Jojo Raharjo
Menyaksikan secara khusus pemutaran perdana “The Book of Eli” di Djakarta Teater, saya mencermati film yang masuk dalam genre action ini dikemas dengan pesan moral khusus, dengan mengambil latar belakang kondisi dunia pasca perang nuklir. Nice!
Rubrik film kita kali ini mengupas film Hollywood berjudul “The Book of Eli”, film terbaru Denzel Washington yang sedang tayang di jaringan bioskop 21 dan XXI di Indonesia. Saat itu, 30 tahun paska perang nuklir, dunia sudah tak sama lagi. Amerika menjadi padang gurun, manusia sangat jarang junmlahnya, dan mereka saling bunuh demi barang sepele seperti makanan kaleng, air, dan shampo.
Tersebutlah seorang musafir bernama Eli (diperankan secara luar biasa oleh Denzel Washington) yang terus berjalan menyusuri padang gurun nan penuh dengan kejahatan demi sebuah misi sucinya. Dari sinilah, actioon demi action terus tergelar.
Dalam perjalanannya menempuh kehidupan yang keras, Eli membawa sebuah ransel berisi bahan bahan kebutuhannya sehari hari. Saat itulah, seorang pemimpin kota yang jahat bernama Carnegie, diperankan oleh Gary Oldman, tahu bahwa di dalam ransel Eli tersembunyi sebuah buku yang dicarinya. Fokus film kemudian berubah dengan berbagai adegan aksi bagaimana Eli mencoba mempertahankan buku itu bersama anak angkat Solara, anak angkat Carnegie yang berpihak padanya.
Carnegie dan pengikut setianya terus memburu Eli, yang mati-matian mempertahankan buku itu meski terus dikepung komplotan jahat bersenjata lengkap. Melalui serangkaian adu tembak, buku itu memang akhirnya berpindah tangan ke kelompok penjahat, namun tragis bagi Carnegie karena mereka tak dapat membaca buku yang ternyata ditulis dalam huruf braille.
Akan halnya Eli, ia dapat menyelamatkan diri menuju sebuah pulau yang mencetak ulang semua buku yang telah musnah di muka bumi ini. Dengan hafalan dalam memori di kepalanya, Eli menulis ulang seluruh isi buku itu, yang ternyata merupakan Kitab Suci versi King James.
Eva Mindardjatims, wartawati Astaga dot Com yang menyaksikan pemutaran perdana “The Book of Eli” memuji alur cerita dalam film ini. “Bagus banget.. dari awal sampai akhir nonton, kita tak menduga alur ceritanya dan ending-nya seperti apa. Pada akhirnya kita menebak buku itu apa, yang ternyata ada misteri lagi di balik itu. Dalam banget pesannya,” kata Eva.
Eva menegaskan, untuk mendapat pesan utuh dari film ini, seorang penonton harus menyimak secara sabar karena film ini memang kuat dalam pesannya, tapi secara ketegangan atau suspense yang disajikan sebenarnya masih standar. “Suspense sih tidak terlalu banyak, kecuali memang ketegangan saat pembunuhan misalnya. Tapi itu wajar, karena dalam situasi zaman paska perang abad keduapuluh sekian itu, pilihannya kalau mau selamat ya harus bunuh orang,” kata Eva tentang “The Book of Eli” yang diproduksi oleh Warner Bross Pictures.
| republish | Please Send Email to: iddaily@yahoo.com |
No comments:
Post a Comment