Peristiwa ini bermula ketika 30-an anggota FPPKS (Forum Paguyuban Petani Kebumen Selatan) berziarah ke makam 5 anak mereka, di dukuh Godi, Setrojenar (400 meter dari Markas—Dislitbang TNI), yang meninggal akibat terkena jeblugan—ledakan bom mortir pada 22 Maret 1997.
Seperti diketahui wilayah ini sudah menjadi tempat latihan TNI semenjak tahun 1982—sementara dari pihak TNI mengakui, sudah menjadi tempat latihan perang sejak tahun 1937. Pada saat yang bersamaan, TNI sedang melakukan latihan menembak di wilayah Ambal, sebelah timur Kecamatan Bulus Pesantren.
Usai berziarah, rombangan FPPKS mendapat informasi bahwa anggota TNI telah merusak blokade yang dibuat oleh warga semenjak beberapa hari sebelumnya, 11 April 2011. Pembangunan blokade oleh warga, merupakan bentuk penentangan warga atas kegiatan latihan TNI di tempat itu. Rombongan kemudian bergabung dengan pemuda dan petani Setrojenar yang sudah berada di Jalan Diponegoro, sebelah selatan Jln. Daendels-lintas selatan Jawa, untuk membangun kembali blokade yang rusak.
Warga juga meminta agar TNI tidak memprovokasi warga Setrojenar dan sekitarnya, dengan tidak merusak blokade yang sudah dibuat. Kesal dengan ulah aparat TNI, warga kemudian merobohkan gapura utama Dislitbang TNI yang berada di dekat kantor Kecamatan Bulus Pesantren-Jalan Daendels.
Ketika warga akan kembali ke desa, TNI sudah berbaris di jalan dengan kondisi siap tembak. Tanpa diduga dan tanpa peringatan, puluhan tentara menyerang warga, akibatnya 6 (enam) orang warga terkena tembakan. Tentara juga memukuli warga dengan popor senapan, merampas dan menghancurkan alat komunikasi-handphone milik warga. Mereka yang terkena tembakan dan pukulan kemudian dibawa ke sejumlah rumah sakit di Kebumen.
Tidak berhenti disitu, pada sore harinya, aparat TNI juga melakukan sweeping terhadap rumah-rumah warga. Akibat tindakan ini warga mengalami ketakutan dan trauma, sehingga sebagian warga belum berani untuk kembali ke rumah mereka masing-masing.
Menyikapi peristiwa tersebut, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), serta Public Interest Lawyers Network (PIL-Net) mengutuk keras tindakan tentara yang menembak, memukul dan bahkan melakukan sweeping terhadap warga Urut Sewu. Serangkaian tindakan tersebut menunjukkan dua hal penting: Pertama, tindakan tersebut merupakan bukti brutalitas khususnya TNI-AD.
Penembakan dengan peluru tajam yang diarahkan langsung pada warga merupakan tindakan penggunaan kekerasan yang berlebihan (the excessive use of force) dari perangkat opresif negara. Kedua, tindakan ini merupakan ancaman serius terhadap kredibilitas pemerintah dalam menegakkan negara hukum, dimana entitas di luar aparat penegak hukum secara sewenang- wenang dapat mengambil alih fungsi aparat penegak hukum, khususnya kepolisian, dan bertindak main hakim justru dengan peralatan (senjata) yang diperoleh dari hasil pembayaran pajak rakyat yang semestinya dilindunginya.
Tindakan kejam dan tidak manusiawi yang dilakukan oleh anggota TNI-AD dari Kodam IV/ Diponegoro, secara jelas telah bertentangan dengan tugas dan fungsi anggota TNI sebagaimana diatur dalam UU No. 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia, yang dalam pembukaannya menyebutkan, bahwa keberadaan anggota TNI adalah untuk melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut serta melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.
Penyerangan terhadap warga Desa Urut Sewu, juga merupakan pengingkaran atas jati diri TNI, yaitu sebagai Tentara Profesional, dengan kriteria sebagai tentara yang terlatih, terdidik, diperlengkapi secara baik, tidak berpolitik praktis, tidak berbisnis, dan dijamin kesejahteraannya, serta mengikuti kebijakan politik negara yang menganut prinsip demokrasi, supremasi sipil, hak asasi manusia, ketentuan hukum nasional, dan hukum internasional yang telah diratifikasi, sebagaimana dijelaskan Pasal 2 huruf d UU No. 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia.
Peristiwa ini sekali lagi menunjukkan bagaimana tentara telah kehilangan profesionalitasnya dengan merespon tuntutan-tuntutan warga dengan tindakan represif dan tidak manusiawi.
Melihat fakta-fakta di atas, ELSAM dan PIL-Net mendesak:
1. Panglima TNI memerintahkan penyelidikan secara terbuka dan profesional kepada para pelaku; mengajukan para pelaku ke pengadilan dan membuka akses kepada masyarakat sipil dalam pemantauan proses peradilannya;
2. Menteri Pertahanan sebagai penanggung jawab kebijakan dan strategi pertahanan serta dukungan administrasi, segera melakukan pemeriksaan dan evaluasi terhadap aktivitas TNI-AD dari Kodam IV/Diponegoro di Desa Urut Sewu, Kabupaten Kebumen, Jawa Tengah;
3. Kepala Staf Angkatan Darat untuk menerapkan pendekatan yang komprehensif untuk dapat mengerti dengan lebih baik duduk persoalan; dan memerintahkan segenap jajarannya untuk menghormati dan melindungi hak-hak asasi manusia dalam menjalankan tugasnya;
4. Panglima Kodam IV/Diponegoro mengawasi dan membina anggota-anggotanya dalam menjalankan tugasnya;
5. Kepolisian Republik Indonesia cq. Kapolda Jawa Tengah untuk melakukan penyelidikan terhadap tindakan tentara dari Kodan IV/Diponegoro yang menyalahi hukum pidana umum, serta melakukan penyidikan terhadapnya;
6. Gubernur Jawa Tengah dan Bupati Kebumen beserta jajarannya sebagai pemegang kekuasaan di daerah untuk tanggap terhadap konflik yang telah berjalan hampir 30 tahun ini dan mengedepankan perlindungan terhadap warganya guna meminimalisir konflik yang dikhawatirkan akan meluas;
7. Komnas HAM segera menyelidiki indikasi pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan aparat TNI dalam persitiwa ini.
Data Korban Luka dari Warga
1. Kusriyanto (29 th)
2. Samsudin (27 th)
3. Surip Supangat (Kades Setrojenar - 38 th)
4. Mustofa (65 th)
5. Aris Panji (45 th)
6. Mulyanto (21 th)
7. Kasantri (19 th)
8. Sarwadi (29 th)
9. Ilyas (35-an th)
10. Martijo (32 th)
No comments:
Post a Comment