Peringatan Hari Kartini, 21 April 2011, kali ini mengingatkan kembali betapa pentingnya pemenuhan kesehatan reproduksi perempuan. Kartini, perempuan asal Jepara, meninggal hanya empat hari setelah melahirkan. Dan hal yang sama, terus terjadi hingga kini.
Di lingkup global, pentingnya pemenuhan atas hak kesehatan reproduksi perempuan sudah diakui sejak Konferensi Dunia Pertama tentang Perempuan di Meksiko pada 1975. Indonesia pun telah meratifikasi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan (Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Agaimst Women/CEDAW) pada melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984. Pasal 12 UU No. 7/1984.
Tertulis, negara-negara peserta wajib melakukan langkah tindak lanjut untuk menghapus diskriminasi terhadap perempuan di bidang pemeliharaan kesehatan dan untuk menjamin diperolehnya pelayanan kesehatan. Sementara ayat dua menegaskan, negara wajib menjamin bahwa perempuan mendapat pelayanan yang layak berkaitan dengan kehamilan, persalinan dan masa sesudah persalinan dengan memberikan pelayanan gratis serta pemberian makanan bergizi yang cukup selama kehamilan dan masa menyusui.
Perlindungan atas hak reproduksi perempuan lantas diperkuat Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Pasal 76 ayat 2 UU No.13/2003 dengan tegas melarang perusahaan mempekerjakan pekerja perempuan hamil yang menurut keterangan dokter berbahaya bagi kesehatan dan keselamatan kandungannya jika bekerja antara pukul 23.00 hingga 07.00.
Bila mempekerjakan perempuan hamil, perusahaan wajib memberikan makanan dan minuman bergizi. Selain itu, perusahaan wajib menyediakan angkutan antar jemput bagi pekerja perempuan yang berangkat dan pulang kerja antara pukul 23.00 hingga 05.00.
Pasal 81 UU No. 13/2003 juga menyebutkan bahwa pekerja perempuan yang dalam masa haid merasakan sakit dan memberitahukan kepada perusahaan, tidak wajib bekerja pada hari pertama dan kedua pada waktu haid. Pekerja perempuan juga berhak memperoleh istirahat selama 1,5 bulan sebelum dan 1,5 bulan sesudah melahirkan. Bagi pekerja yang mengalami keguguran kandungan berhak memperoleh istirahat 1,5 bulan atau sesuai surat keterangan dokter.
Adapun Pasal 83 UU No.13/2003 menyatakan bahwa pekerja perempuan yang anaknya masih menyusu harus diberikan kesempatan sepatutnya untuk menyusui anaknya jika hal itu harus dilakukan selama waktu kerja.
Lantas, bagaimana kondisi kesehatan reproduksi jurnalis perempuan Indonesia ? Menurut diskusi para peserta workshop yang digelar Aliansi Jurnalis Independen (AJI) di empat kota pada 2009, jurnalis perempuan Indonesia rentan terhadap pengabaian hak kesehatan reproduksinya.
Misalnya, kebanyakan perusahaan media tidak menyediakan fasilitas khusus (ruang menyusui) agar jurnalis perempuan bisa memperoleh hak menyusui atas anaknya. Hanya perusahaan media besar yang sudah menyediakan ruang khusus menyusui itu. Misalnya, Trans TV, Metro TV, dan TV One. Beberapa perusahaan media juga telah memberikan cuti haid kepada jurnalis perempuan yang mengalami rasa sakit kala bekerja pada masa haid pertama.
Merujuk pada perintah undang-undang dan praktek di tempat kerja yang belum ideal, pada peringatan Hari Kartini ini, AJI Indonesia kembali menyerukan perusahaan media segera memenuhi hak-hak para pekerjanya, terutama yang berkaitan dengan kesehatan reproduksi jurnalis perempuan. Misalnya hak cuti haid dan cuti melahirkan. AJI juga meminta agar perusahaan media memberikan dukungan penuh kepada jurnalis perempuan yang menyusui.
Perusahaan media juga harus memberikan jaminan keselamatan dan kesehatan kerja kepada jurnalis perempuan dan keluarganya seperti pelayanan medis rawat jalan oleh dokter umum, rawat jalan dokter spesialis, rawat inap di rumah sakit, perawatan kehamilan dan persalinan serta pelayanan penunjang lainnya.
Tidak lupa, pemberian jaminan sosial tenaga kerja kepada jurnalis perempuan dan pelatihan kepada jurnalis perempuan tentang pentingnya pemeliharaan kesehatan reproduksi. Diusakana memberikan fasilitas antar jemput khususnya kepada jurnalis perempuan yang hamil.| Press Release | Alida Bahaweres
No comments:
Post a Comment