Senja Madinah
Aku mendengar sayup-sayup rapal al Quran, di antara suara musik dangdut dari radio pangkalan Ojek, tak jauh dari dasaran Nik Tija, penjual sayur-mayur. Aku tertawa. Mendengar semua harmoni yang menjadi satu. Tartil al Quran yang dibaca dengan indah dengan lekuk-lekuk suara kearab-araban, beradu lagu genit lagu dangdut yang renyah, rupa-rupa. Satu hal yang menyamakan dua harmoni berbeda ini, mereka saling bergantian untuk mengaji atau pun menyanyi.
Ya, hanya di malam-malam Ramadhan seperti inilah terdengar suara orang mengaji di pasar tradisional di kota ini. Selebihnya, mereka memilih musik dangdut mengiringi hidup mereka. Kendati kedatangan mereka berganti-ganti antara para pedagang pagi dan malam, tetapi, pasar terbesar yang tak jauh dari pondok pesantren ini tak pernah berhenti. Kehidupan di pasar ini, 24 jam penuh! Kuli-kuli itu, penjual-penjual miskin itu, selalu datang silih berganti mengisi sudut-sudut pasar. Hanya untuk satu hal; kesempatan. Kesempatan mengais rejeki. Rejeki untuk satu hal; melanjutkan kehidupan. Melanjutkan roda yang terus berputar. Tapi aneh, mereka tak pernah di atas. Saat roda kehidupan itu menanjak 30 derajat, roda kehidupan itu melesat ke bawah kembali. Seolah tak punya tenaga untuk lebih tinggi lagi.
Dan di pasar yang didatangi oleh orang berupa-rupa ini pula, hanya aku yang tak pernah berganti. Di sudut kegelapan ini, di sebuah toko bahan baku milik Haji Fauzan ini, aku selalu memperhatikan mereka. Gerak-gerik mereka. Keluhan mereka, guyonan murahan mereka, tawa lepas mereka, persaingan dan perseteruan mereka. Tak luput pula ku perhatikan tingkah Zulaiha yang telah bertransformasi menjadi Julie. Entah ke mana ia jika bulan ramadhan begini. Aku akan merindukan tingkah dan triknya saat menarik perhatian pelanggan, sumber rejekinya.
Ah, di pasar yang merupakan tempat berkumpulnya berbagai macam manusia dan bangsa ini, segala macam hal dijual. Mulai dari hasil jarahan bumi, pembunuhan hewan hingga jualan yang paling mandiri dan paling orisinil, jasmani. Di tempat silaturrahmi itu, juga beraneka warna pembeli, sesuai dengan kebutuhan. Di tempat pertemuan ini, mereka saling mengadu kecakapan dan kelihaian lidah untuk saling mengalahkan. Hanya demi satu kata; ekonomi. Si pembeli, tanpa urat malu menawar harga dagangan hingga harga yang tak masuk akal, minta bonus dan gratisan. Melihat gelagat pembelinya, si penjual pun tak mau kalah, dengan menaikkan harga lebih dari dua kali lipat sebelum menjualnya, kembali disertai bonus yang disukai para pelanggan. Hasilnya? Inilah yang membuat pasar ini tetap ramai, tempat di mana sebagian merasa puas dengan kelihaiannya dan harapan agar esok bisa bertransaksi lebih ekonomis lagi. Karena telah terjadi equilibrium antara kebutuhan yang saling melengkapi. Yang perlu diingat, seberapa pun mereka menaikkan harga jual, atau seberapa pun mereka menawar hingga ke dasar jurang, transaksi yang terjadi tetaplah prinsip ekonomi yang sempurna, tidak seperti di mall atau supermarket, di mana tidak ada demokrasi, tawar-menawar, diterapkan.
“Julie, kenapa baru keluar sekarang?” Aku mendengar suara Sugondo, tukang ojek yang tergila-gila pada Julie, berteriak kegirangan. Tangannya mencari-cari kesempata ke tempat-tempat kosong yang dapat terjangkau.
“Najis! Bulan puasa, Ndo. Bukan muhrim kok pegang-pegang,” Tangan Julie menepis tangan nakal Sugondo, ketus. Berdetik kemudian, tertawa cekikikan.
Aku berjalan mendekat, ingin mendengar pembicaraan mereka lebih dekat. Melihat kelakuan dua insan keturunan Adam itu. Aku menyelinap di antara karung-karung beras, gula, dan tepung. Terselip di sela-sela sirap-sirap kayu toko. Menghindari terang yang sangat membahayakanku. Berhenti di balik bangku usang tempat Sugondo melepas penat saat menunggu penumpang.
