Tiga terdakwa pembunuh wartawan SUN TV Ridwan Salamun, Rabu (9/3) divonis bebas Pengadilan Negeri Tual, Maluku. Hakim menilai ketiganya tidak bersalah melakukan tindak pidana pembunuhan terhadap Ridwan.
Sebelumnya jaksa penuntut umum (JPU) Jafet Ohelo, menuntut tiga terdakwa dihukum delapan bulan penjara. Ketiga terdakwa tersebut yakni Hasan Tamnge, Ibrahim Raharusun dan Sahar Renuat.
Dalam amar putusannya yang dibacakan majelis hakim yang diketuai Jimmy Wally menyebutkan, ketiga terdakwa dinyatakan tidak bersalah atas dakwaan pembunuhan yang diajukan JPU.
Menurut majelis, vonis tersebut didasari atas sejumlah fakta di persidangan, baik keterangan saksi-saksi, keterangan terdakwa, barang bukti, alat bukti surat, serta fakta hukum yang sesuai dengan pasal 170 KUHP, ayat 2 dan 3. Tidak terbukti melakukan pembunuhan karenanya harus dibebaskan demi hukum.
Vonis hakim ini sangat menohok rasa keadilan pekerja Pers di Maluku dan rasa keadilan keluarga. Fakta bahwa ada korban yang tewas dan barang bukti yang dihadirkan di persidangan benar-benar diabaikan oleh hakim.
Sejak awal kasus ini berlangsung, MMC yang juga melakukan investigasi bersama Komnas HAM, menemukan sejumlah keganjilan, di antaranya, sejumlah saksi yang memberatkan para terdakwa sama sekali tidak dimintai keterangan oleh polisi.
Fakta bahwa adanya video dan foto yang menunjukkan adanya kamera milik Ridwan saat almarhum tergeletak bersimbah darah tidak dijadikan barang bukti, bahkan kamera Ridwan sama sekali tidak ditemukan.
Komnas HAM diabaikan
Padahal, saat jumpa pers dengan wartawan, pada 21 Agustus 2010, Kapolda Maluku waktu itu, Brigjen Totoy Herawan Indra juga mengakui bahwa korban sedang melakukan tugas jurnalistiknya dan kamera korban akan dicari sebagai barang bukti, faktanya pernyataan ini diabaikan dan kamera Ridwan raib begitu saja.
Komnas HAM dalam jumpa pers di Ambon, setelah melaporkan hasil investigasinya kepada MMC, juga menyatakan kesediaannya menjadi saksi di persidangan jika para saksi yang memberatkan ini tidak berani hadir di persidangan, faktanya hingga vonis dijatuhkan keterangan Komnas HAM sama sekali juga diabaikan, dan tidak pernah dihadirkan ke persidangan.
Selain itu, keganjilan lainnya adalah, saat P21, berkas perkara yang dilimpahkan Polres Maluku Tenggara kepada Kejaksaan Negeri Tual, pada 21 Oktober, Kapolres Maluku Tenggara, AKBP Saiful Rahman dihadapan wartawan juga menyatakan semua barang bukti sudah lengkap dan ketiga tersangka dijerat dengan pasal 338 KUHP, ternyata dalam dakwaan dan tuntutan Jaksa Penuntut Umum Jafet Ohello berubah menjadi pasal 170 KUHP, dengan maksimal penjara 12 tahun dan minimal 5 tahun, namun tuntutan JPU hanya 8 bulan penjara.
Muara proses hukum ini kemudian berakhir pada vonis hakim Pengadilan Negeri Tual yang membebaskan para terdakwa, pertanyaannya jika ketiga terdakwa tidak terbukti melakukan penganiayaan yang berujung pada terbunuhnya Ridwan Salamun, lalu siapa yang membunuh Ridwan.
Faktanya Ridwan tergeletak hampir dua jam bersimbah darah sebelum dievakuasi ke rumahsakit dan akhirnya tewas. Ada korban, ada barang bukti, ada pelaku. Namun kemudian semuanya menjadi absurd dan tidak sesuai logika hukum ketika vonis hakim membebaskan para terdakwa.
Vonis hakim ini merupakan preseden buruk bagi Kemerdekaan Pers di negara demokrasi ini juga menjadi awal matinya hukum di Maluku. Untuk itu MMC mendesak Kejaksaan Agung meminta JPU melakukan banding atas vonis hakim tersebut.
MMC juga meminta kepada Komisi Judisial, agar mengevaluasi ketiga hakim di PN Tual. MMC juga akan terus melakukan advokasi ke tingkat tertinggi dari proses hukum ini untuk mencari keadilan bagi Ridwan Salamun dan bagi Kemerdekaan Pers di Maluku. | Insany Syahbarwaty
No comments:
Post a Comment