Senja Madinah | Bagian II
“Nak, nyingkri, nak. Ndang nyingkri! (Nak, pergi nak, cepat pergi)” Sergah ibu, sambil berusaha memeluk erat kaki bapak, menghalangi serangan berikutnya. Aku tak punya pilihan lain. Aku menyambar tas yang tergolek di lantai. Lari sekencang mungkin. Menerobos kerumunan tetangga. Menuju jalan utama.
Dan begitulah pelarian keempat dalam hidupku. Karena laki-laki yang dinikahi ibuku. Karena laki-laki yang selalu melihat buah dadaku, saat bicara denganku. Ketergesaanku mulai mengendur saat kakiku merasakan panas aspalt hotmix yang mulai merayap hingga lututku. Aku bahkan tak sempat memakai alas kaki. Langkahku terhenti di warung kelontong nyaris tak terlihat di ujung jalan arteri, pinggiran kota menuju ke arah alun-alun kota. Sebatang pohon rindang menyelamatkanku dari sengatan matahari langsung.
Aku merogoh saku. Melihat sisa harta. Sepuluh ribu tiga ratus rupiah. Aku menelan ludah. Rasa lapar menyergap seiring kesadaran kemiskinan yang menyergapku sekarang. Tenggorokanku pun mengalami tuarang. Ludah di mulutpun kupaksakan masuk ke dalamnya untuk membuatnya sedikit basah. Meski gagal. Aku bimbang untuk membeli sandal atau menyelamatkan perutku dari kelaparan atau memberikan pertolongan pada tenggorokanku dari rasa haus.
Aku kembali berjalan melewati toko kelontong. Menghampiri sebuah rumah toko penjual roti. Aku melongok ke dalam toko. Ku lihat seorang pelayan toko sedang melayani lima pembeli. Dan seorang perempuan separuh baya sedang duduk di kursi kasir menghitung uang, sambil tangan kanannya tak lepas dari benda ajaib berisi angka.
“Cik, saya minta air pam di pancuran depan, ya?” Aku meminta ijin pada perempuan yang sedang duduk di kursi kasir itu. Semula ia acuh, tetap memencet-mencet tuts kalkulator. Tetapi, matanya memicing melihat kakiku yang bertelanjang dan kostum awut-awutanku. Jenak berikutnya, ia mengibaskan tangan kanannya, kembali tak peduli.
Aku membasahi tenggorokanku dengan air pam itu. ku minum sebanyak-banyaknya, berharap bisa menghilangkan rasa laparku pula. Setelah itu membasuk kaki dan mukaku dengan air itu.
“Kenapa nggak pakai sandal?” Tiba-tiba suara cempreng dari toko kelontong menyapa. Aku menoleh, tak tahu harus menjelakan apa. Tanpa terduga, ia justru menawarkan pekerjaan padaku. Setelah berbaik hati memberiku sandal jepit sebelah kana semua. Aku menerimanya sebagai sebuah berkah.
“Oe bisa antal lu olang ke Tanjung Pinang aa, jadi pelayan lestolan di sana. Gajinya besal, (Saya bisa antar kamu ke Tanjung Pinang, jadi pelayan restoran di sana. Gajinya besar)” Bujuknya dengan suara yang sengau hampir tertindas ludah. Aku ragu.
“Tak usah pikil biaya, Oe bisa sediakan dulu. Nanti kamu bayal pake gaji yang kamu dapat. Dicicil setiap bulan,” Ia seolah bisa membaca pikiranku. Aku mengangkat dagu. Takut-takut melihat seluruh tubuhnya yang gembil berwarna putih dengan gajih di pipi, lengan bahkan mungkin pahanya. Aroma tubuhnya sedikit mengganggu perutku yang keroncongan belum makan.
“Jadi TKW Cik?” Tanyaku meminta penjelasan.
“Haiyaaa… Tolol kali lu ya, Tanjung Pinang masih di wilayah Indonesia, aa. Tapi dekat dengan singapuul, Malaysia,” Jelasnya, geregetan. “Kelja jadi TKW lu cuma dijadiin jongos, di lumah. Jadi gak bisa gaya-gaya. Belum lagi kalo lu dipukuli majikan. Tapi, di Tanjung Pinang, lu jadi pelayan lestolan. Kalau mau jadi altis juga bisa,” Dari penjelasan panjang itu, yang ku mengerti hanya 10 persen.
“Saya nggak bawa ijazah, Cik,”
“Tak usah pikil-pikil ijajah. Di sana mau kelja, bukan mau kasih pamel ijajah,” Ia menepuk-nepun pundakku.
Aku hanya sempat menelephon ibu dan mengatakan niatku untuk bekerja di tanjung pinang. Ada 7 orang lagi bersamaku, saat berangkat ke Tanjug Pinang. Ku lihat mereka. Perbedaan usia yang ekstrim. Aku yang berusia hampir 18 tahun, ada perempuan yang menurutku sekitar 30 tahunan. Seorang ibu-ibu yang duduk bersamaku kini malah berusia hampir 50 tahun! Ah, mungkin ia bertugas sebagai juru masaknya.
Tacik yang penuh dengan gelambir gajih itu berubah sikap saat perjalanan menuju Tanjung Pinang. Menjadi judes dan culas. Tak ada lagi makan gratis setelah kami berada di mini bus dan kapal laut. Uangku yang tinggal sepuluh ribu dirampas, dengan alasan membayar konsumsi. Tak ada lagi sikap ramah dan sok pehatian membesarkan hati, saat kami memasuki dermaga.
Aku sempat memperhatikan rumah makan yang akan menampung kami sebagai pekerja. Keningku mengernyit. Letaknya di deretan paling ujung pantai. Menghadap ke pantai. Sekilas bangunannya tak berbeda dengan gedung-gedung pencakar langit seperti yang pernah ku lihat di Surabaya. Sayang sekali. Karena cirri khas Tanjung Pinang sama sekali tak tampak dari luar bangunan. Restoran yang aneh. Gelap dan lebih banyak lampu warna-warni.
Tak sampai lima menit dari kedatangan kami di kamis justru disuruh mandi dan menggunakan baju yang telah disediakan. Digiring ke sebuah aula, yang terletak di lantai dua, sebelah kanan deretan kamar-kamar. Di Aula itu, ternyata lebih banyak lagi orang yang bernasib sama dengan kami. Ini membuatku ciut, kalau-kalau aku tak diterima bekerja di tempat ini. kami di suruh berdiri saat seorang laki-laki berbadan tambun berkepala botak datang.
Laki-laki itu menunjuk satu persatu dari deretan 50 perempuan di kanan dan kiriku. Kulihat, tiga perempuan tercantik di antara kami yang terpilih. Bertubuh semampai, berkulit putih, dan berambut panjang. Meskipun wajah mereka sama lugunya dengan wajah kami yang kuyu. (bersambung)
*Ibu Bagian I, klik di sini.
*Ibu Bagian III, klik di sini.
| republish | Please Send Email to: iddaily@yahoo.com |
No comments:
Post a Comment