“Waduh, kena demam Ramadhan juga to? Terus ngapain ke sini?” Sugondo tak mau kehilangan kesempatan memuaskan lapar birahinya. Memandangi molek tubuh pengusaha independen itu dengan kotor.
“Ya Kerja to, Ndo. Fredy makan apa?” Jawabnya tetap ketus sambil mengibaskan rambutnya yang telah berubah warna kemerahan.
“Wah, nggak takut diciduk satpol PP atau polisi to? Puasa-puasa gini kok tetep jualan,” Sergah Sugondo, mengulur waktu.
“Nggak mungkin. Kan kita udah bayar uang keamanan?” Jawabnya genit.
Aku tertawa mendengar percakapan mereka. Julieku kembali. Hanya saja, jadwal kedatangannya lebih malam. Ba’dah tarawih, dia bilang.
“Ya shalat tarawih dulu lah. Gimana pun, aku kan takut masuk neraka.” Jawabnya menanggapi pertanyaan Sugondo yang tak kunjung usai.
Julie beranjak, tak lagi memperdulikan pertanyaan Sugondo yang bertubi-tubi.
“Paket Spesial Ramadhan dan lebaran, Ndo, ngobrol sama aku juga harus bayar,” Tukasnya tanpa menoleh, tanpa perasaan.
Aku tertawa mendengarnya. Sembari kembali ke rumahku, di kegelapan.
Ah, di Pasar tradisional ini,… sebejat apapun kelakuan mereka, tak satupun dari mereka yang melewatkan puasa. Kau tahu kenapa? Karena mereka memang berpuasa sepanjang tahun. Kemiskinan yang membuat mereka harus tetap mengencangkan ikat pinggang untuk tetap bertahan hidup. Bahkan, mereka nyaris tak pernah mengkonsumsi dagangan mereka sendiri, khawatir rugi. Hidup tak hanya urusan makan. Tapi hidup juga melarang mereka sakit. Jadi lupakan tentang pengobatan gratis!
Hahaha,… Kau tahu, hanya aku yang selalu banyak makanan di ujung gelap toko milik Haji Fauzan ini. Hanya aku yang bisa tidur dengan tenang, kecuali ajal menjemput melalui tangan-tangan yang menganggapku di ciptakan tanpa guna. Ini sekali gus menjawab pertanyaan dari kalian semua yang meragukan kenapa Tuhan menciptakanku.
“Assalamualaikum, Ji.” Sapaan khas Julie, tiba-tiba nongol di depan toko, keesokan paginya. Haji Fauzan menatapnya sekilas, lalu larut dalam pekerjaannya membereskan pembukuan yang dibuat dengan berantakan.
“Ah, kamu. Bikin aku sial aja hari ini.” Gerutu Haji Fauzan mengingatkan beberapa hutang yang belum dibayar oleh salah satu pelanggannya ini. Perempuan bertubuh seksi dengan rambut yang awut-awutan itu ditinggalan begitu saja.
“Maaf Ji, minggu kemarin kan anak ku sakit. Jadi uangnya aku pakai dulu untuk berobat,” Ucap Julie memelas sambil mengikutinya dari belakang.
“Ini mau lebaran. Kalau kamu nggak bayar cash aku dapat untung apa? Mana barang-barang kulakan pada naik semua dari distributor.” Sergah Haji Fauzan, beralih tempat memeriksa stok beras dan memperhatikan kinerja Sholeh yang sedang menurunkan telur ayam dari Chevrolet cokelat. Teriakan cempreng penyiar radio menambah kebisingan yang terjadi. Sementara pembeli yang lain mulai berdatangan, memandangi perempuan itu tak senang.
Julie merogoh kantongnya, menyerahkan uang dua puluh ribuan lecek 2 lembar, ditambah dengan uang sepuluh ribuan 2 lembar. Uang lima ribu tiga lembar yang tersisa dimasukkan kembali di saku.
“Ji, beri aku apa saja. Nanti, hutangnku ku bayar kalau sudah ada rejeki, Ji.” Inilah senjata terakhir perempuan yang tampak lebih tua dari umurnya itu. Melihat uang tadi, Haji Fauzan langsung menyerahkan pada asistennya. Memberikan sejumlah barang kebutuhan seperti sekarung beras kualitas rendah ukuran 3 kg, setengah karung gula ukuran seperempat, tepung terigu, minyak goreng setengah liter, dan sejumlah kebutuhan lainnya yang diberikan dengan ukuran serba mini. Selepas itu, Sholeh menyerahkan pada Julie yang terbelalak kaget.
“Ji, kok cuma segini, Ji?” Ia menahan emosi.
