Press Release
Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) Jakarta memutuskan kasus Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) PT Media Interaksi Utama terhadap Ketua Serikat Pekerja Suara Pembaruan, Budi Laksono, tidak sah dan batal demi hukum.
Hubungan kerja antara PT MIU dengan Budi Laksono dinyatakan belum putus, sehingga yang bersangkutan harus dipekerjakan kembali seperti semula sebagai wartawan Pembaruan.
“Tindakan PHK tidak sah secara hukum,” ungkap Ketua Majelis Hakim Sapawi SH didampingi dua hakim anggota dalam putusan yang dibacakan dalam persidangan di Jakarta, Kamis (11/3).
Sapawi menyebutkan, PHK yang diajukan bertentangan dengan Pasal 168 Ayat (1) Undang-Undang No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Ia menilai, undangan pertemuan yang dilayangkan oleh PT MIU dan dihadiri oleh Budi Laksono pada 24 Februari 2009 tidak dapat dikatakan sebagai pelaksanaan Pasal 168 Ayat (1) UU No.13 Tahun 2003. Sebab, pada waktu yang bersamaan, PT MIU justru memberikan surat PHK yang telah dipersiapkan sejak 23 Februari 2009.
“Pertemuan tanggal 24 Februari baru bisa disebut sebagai pelaksanaan Pasal 168 Ayat (1) UU No.13 Tahun 2003 apabila pada saat itu tergugat rekonvensi (PT MIU) memerintahkan penggugat rekonvensi (Budi Laksono) untuk bekerja sebagaimana mestinya,” ungkap Sapawi.
Mengingat tindakan PHK tidak sah secara hukum, maka mengacu Pasal 151 Ayat (3) jo Pasal 155 Ayat (1) UU No.13 Tahun 2003, surat PHK No.01/Kpts/Dir/SDM/PHK/MIU/09 Tanggal 23 Februari 2009 dinyatakan batal demi hukum. Atas keputusan ini, Majelis Hakim menghukum PT MIU agar mempekerjakan kembali Budi Laksono sebagai wartawan.
“Hubungan kerja antara penggugat (Budi Laksono) dan tergugat (PT MIU) belum putus. Maka, PT MIU harus memanggil dan mempekerjakan kembali Budi Laksono seperti semula sebagai wartawan Suara Pembaruan,” tegas Sapawi.
Selain itu, Majelis Hakim juga menghukum PT MIU agar membayar gaji Budi Laksono sejak bulan Maret 2009 disertai membayar uang paksa (dwangsom) sebesar Rp 200.000 per hari terhitung sejak putusan berkekuatan hukum tetap.
“Upah penggugat (Budi Laksono) harus dibayar sejak bulan Maret 2009 sampai keputusan ini berkekuatan hukum tetap. PT MIU juga harus membayar uang paksa (dwangsom) sebesar Rp 200.000 per hari untuk setiap kelalaiannya sejak keputusan hukum tersebut berkekuatan hukum tetap,” kata Sapawi menandaskan.
Ketua Divisi Litigasi Lembaga Bantuan Hukum Pers, Sholeh Ali, sebagai kuasa hokum Budi menyambut baik putusan Majelis Hakim. Ia juga berharap putusan ini dapat menjadi pelajaran bagi perusahaan media massa agar tidak sewenang-wenang memecat karyawannya. “Apalagi karyawan tersebut aktif di Serikat Pekerja,” kata Ali.
Menanggapi putusan Majelis Hakim, Budi Laksono mengaku lega. Selama ini, pimpinan PT MIU selalu sesumbar bahwa perusahaan tidak bisa dikalahkan karena memiliki banyak uang. “Ternyata masih ada keadilan di negeri ini yang tidak bisa dibeli. Putusan ini mematahkan arogansi perusahaan,” ujar Budi.
No comments:
Post a Comment