Ak Supriyanto, MBA.
Proses pemilihan umum telah usai. Sebentar lagi, parlemen dan kabinet baru akan dilantik. Beberapa pekerjaan yang belum dituntaskan oleh parlemen dan pemerintah lama akan segera menjadi bahan ujian bagi pemerintah dan parlemen baru. Salah satunya adalah penyiapan pelaksanaan Undang-Undang No 14 Tahun 2008 tentang Keterbukan Informasi Publik (UU KIP), yang resmi diberlakukan tahun depan. Selama ini, sosialisasi atas keberadaan UU KIP sangat minim karena perhatian para penyelenggara negara terfokus pada pemilhan umum 2009.
UU KIP pada dasarnya merupakan pengakuan dari negara terhadap hak publik untuk memperoleh informasi dari badan-badan publik, termasuk dari Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Menteri Negara BUMN dan kelompok Humas BUMN sempat menolak pengertian badan publik yang mencakup BUMN, namun pemerintah pada akhirnya bersepaham dengan parlemen dan kalangan LSM bahwa BUMN --yang mengelola dana negara dan publik-- merupakan badan publik yang harus terbuka terhadap permintaan informasi dari masyarakat.
Meskipun berbagai klausul dalam UU KIP mengundang kritik, peraturan ini harus disambut oleh BUMN dan sektor bisnis secara umum sebagai pemacu untuk menaikkan kualitas Good Corporate Governance (GCG), khususnya dalam penerapan prinsip transparansi dan akuntabilitas pada perusahaan. Perusahaan-perusahaan swasta non BUMN juga dapat terimbas pelaksaan UU ini karena masyarakat dapat mengecek informasi-informasi krusial mengenai perusahaan-perusahaan tersebut dari badan-badan negara.
Pasal 7 Ayat 1 UU KIP menyatakan bahwa “badan publik wajib menyediakan, memberikan dan/atau menerbitkan informasi publik yang berada di bawah kewenangannya kepada pemohon informasi publik, selain informasi yang dikecualikan dengan ketentuan.” Pasal 9 ayat 2 menjelaskan rincian informasi publik yang dimaksud, yang di dalamnya terdapat pula “informasi mengenai kegiatan dan kinerja badan publik terkait.” Hal ini menegaskan bahwa informasi yang wajib disediakan oleh badan publik bukan saja hal-hal yang terkait secara langsung dengan badan tersebut, tetapi juga terkait dengan operasi atau aktifitasnya.
Dengan demikian, Kantor Pajak atau Badan Pengendalian Dampak Lingkungan (Bapedal) dapat dimintai informasi mengenai laporan pajak atau perijinan AMDAL sebuah perusahaan apabila masyarakat mengendus dugaan “mark up” atau “kongkalikong”. Masyarakat juga dapat meminta informasi mengenai perusahaan, sesuai dengan konteks kepentingannya, ke Kantor Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM), Dinas Tenaga Kerja, hingga Bank Indonesia. Hampir dapat dipastikan bahwa informasi-informasi yang menyangkut sektor bisnis itu tidak termasuk dalam kategori pengecualian dalam UU KIP, karena tidak menyangkut persaingan usaha yang tidak sehat atau hasil pengawasan lembaga keuangan, seperti yang tercantum dalam Pasal 17 UU ini.
Mengingat waktu pelaksanaan UU KIP tinggal beberapa bulan lagi, pemerintah baru harus segera menggenjot sosialisasi UU ini secara luas. Menkominfo baru harus menyiapkan infrastruktur bagi Komisi Informasi yang baru saja terbentuk agar secepatnya merumuskan peraturan-peraturan teknis. Apabila ada isu menyangkut UU KIP yang masih memerlukan klarifikasi, pemerintah bersama parlemen dan Komisi Informasi harus menyelesaikannya sebelum tahun 2010.
Sembari menunggu langkah pemerintah baru, BUMN dan sektor bisnis seyogyanya melakukan telaah lebih mendalam mengenai UU ini. Sektor bisnis dapat melakukan assessment terhadap kesiapan masing-masing perusahaan dan membuat road map strategy menuju pelaksanaan UU ini, agar tidak tergagap ketika memasuki era keterbukaan informasi publik. Khusus bagi BUMN, makna strategis dari UU KIP ini bukan saja dilihat dari ketentuan sanksi bagi pihak yang “menutup” informasi publik, tetapi juga karena menyangkut peningkatan kualitas GCG yang selama ini gencar dikampanyekan.
*Penulis adalah Consultant & Trainer pada Second Opinion Management Consulting dan Dosen manajemen pada International Progam - Fakultas Sains & Teknologi UIN Jakarta.
No comments:
Post a Comment