“Heh, Jul, sekarang barang-barang kan sudah pada naik. Gula aja sekarang Rp. 10.000 perkilogram. Itu dari distributor. Kamu mau aku jual berapa? Belum barang-barang lainnya juga ikut naik. Bawang putih juga Rp. 12.000 perkilo. Kalau mau protes, bilang sana ke pemerintah. Kenapa ada harga gula yang sampe Rp. 10.000,” Sergahnya tanpa tedeng aling-aling menahan amarah. Julie hanya bisa menggaruk-garuk kepala.
Aku menyaksikan semua drama ini, hampir setiap hari. Kesedihan Julie, juga kolega lainnya yang juga kulakan di toko haji Fauzan. Kesedihan para pembeli yang hanya mampu gigit jari tanpa mampu mewujudkan angan-angan dalam dirinya untuk membeli sekerat daging yang harganya juga mulai melambung.
“Tidakkah ini bulan puasa, Ji?” ucapan Julie lebih mirip untuk meyakinkan dirinya sendiri.
“Yang puasa kan Cuma makan siang, Jul. Orang-orang ya tambah buas kalau udah buka,” Bantah Haji Fauzan lebih mirip ketakpedulian. Tetap mencatat semua barang yang baru saja dikeluarkannya. Julie pun segera berlalu dari hadapan pria tak ramah pemilik toko tempatku bernaung.
“Jangan lupa segera bayar hutangnya! Sekali-sekali bayar hutangnya itu pake uang halal,” Sindiran dengan suara keras itu mengalir begitu saja dari mulut Haji Fauzan yang diikuti dengan bisikan-bisikan dari sejumlah pembeli. Jenang kemudian Julie berbalik.
“Saya tidak korupsi, Ji. Saya tidak mencuri uang sampeyan yang dibayarkan melalui pajak. Saya tidak menjual tetangga saya ke luar negeri. Saya juga tidak mencuri timbangan,” Sindiran dua kalimat terakhir tadi telah bersarang di jantung haji Fauzan yang juga memiliki usaha PJTKI illegal dikelola istrinya dan sering mengurangi berat timbangan para pembeli.
Haha, baru kali ini aku melihat wajah Haji Fauzan seperti kepiting rebus tersulut kepedasan kata Julie ku yang manis.
“Ji, beli beras yang paling bagus ya. Jangan seperti biasanya Ji, yang lebih bagus. Gula, minyak goreng yang kemasan Ji,” Seorang ibu berusia 40 tahunan, dengan pakaian compang-camping.
“Ji, sebentar ya, saya mau beli daging dulu,.. Suami saya minta dibuatkan steak,” Juhariyah, yang bekerja dengan menadahkan tangan di depan toko departemen store itu, bikin Steak? Oh my God,… Please deh?
“Gaya amat, memang dapat togel?” Cibir Haji Fauzan.
“Nggak, Ji. Tapi, kalau ramadhan gini kan musim panen, Ji.” Terang Juhariyah tanpa malu.
Kondisi itu ibu-ibu tadi sebetulnya tidak telalu menyedihkan. Ia terlampau gemuk untuk dikatakan sebagai orang miskin. Ia juga masih terlihat kuat untuk membuat orang iba kepadanya. Sejenak ku perhatikan apa yang membuat orang menjadi iba padanya, sampai aku melihat sesosok balita yang menyembul dari balik roknya, menggelendot di tangan kanan Juhariyah. Tampang balita sekitar 3 tahun itu tak kalah dekil dibanding ibunya. Lendir flu turun malu-malu mengikuti irama nafas yang dihembuskan hidung peseknya. Akupun mahfum. Balita itulah yang digunakan sebagai alat dalam bisnis rasa kasihan ini.
Aku menggeleng. Melihat mereka, rasanya aku bisa memahami fatwa MUI yang mengharamkan memberikan santunan bagi pengemis. Walaupun, sekali lagi, fatwa tadi tampak sangat bodoh kalau tidak ingin dibilang tolol, karena kemiskinan structural yang terjadi adalah persoalan ketiadaan lapangan pekerjaan yang kalau dikembalikan lagi, menjadi tanggung jawab pemerintah.
Aku kembali menggeleng. Tiba-tiba otak nakalku bekerja saat kelebat bayang Julie tertangkap. Mempertanyakan sikap Tuhan terhadap dua makhluk yang sama-sama ingin bertahan hidup ini. Kira-kira Tuhan lebih sayang yang mana ya, antara keduanya? Juhariyah yang hanya memangku tangannya untuk mendapatkan belas kasihan dari orang lain, mengeksploitasi anak menjadi salah satu alat produksinya mencari kenyamanan dan kemakmuran, ataukah pada Julie-ku sayang, yang menjadikan reproduksinya menjadi alat produksi andalan mempertahankan hidup. Julie, tidak sedang merugikan orang lain, tidak sedang mengeksploitasi alam semesta dan hanya mengeksplorasi yang ada pada dirinya. Juhariyah yang memberikan kerja lembur bagi anaknya saat musim puasa dan Julie yang rela mengurangi jadwal prakteknya untuk menghormati puasa.
