Syarif Wadja Bae
Riuh dengan dentum turun memberi ratusan
pijakan bundar, basah dan berbunyi renyah tapi Cuma sekejap.
menyaksikan siang dengan kepala yang hampir pecah.
ini tetes keringat di padang tandus.
Melihat bunga, indah.
Inginku petik tapi bukan aku yang menanam dan merawatnya.
Pada saat yang lain, kutemukan bulan dengan lekuk manis.
Maksud hati menyapa dengan lesung pipiku tapi aku tak yakin
kalau separuh bulan itu tersenyum padaku karena di sekitarku banyak naga belang yang turut senyum padanya.
Di simpang lima kota, aku dapati sedikit air dalam gelas retak
Di sebelahnya ada sisa tinta dalam botol mungil lalu ada suara berbisik.
”Pilih tinta atau air ?” Aku jawab. ”Pilih dua-duanya”.
Mungkin bisa aku campur jadi satu dan kemudian kulukis sesuatu.
Tapi disini tak ada kanvas.
Lagipula aku tak pandai melukis.
Memang.
Resah selalu singgah pada jiwa yang tak kenal lelah, mengerucut untuk mengubah yang harus dirubah.
Tapi kali ini aku bingung. mungkin butuh perhentian sejenak
Mengingat kembali apa yang telah terekam,
(riuh yang berdentum, bunga yang indah, bulan yang tersenyum, sedikit air dan tinta dalam botol mungil).
Kemudian aku belajar melukis agar ada cerita diatas kanvas itu yang bisa dijadikan cermin.
Syarif Wadja Bae
April 2010
| republish | Please Send Email to: iddaily@yahoo.com |
No comments:
Post a Comment