Jika ada orang bilang bahwa tugas sastra di antaranya adalah untuk memperhalus sebuah pesan dan makna serangkaian kejadian, The Souls: Moonlight Sonata berhasil melakukan tugas ini secara baik.
Lebih dari sekadar mengungkap serangkaian kejadian, Wina Bojonegoro membuat novel ini menjadi sebuah perayaan imajinasi dan kekayaan rasa antara kepolosan, perkara hidup, cinta, dan kasih sayang yang dibalut secara apik. Kekuatan energi alam, jiwa-jiwa yang hidup, mengantarkan para tokoh memasuki dunia yang penuh haru-biru dan pergolakan. Dan, "Musiklah yang menyatukan para pecinta dan cintanya".
The Soul adalah novel 4 seri yang berkisah tentang perjalanan sebuah warisan biola selama 7 turunan generasi. Dia datang untuk mencari garis darah, dimana cinta dan kasih sayang dipertanyakan sepanjang hidup seorang anak manusia.
Moonlight Sonata adalah serpihan pertama. Berkisah tentang biola yang menjadi alat pemersatu bagi anak-anak manusia. Kelahiran yang tak dikehendaki pun berubah menjadi sebuah entitas yang mewarnai kehidupan seorang perempuan muda bernama Padmaningrum.
Endang Winarti yang lebih akrab dipanggil Wina Bojonegoro, memang seorang cerpenis yang berasal dari kota Bojonegoro. Dalam The Souls, Ia merangkai cerita tentang kehidupan Padmaningrum yang menggelinding kearah berbeda seiring perjalanan sang biola bersejarah yang memiliki perjanjian leluhur.
Ketenaran dan kemahiran akhirnya justru menggelinding kearah jurang kiamat. Prestasi dan ketenaran yang semula direncakan sebagai medan magnit bagi sang ayah, ternyata menjadi medan magnit bagi cinta lain, cinta yang absurd. Tapi toh roda kehidupan harus terus berjalan, perjuangan belum selesai. Hidup baru saja dimulai, meskipun berdarah. Kata siapa kematian adalah akhir? Bagi James dan Padma, kematian justru awal segalanya.
Dr. Sugeng Susilo Adi, M.Hum.,M.Ed , Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Brawijaya yang menjadi testimoner pembaca novel The Souls mengatakan,"Membaca Wina Bojonegoro ini adalah membaca rangkaian kata-kata hidup yang magis mengalir lewat kalimat yang tali-temali menjadi paragraf yang hidup pula.
Dan, yang paling saya suka dari tulisan Wina Bojonegoro adalah monolog 'aku' bahwa apa yang ada di dalam hati sang 'aku' dia tampilkan dalam rangkaian kata-kata magis yang sangat-sangat enak disimak. Ungkapan perasaan 'aku' yang dia tampilkan terkadang nakal, menggelitik, filosofis, menyindir ke-’ego’-an kita”.
Wina berharap novel pertamanya ini akan diterima baik oleh pembaca sehingga ia akan mampu menuliskan serial selanjutnya dari The Soul.
No comments:
Post a Comment