Ah, manusia,… makhluk unik yang diciptakan dengan segala kelebihan tetapi justru terpuruk dengan kelebihan yang dimilikinya. Tak saling melengkapi, justru saling mengurangi. Tak saling menguatkan justru saling menghancurkan.
Belum selesai aku memaknai kehidupan yang sedang berlangsung di depan mataku, segerombolan laki-laki berseragam biru dongker datang dengan membawa pentungan. Sirine dan peluit beradu kekuatan, memekakkan telinga.
Gerombolan yang bagai kesetanan itu menghancurkan lapak-lapak milik puluhan pedagang beraneka sayur, daging ayam, hingga pakaian dalam. Tanpa melihat jenis dagangannya, mereka langsung melempar ke dalam truk yang mereka bawa. Jerit tangis dan kemarahan para pedagangpun bersahut-sahutan dengan suara lantang para petugas yang mengaku mendapatkan kuasa.
Para pengemis tak luput dari serangan mereka. Anak-anak, orang tua, laki-laki, perempuan ditangkap dan dimasukkan ke dalam truk berbeda yang lebih tertutup. Hanya Juhariyah dan anaknya yang absent dari garukan tadi. Pemain sinetron kawakan itu diuntungkan dengan kedatangannya membawa barang belanjaan, sehingga tidak ditangkap meskipun mempunyai cirri-ciri sama dengan pengemis yang lain.
Oh, tidak. Ia menuju ke sebuah tempat. Oh, tidak, Oh, my God! Mereka menyeret Julie-ku dari sebuah bangunan sederhana tempat Julie hidup bersama anak laki-lakinya selama ini. perempuan yang tampak lebih manis tanpa riasa make up itu meronta-ronta berusaha melepaskan diri.
“Pak, saya salah apa, pak?” Tanya Julie ketus sambil berusaha melepaskan cengkraman tangan petugas bertubuh tambun.
“Ikut, kamu perek kan?” Sergah petugas tadi dengan suara geram.
“Tapi kan saya tidak sedang praktek, pak? Saya sedang menyiapkan buka puasa untuk anak saya,” Balas Julie membentak laki-laki tadi.
“Heh, operasi ini dilakukan bagi mereka yang menjadi sampah masyarakat dan mereka yang melanggar peraturan. Ya PSK, ya pengemis, ya penjual yang nggak punya ijin usaha di sini,” Jelasnya sambil menyeret Julie masuk ke dalam truk.
“Tapi saya tidak sedang menerima pelanggan pak,” Suara geram Julie semakin meraung saat petugas tadi dengan sengaja memukul pantat Julie.
“Heh, aturannya yang ditangkap itu PSK, sampah masyarakat seperti kamu, nggak peduli sedang praktek atau nggak! Kan semua orang bisa jadi saksi kalau kamu itu memang PSK! Nah kalau nggak ingin ditangkap ya, ganti profesi dong!” Petugas bertahilalat besar di hidungnya itu kewalahan mengatasi Julie yang terus meronta. Otak dangkalnya jutru memanggil empat kawannya menggotong tubuh Julie untuk dilempar ke dalam truk.
Rasa penasaranku tak terbendung. Aku tahu, sebentar lagi truk tadi akan berjalan. Dengan berhati-hati, aku berusaha melompat ke dalam truk tempat Julie dilempar tadi. Secepat kilat aku keluar dari persembunyian di kegelapan sela-sela karung-karung beras, menuju ke karung gula, melompat ke drum minyak goring, sedikit berbelok ke drum minyak tanah, bergerak ke atas disela-sela siku atap toko yang dipenuhi dengan jejaring laba-laba. Saat ku lihat pintu truk petugas itu akan ditutup, dengan sekuat tenaga aku menerjang. Tapi, belum sempat aku berhasil masuk ke dalam truk dan menemukan tempat yang aman untuk bersembunyi,
Auuucchhh…!!!
Pentungan petugas menghentikan langkah sekaligus nyawaku.
“Lihat, hanya Coro yang berempati pada kalian para sampah masyarakat,” aku mendengar Petugas tambun itu menghardik para pengemis dan PSK yang tertangkap seraya mengangkat tubuhku, sebelum aku meregang nyawa. Tersungkur…
No comments:
Post a Comment