Jojo Raharjo
Matahari hampir tenggelam di barat Jakarta. Di tengah lalu-lalang manusia di kawasan Pasar Tanah Abang, seorang ayah mempercepat langkahnya. Kostum tim nasional Indonesia berwarna hijau, lengkap dengan syal merah putih terlilit di leher. Di dadanya tergendong anak laki-laki berusia 3,5 tahun.
Mereka melangkahi beberapa pedagang kaki lima sebelum melompat ke dalam bis Koantas Bima jurusan Tanah Abang-Lebak Bulus, yang rutenya melewati Stadion Utama Gelora Bung Karno, Senayan, tempat pertandingan lanjutan kualifikasi Grup B Piala Asia, Rabu (6/1).
Erang, begitu nama bapak itu, mengaku pekerja di sebuah perkantoran kawasan Thamrin, Jakarta Pusat. “Sebenarnya tadi belum waktunya pulang kerja, tapi saya nekat kabur. Sudah lama saya rencanakan nonton Indonesia main lawan Oman bareng anak saya,” kata Erang. Dari rumahnya di kawasan Harmoni, mereka naik angkot ke arah Tenabang, sebelum berpindah ke Koantas Bima bertarif Rp 2.000,- per orang itu.
“Ini kali pertama Malone saya ajak nonton bola di Senayan,” kata Erang yang memang hampir tak pernah melewatkan kesempatan menyaksikan langsung tim nasional bertanding. “Kalau cuma pertandingan liga, saya tidak suka,” tambahnya.
Iya, nama anak itu, Malone, terinspirasi dari bintang NBA. Karl Anthony Malone, forward legendaris Utah Jazz dan LA Lakers. Duduknya kadang terguncang di pangkuan ayahnya, di atas bis yang membelah Petamburan, Slipi hingga Senayan, Mungkin ia terus membayangkan, seperti apa Stadion Utama yang berdiri 48 tahun lalu itu.
Sampai mereka turun di pintu seberang Taman Ria, memburu tiket pertandingan yang belum terpegang tangan. “Kalau masih ada tiket murah, mau beli yang Rp 20 ribuan saja,” teriak Erang. Hari itu, Panpel PSSI mendistribusikan 46 ribu tiket dalam tiga nominal. Kelas VIP Rp 100 ribu, Kelas Utama dan Kelas I Rp 50 ribu, serta Kelas II Rp 20 ribu.
Pemandangan lain tergelar di pintu masuk stadion dari sisi Patung Panah, Jl. Asia Afrika. Hendro, kenek Kopaja 66 Jurusan Manggarai-Blok M memboyong dua anaknya untuk mendukung tim Garuda. Yang sulung bernama Beckham Arvian Putra, 10 tahun, bersama adiknya Ari Arvian Ferguson, 6 tahun. Keduanya dilengkapi slayer merah putih bertulis “Indonesia”. Bapak dan anak itu tinggal di gang kecil kawasan Radio Dalam, Jakarta Selatan.
“Ini kesempatan pertama mereka nonton tim nasional. Sebelumnya, saya pernah mengajak anak ke Senayan mendukung Persebaya saat melawan Persija,” kata perantau asal Karangpilang, Surabaya ini.
Malone, Beckham, dan Arvi, Anak-anak itu mengecap pengalaman bersejarah mendukung tim merah putih di Senayan. Tentu, pengalaman pertama akan berkesan dalam diri mereka. Namun, apa yang terjadi? Di lapangan, Charis Yulianto dan kawan-kawan seperti diajari cara bermain bola dalam setengah lapangan oleh anak anak teluk asuhan Claude Le Roy. Pertandingan bubar dengan skor 1-2 untuk Oman.
Dan, kali pertama sejak 1996, Indonesia bakal absen di Putaran Final Piala Asia di Qatar tahun depan. Ada hiburan dalam pertandingan itu saat Hery Mulyadi, seorang penonton asal Cikarang, nekat turun ke lapangan dan merebut bola untuk menjebol gawang Ali Al Habsi, kiper Oman yang berlaga di klub Liga Inggris, Bolton Wanderers.
Bulan kian memeluk Jakarta. Para penonton pulang sebagai pihak tertakluk. Malam itu, Malone, Beckham, dan Arvi pun menutup hari bersejarahnya dengan mimpi. Mimpi sebagai negara pecundang.
*analisa olahraga lain klik di sini.
No comments:
Post a Comment