03 September 2009

Bisakah Kita Belajar dari gempa Tasikmalaya?

Iman D. Nugroho

Gempa yang melanda Tasikmalaya memang mengenaskan. Bukan karena jumlah korban tewas yang "hanya" 30 orang lebih dan 40-an orang lain yang hilang. Tapi peristiwa itu menjadi bukti rapor merah kita atas hal ihwal bencana. Padahal, sudah sekian kali Indonesia terimbas bencana, tapi minim proses pembelajaran untuk mengatasinya. Mulai titik ini, kita harus lebih banyak "membaca" sebelum bencana datang menerpa.


Pelajaran pertama yang bisa diambil dari peristiwa kali ini adalah tidak adanya early worning system atau peringatan dini bencana. Keliru kalau kita hanya mendefinisikan peringatan dini bencana itu dari hal peralatan atau hardware belaka. Karena bagi saya, yang namanya peringatan dini bencana itu memiputi dua hal; hardware dan software. Hardware dalam hal ini berarti peralatan.

Secara mudah hardware yang dimaksud di sini adalah peralatan yang digunakan untuk mendeteksi tanda-tanda dini terjadinya bencana. Dunia mengenal berbagai hardware peringatan dini bencana. Mulai warning system untuk bendungan (baca: dam), warning system untuk gempa bumi, tsunami warning system sampai warning system untuk rudal. Di Indonesia, hardware early warning system ini mulai ngetrend pasca tsunami di Nanggroe Aceh Darrussalam. Sistem peringatan dini juga dipasang di gunung berapi.

Jumlahnya tentu saja belum banyak. Hanya di daerah-daerah yang disinyalir memiliki kemungkinan bencana alam tinggi. Khusus untuk tsunami, berdasarkan Informasi dari Badan Meteorologi dan Geofisika Indonesia menyebutkan, baru pada 11 November 2008 Indonesia mengoperasikan Sistem Peringatan Dini Tsunami yang dikenal sebagai Ina TEWS (Indonesia Tsunami Early Warning System). Sistem yang dibantu oleh lima negara donor, Jerman, Cina, Jepang, Amerika dan Prancis itu memiliki kemampuan menciptakan alert (baca: peringatan) 5 menit sebelum tsunami datang.

Namun, yang tidak kalah penting dari hardware early warning system adalah software atau pengetahun kepada masyarakat. Sudah banyak cerita-cerita local wisdom atau kearifan lokal di Indonesia yang secara tidak langsung menunjukkan "hebatnya" system software ini. Di daerah-daerah gunung berapi misalnya, penduduk setempat selalu memperhatikan tingkah laku binatang-binatang hutan. Sementara di Pulau Simeulue NAD, sejak kecil ibu-ibu di daerah itu selalu menyanyikan lagu untuk anak-anaknya tentang bagaimana menyelamatkan diri bila pasang (atau tsunami) menerjang. Hebatnya, ketika tsunami 2004 lalu menerja, penduduk Pulau Simeulue NAD, yang berada paling dekat dengan pusat gempa, justru minim korban.

Nah, mengapa hal semacam ini tidak dinasionalkan. Dalam bahasa lain, harusnya ada upanya sosialisasi pengenalan potensi-potensi bencana di berbagai daerah. Sebut saja di Sumatera dan Nias. Atau di khawasan gunung berapi di Pulau Jawa. Atau di wilayah pertambangan di Papua dan sebagainya. Dan, hal ini tidak berjalan sehari atau dua hari. Perlu adanya upaya yang tersilabus dengan baik dan dilakukan dalam jangka panjang.

Berangkat dari peningkatan awareness kesadaran berada di “daerah berbahaya” itu, sekaligus memperkenalkan budaya baru membangun tempat tinggal yang tahan gempa. Ini sangat penting mengingat Indonesia berada di berbagai lempengan bumi dengan banyaknya gunung berapi aktif. Dan sekali lagi, ini bukan sesuatu yang mudah, karena menyangkut banyak yang terkait satu sama lain. Terutama soal pembiayaan. Namun setidaknya, 10 atau 30 tahun kemudian, perubahan prilaku akan berbuah minimnya jumlah korban.

*foto setelah gempa di Tasikmalaya oleh yahoonews

No comments:

Post a Comment