Senja Madinah | Bagian I
Di sinilah aku sekarang. Di pantai sebelah selatan, koordinat 0º5' Lintang Utara dan 104º27' Bujur Timur. Tanjung Pinang. Kota pelabuhan yang terletak di pulau Bintan, kepulauan Riau. Di temani rintik hujan yang turun satu-satu. Di langit, awan begitu pekat, berwarna kelabu. Hampir hitam. Meskipun tak mengurangi kecantikan kota ini.
Kota yang elok. Seharusnya aku bisa menikmati kota yang memiliki pesona eksotis ini. Dengan bahasa yang unik, bahasa Melayu yang masih tergolong klasik. Sedikit aneh terdengar di telinga. Namun memiliki daya tarik tersendiri.
Tapi, itu seharusnya. Karena pada kenyataannya, aku justru ikut menangis, seperti langit itu. Aku baru saja lari. Lari dari, aduh! Akan sangat panjang kalau diceritakan. Karena aku telah melakukan pelarian empat kali!
Pelarian ketiga ke Surabaya. Aku lari ke ibu kota propinsi, untuk menemui Yaris, lelakiku. Dia sakit. Jantung. Dan saat itu sedang dirawat di RSUD dr Soetomo. Kedatanganku ternyata hanya untuk menyambut kematiannya. Mengantarnya ke peristirahatan terakhir. Hatiku luruh bersama tanah yang menutup jasadnya.
Ya, pelarian keduaku karena pacar yang ku kenal melalui teman main karibku. Tapi, tak pernah mendapatkan restu dari orang tuaku. Dari Bapak tiriku, tepatnya. Di depan ibu, dia selalu mencibir, pergaulan di luar sangat tidak baik untuk perawan sepertiku. Aku hanya bisa menelan ludah. Karena kalau saja aku punya sedikit keberanian, pasti ludah itu ku cipratkan ke mukanya.
Aku tak pernah percaya padanya. Pada laki-laki ketiga yang mengisi hidup ibu. Aku tak pernah percaya, karena lelaki yang tak sudi ku panggil bapak itu, pernah mencoba mengangkangi ku, saat ibuku sedang menstruasi. Atau saat ibuku sedang pergi ke pasar untuk berdagang ikan.
Karena itu, aku tak pernah betah tinggal di rumah. Sebab di tempat itu, aku seperti berada di sebuah ngarai di lereng tebing dengan dinding-dinding terjal yang menjulang menembus tajuk terburai menjadi jarum, sirip, serta menara. Bak tsingy di Madagaskar. Hingga aku nyaris tak mungkin memanjat dinding-dinding runcing itu.
Tapi, aku tak pernah bisa meninggalkan rumah itu. Atau setidaknya, tidak bisa jauh dari rumah itu. Sebab bapak tiriku acap kali memukul ibu dengan alasan yang tak jelas. Sialnya, ibu selalu marah jika aku mengangkat pisau atau timba untuk ku lempar kepadanya. Seperti malam itu, ketika bapak memukulinya karena kepergok mengobrol dengan Suami kedua ibu. Aku yang tak tahan dengan perlakukan bapak melemparnya dengan timba berisi penuh cucian.
“Nyapo koen nduk? Menengo, ojo melu-melu urusane wong tua! (Ngapain kamu nak? Diamlah, tak usah ikut urusan orang tua!)” Katanya sambil balik memukulku, dan mengusirku.
Ah, aku tak pernah mengerti tentang cinta yang sedang bersemi dan mereka bangun itu. Cinta yang begitu banyak kemarahan di dalamnya. Begitu banyak cemburu. Bahkan, ibu tak jarang ke orang pintar meminta syarat agar bapak tak melirik ke perempuan lain. Banyak uang yang terbuang sia-sia pada kyai atau orang pintar sebangsa dukun itu. Padahal kami bukan orang berkecukupan. Hmm,… Aku jadi begidik sendiri, kalau saja ibu tahu orang yang begitu dipujanya itu pernah mencoba memerawaniku.
Sepulang dari Surabaya, aku mendapati tulang pipi ibuku lebam. Belum lagi lengan dan mungkin di beberapa bagian yang terselip di balik daster yang dikenakannya. Dia pasti dipukuli karena kenekatanku kabur melalui jendela kamar atas, tempat anak kost. Ia terkejut melihatku. Buru-buru mencari celah, untuk menyembunyikanku. Tapi terlambat.
“Ngapain kamu pulang, anak binal? Sudah ketemu dengan kontol Surabaya itu? Kenapa tidak sekalian ngecer di gang Dolly?” Suaranya kasar, menukik-nukik di telinga. Membuatku geram. Lebih geram lagi, karena usahaku untuk menjaga keperempuananku diejek begitu hina bahkan oleh orang yang pernah ingin merenggutnya.
Belum sempat aku menoleh untuk membalas umpatan, kedua tangannya ku rasa menjambak rambutku yang keriting. Jambakan itu dihentakkan ke belakang, hingga membuatku terjengkang. Dari arah depan, ku lihat ibu berusaha meraih kaki laki-laki itu. Memohon-mohon agar tak lagi memukulku. Hidungnya menyentuh jempol kaki bapak. Air matanya bercucuran, seiring suaranya yang parau merintih.
“Sudah, tak perlu membela anak tak tahu diuntung ini. dieman, ora ngerti (disayang kok nggak ngerti)!” Tukasnya sambil berusaha melepaskan kakinya dari cengkraman ibu.
“Mas, wes to mas,… isin dirungoke tonggo, (mas, sudahlah mas, malu didengar tentangga)” Suara sengau ibu termakan isak tangisnya. Ku lihat para tetangga mulai berdatangan melihat dari ujung pintu yang menganga.
“Awakmu mbelani? Mbelani bocah ra kena dieman iki? (kau membelanya? Membela anak yang tidak tahu diuntung ini?)” Satu tangan terlepas dari kepalaku. Sedikit lega, merasakan aliran darah sedikit normal. Tapi ternyata, tangan kanan itu justru mengambil rotan dan mengayuhkannya ke tubuh ibu. Rasa sakit di hatiku lebih meleleh daripada kepalaku yang mulai berdenyut-denyut.
Aku berusaha meraih botol topi miring yang terletak di sudut ruang tamu. Tarikan tangannya yang berusaha memburu ibu menguntungkan posisiku. Selain luput dari pandangannya, tarikan itu membuatku bisa berdiri. Saat itulah ku arahkan botol kosong itu ke tengkuknya, sekuat tenaga. tetesan darah mengucur dari tempat bersembunyinya otak kecil.
Aku terkesiap. Ia menolehku. Sedikit meringis, sebelum akhirnya amarah itu kembali memenuhi matanya yang semakin membesar dan memerah. (bersambung)
*Ibu Bagian II, klik di sini.
*Ibu Bagian III, klik di sini.
| republish | Please Send Email to: iddaily@yahoo.com |
No comments:
Post a Comment