Human Rights Education-Institute Burma, ADHOC-Cambodia, YLBHI, Dignity International and the Bank Information Center (BIC) tentang "Mengamankan Hak atas Perumahan dan Hak Asasi Manusia dan Keadilan Ekonomi untuk Asia Tenggara: Tantangan Besar bagi ASEAN " diadakan pada tanggal 4 Mei 2011.
Berbagai aktivis hak atas perumahan dari Birma, Kamboja, Indonesia dan Malaysia berbagi informasi mengenai situasi perumahan dan hak asasi manusia di lapangan dalam rangka untuk mengembangkan pemahaman yang lebih baik mengenai isu perumahan, tanah dan hak milik dalam berbagai konteks dan dimensi, dan sebagai tantangan umum hak asasi manusia di wilayah ini. Lima rekomendasi kunci yang disusun ditujukan kepada ASEAN, pemerintah di daerah dan pemangku kepentingan yang terkait lainnya.
Rekomendasi
1. ASEAN harus mengadopsi pendekatan berbasis hak serta menjunjung tinggi hak atas perumahan dan hak asasi manusia dalam wilayah ASEAN dalam melakukan pembangunan dan kebijakan ekonomi.
2. ASEAN harus mendesak dan mendorong Burma untuk mengenakan moratorium pada mega-proyek dan industri ekstraktif yang berbahaya bagi hak atas perumahan dan tanah bagi masyarakat Birma.
3. ASEAN harus mendesak negara anggota untuk memastikan bahwa kebijakan tanah dan perumahan mereka konsisten dengan standar hak atas perumahan dan hak asasi manusia yang diterima secara internasional.
4. AICHR harus mengakui dan menyatakan bahwa penggusuran paksa adalah pelanggaran berat hak asasi manusia dan perpindahan warga sipil secara massal merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan
5. AICHR harus mendokumentasikan, melakukan investigasi, pelanggaran hak atas perumahan dari negara anggota, terutama terhadap mereka yang melakukannya pada kelompok rentan (perempuan, anak-anak, lanjut usia, masyarakat adat dan penyandang cacat). | Press Release
No comments:
Post a Comment