Iman D. Nugroho
Langkah penanganan kasus terorisme di Indonesia tiba-tiba saja memunculkan wacana pemberian tongkat estafet dari Polisi kepada Tentara Nasional Indonesia (TNI). TNI dinilai memiliki banyak kelebihan dibandingkan polisi-yang beberapa kali dinilai keliru. Bahkan ada yang meyakini, TNI mampu menyelesaikan kasus terorisme sampai tuntas. Bagaimana dengan konsep "kembali ke barak"?
***
Sebuah diskusi kecil pasca berbuka di Pancoran, Jakarta awal pekan ini berlangsung ganyeng. Saya dan seorang kawan jurnalis dari media nasional menerima "wejangan" dari seorang kawan lain yang juga mantan jurnalis majalah politik dan hukum. "Sepertinya, TNI-lah yang harus diberi kepercayaan untuk menuntaskan persoalan terorisme. Polisi terbukti tidak mampu," kata tegas. Apalagi, tambahnya, TNI tidak memiliki budaya "membisniskan" proyek keamanan.
Memang, perbincangan kecil itu tidak berarti apa-apa. Hanya saja, arah yang sama sempat mencuat di Doekoen Kafe, Pasar Minggu beberapa waktu lalu. Ketika itu, seorang pembicara yang konon dekat dengan dunia gerakan Islam itu menyarankan Kopassus TNI mengambil alih operasi pemberantasan terorisme. Seperti halnya seorang kawan mantan jurnalis, pembicara di Dokoen Kafe itu sama-sama menjadikan peristiwa pembajakan pesawat Garuda Indonesia GA-206 "Woyla" pada 28 Maret 1981.
Peristiwa itu dinilai sebagai contoh keberhasilan TNI mengatasi aksi terorisme. Itu tidak terbantahkan. Saat itu, sebuah grup Kopassus (dulu bernama Kopahasanda) di bawah komando Komandan Letnan Kolonel Infanteri Sintong Panjaitan dan Koordinator Letjen TNI LB. Moerdani berhasil melumpuhkan Commando Jihad yang membajak pesawat, tanpa ada korban satu sandera pun yang tewas. Lima pembajak, tewas di tangan pasukan Kopassus yang kini diberi nama Den 81 atau Sat 81 Gultor (Penanggulangan Terror)/ Grup 5 Kopassus.
Penjelasan singkat itu seperti tamparan pada sejarah. Bagaimana tidak, upaya "membelah" TNI dan Polisi yang dilakukan sebelum reformasi, dan menuai keberhasilan, harus kembali direvisi. TNI yang dulu sempat dipinggirkan, lantaran selama bertahun-tahun dijadikan alat Rezim Orde Baru dalam berbagai hal--terutama politik, tiba-tiba saja dianggap penting untuk kembali masuk ke wilayah keamanan sipil. "Tapi ini kebutuhan kita, polisi terbukti tidak mampu mengatasi terorisme," tegas kawan mantan jurnalis ini.
Mampu tidaknya polisi menangani terorisme, seharusnya tidak hanya dilihat dari peristiwa adanya pengeboman di Ritz Carlton dan JW Marriot dan merembet pada penyerbuan Temanggung, Jawa Tengah yang kontroversial itu. Namun, lebih dititikberatkan pada progress penanganan kasus, dalam skala yang lebih besar. Tidak ada yang membantah, figure polisi memang buruk dalam kasus terorisme terakhir ini. Namun, tidak dengan kasus Amrozi CS. Maksudnya, bagaimana polisi berhasil mengungkap peristiwa itu. Meskipun, kita sama-sama tahu, banyak celah pertanyaan menyangkut kasus Amrozi CS. Misalnya: apakah benar yang meledak di Kuta itu hanya bom mobil Amrozi? Bagaimana bisa berefek begitu dahsyat?
Kalau hal itu dianggap belum cukup, tidak ada salahnya mengingatkan kembali perlunya memisahkan urusan dalam dan luar negeri. Regulasi perundangan tentang TNI dan Polisi jelas menyatakan bahwa TNI bertanggungjawab pada hal pertahanan dari luar Indonesia, sementara Polisi mengurus persoalan dalam Indonesia. Untuk itu pula, ada pendekatan yang berbeda dalam doktrin TNI dan Polisi. Bila ini kembali diobrak-abrik, maka yang muncul kemudian kegagalan sistem.
Apa yang terbaik dilakukan? Mau tidak mau, harus ada upaya mendorong Polisi untuk meningkatkan kualitasnya. Peningkatan kualitas di sini berarti upaya mendorong kemampuan Polisi di segala bidang. Kok capek banget sepertinya--melihat figure Polisi sekarang? Memang. Tapi itulah yang harus dilakukan. Pertanyaan selanjutnya, apa yang bisa dilakukan masyarakat? Mendukung. Masyarakat harus memberikan dukungan penuh. Well, dukungan itu bisa beragam. Dari kacamata saya, dukungan itu berarti: memuji bila baik, tetap kritis dan terus mengkritik bila buruk.
No comments:
Post a Comment