19 March 2010

Ruang di Antara Perang dan Kebenaran

Jojo Raharjo

Kembali kita membahas film Hollywood yang saat ini sedang “in” diputar di jaringan bioskop 21 maupun XXI. Kali ini kita akan membedah film berjudul ”Green Zone”, yang dibintangi aktor Matt Damon dan mengambil setting tentang Perang Irak tujuh tahun lalu.





”Green Zone” menyampaikan kritik atas invasi tentara Amerika ke Irak untuk mencari senjata pemusnah massal yang tak pernah terbukti keberadaannya. Tokoh utamanya Roy Miller, diperankan Matt Damon, yang berperan sebagai Kepala Pasukan Khusus AS di Irak yang selalu penasaran karena gagal menemukan senjata pemusnah massal seperti dituduhkan dimiliki negeri 1001 malam itu. Sering Miller dan pasukannya mengaduk-aduk sampah dan menyisir jalanan berdasarkan info intelijen, tapi kemudian kembali dengan tangan hampa.

Miller merasa dipermainkan dan yakin ada sesuatu yang tidak beres dengan badan intelijen yang terkesan memberikan informasi asal-asalan. Hal ini semakin diperkuat dengan dukungan dari kepala CIA di Bagdad, Martin Brown yang menegaskan bahwa semua berkaitan dengan isu politik pemerintahan Amerika. Akhirnya dengan bantuan seorang pemuda lokal Irak bernama Freddy, Miller dan kelompoknya berusaha menguak misteri yang ada.
Green Zone disutradarai oleh Paul Greengrass, yang juga berperan di balik sequel “Bourne” dengan Matt Damon sebagai bintang utamanya. Dengan sutradara dan aktor yang sama, diharapkan penggemar serial “Bourne” datang menonton film ini. Green Zone diadaptasi dari novel karya jurnalis The Washington Post Rajiv Chandra Sekaran.

Film Green Zone juga menarik untuk pelajaran bagi dunia jurnalisme, karena dari film ini didapat pelajaran betapa media memiliki keterlibatan besar dalam kebijakan sebuah negara, termasuk saat sebuah pemerintahan harus mengambil keputusan untuk perang atau tidak.

Diceritakan, wartawan Wall Street Journal, Lawrie Dayne ikut menurunkan tulisan bohong tentang adanya senjata pemusnah massal di Irak. Selanjutnya, terjadi pergolakan batin dari diri si wartawati. Di satu sisi batinnya menentang kebohongan, namun di sisi lain ada dilema karena pemerintahnya menghendaki seperti itu.

Setelah pemutaran perdana Green Zone khusus untuk kalangan media selesai, saya berbincang dengan Sesilia Nuke Ernawati, wartawati Suara Pembaruan yang menonton pemutaran perdana Green Zone menegaskan, film ini mampu membawa penonton terhindar dari suasana bosan. “Temanya sebenarnya biasa, seperti film-film lain yang mengangkat perang Iran-Irak, bahwa ada misi yang tidak benar dari pemerintah. Bedanya, film ini mampu menggiring penonton hingga ke ending cerita sebelum rasa bosan menyergap,” kata Nuke.

Nuke juga menggarisbawahi sisi khusus dari film Green Zone yakni adanya upaya menyingkap kebenaran seberapa sulitnya usaha itu dilakukan. “Mungkin banyak penyimpangan lain di pemerintahan yang harus diungkap, tak hanya soal perang. Tapi memang masih sulit mengharapkan hal serupa bisa diterapkan di Indonesia, bagaimana mengungkap kebenaran sejarah lewat film,” katanya.

Di sela-sela nonton Green Zone, saya juga berkirim pesan pendek dengan Rommy Fibri, jurnalis yang tiga kali ke Irak, sebelum, saat dan setelah Saddam Hussein jatuh. Saya mengagumi sikap film-film Hollywood yang dengan berani mengkritik kebijakan pemerintah AS, seperti saat mengecam penyerangan ke Iraq tanpa bukti nyata bahwa negara itu memiliki senjata pemusnah massal.

Ah, seandainya saja film-film kita mampu mengkritik peristiwa-peristiwa sosial yang masih misterius, seperti Peristiwa 1965 maupun tragedi-tragedi lainnya. “Ya bedalah. Dunia film Amrik sudah mengalami represi tahun 1960-an saat masa perang dingin. Lha film kita saja masih berkutat soal hantu dan arisan brondong,” balas Rommy dalam pesan pendeknya.

| republish | Please Send Email to: iddaily@yahoo.com |

No comments:

Post a Comment